Menuju konten utama
30 Januari 1948

Tiga Peluru yang Menembus Dada Mahatma Gandhi

Luka tertanggung.
Laku suci berkalung
jiwa nan agung.

Tiga Peluru yang Menembus Dada Mahatma Gandhi
Ilustrasi Mahatma Gandhi. tirto.id/Gery

tirto.id - Nathuram Vinayak Godse tampak seperti kebanyakan orang yang hadir pada hari itu. Sore hari 30 Januari 1948—tepat hari ini 70 tahun lalu—dengan mengenakan baju safari abu-abu, Godse berjalan pelan menuju sebuah tempat peribadatan di New Delhi, India. Tempat itu dikenal dengan nama Biria House.

Tidak jauh dari lokasi Godse, seorang laki-laki plontos dan berkumis tebal berjalan tertatih. Ia muncul dari arah Biria House dengan dibantu dua orang wanita yang memanggul bahunya. Lelaki itu bernama Mohandas Karamchand Gandhi. Orang-orang lazim memanggilnya dengan penuh hormat: Mahatma—dia yang berjiwa besar.

Sore itu, Gandhi akan memberikan ceramah di Biria House.

Sebelum Gandhi sempat menyampaikan ceramah, tiga peluru muntah dari pistol semi-otomatis jenis Beretta bernomor seri 606824. Godse menembak Gandhi tiga kali. Tiga peluru itu tepat menembus dada Gandhi. Tidak lama kemudian, Gandhi tewas. Ceramah di Biria House tinggal rencana yang kandas.

Peristiwa itu ditampilkan sebanyak dua kali dalam film Gandhi (1982). Pertama, ia muncul sebagai sajian pembuka. Kedua, ia muncul sebagai penutup. Meski menggambarkan peristiwa yang sama, tetapi keduanya berbeda cara dalam mengambil gambar.

Dalam adegan pertama, gambar diambil dari belakang Godse. Sedangkan dalam adegan kedua, gambar diambil dari belakang Gandhi. Racikan gambar tersebut membuat dua adegan yang punya sensasi berbeda: penonton diajak untuk menguntit Godse dan Gandhi yang seolah-olah diikuti penonton.

Tapi kedua adegan itu juga punya persamaan: keduanya diambil dari ketinggian yang sejajar, yakni setinggi pundak Godse dan Gandhi. Saat Godse mengarahkan pelatuknya, baik adegan pertama maupun kedua, kamera merekam Godse dari depan. Itu membuat penonton seolah-olah menjadi Gandhi yang ditembak.

Gandhi Sang Pemberontak

Film Gandhi dibesut sutradara Inggris Richard Attenborough. Ia menampilkan kehidupan Mahatma Gandhi sejak merantau ke Afrika Selatan sebagai pengacara sampai dia ditembak Godse.

Setelah dibuka dengan adegan penembakan Godse, film yang dirilis pada 1982 itu menampilkan Gandhi yang diusir kala dia sedang berada di kompartemen kereta api kelas satu dalam perjalanannya ke Pretoria, sebuah kota di Afrika Selatan bagian utara. Gandhi tidak sanggup berbuat apapun. Dia hanya meringkuk di stasiun Pietermaritzburg.

Jika dalam adegan tersebut Gandhi ditampilkan tidak berdaya, dalam adegan setelahnya Gandhi ditampilkan sebagai seorang pengorganisasi massa yang andal. Ia menolak Asiatic Law Amendment Ordinance (Black Act) yang diterapkan pemerintah kolonial Inggris di Afrika Selatan.

South African History Online (SAHO) menjelaskan, Black Act dibuat pada 1906. Dengan peraturan tersebut, setiap pria dan wanita Asia yang berusia lebih dari 8 tahun harus mendaftar ke badan Registrar of Asiatics. Mereka yang tidak mendaftar pada tanggal yang telah ditetapkan tidak lagi diizinkan untuk tinggal di Afrika Selatan.

Bagi Gandhi dan kawan-kawan, Black Act merupakan kebijakan yang diskriminatif. Mereka pun mengadakan protes pada 16 Agustus 1908 dengan cara membakar sertifikat penduduk yang diharuskan Black Act. Lebih dari 2.000 sertifikat dibakar pada hari itu.

Kehadiran gerakan Ahimsa (tanpa kekerasan) yang dipromosikan Gandhi amat terasa dalam film tersebut. Tidak ada gerakan kekerasan yang dilakukan orang India terhadap otoritas Inggris di India, bahkan setelah Inggris melakukan pembunuhan massal terhadap kaum Sikh di Amritsar.

“Satu mata diganti dengan mata lainnya hanya akan menimbulkan kebutaan di dunia,” ujar Gandhi.

Adegan penuh kekerasan justru terjadi di internal masyarakat India, terutama ketika timbul wacana pemisahan wilayah Muslim (kini menjadi Pakistan dan Bangladesh) dan Hindu (India yang dikenal sekarang).

Saat itu, orang-orang Hindu yang tinggal di wilayah Pakistan dan Bangladesh mesti hijrah ke India. Dalam perjalanannya, mereka diserang oleh Muslim. Begitu pula sebaliknya. Muslim yang pindah ke Pakistan dan Bangladesh diserang oleh orang-orang Hindu.

Puncaknya, Gandhi berencana pergi ke Pakistan. “Saya akan membuktikan kepada Muslim dan Hindu di sini dan di sana bahwa hanya ada setan yang merasuk dalam diri kita. Segala pertempuran yang ada seharusnya dilaksanakan untuk melawannya,” ujar Gandhi kepada Margaret Bourke-White, jurnalis foto majalah LIFE.

Di Bawah Naungan Kumis Gandhi

Hal ini memang tak begitu mencolok. Tetapi perubahan antara Gandhi yang tidak berdaya menjadi Gandhi yang pemberani diikuti pula dengan perubahan penampilannya.

Saat di kereta sampai dia diusir, Gandhi tidak berkumis. Namun, sejak adegan protes terhadap Black Act hingga film berakhir, kumis tebal menempel dan tidak pernah lepas dari wajah Gandhi.

Dia juga mengubah penampilannya saat pulang kampung dari Afrika Selatan ke India. Gandhi tidak lagi berkemeja necis. Sejak turun dari kapal laut, Gandhi berpakaian jubah putih lengkap dengan turban khas India.

Dalam sebuah artikelnya di Washington Post (16/2/2010), “New Generation of Men in India Shaving Off Mustaches”, Emily Wax menjelaskan, sebelum abad ke-18, hanya laki-laki kasta tinggi yang diizinkan berkumis. Kemudian, Gandhi bersikap lain. Sejak melawan Inggris pada 1930-an, dia meminta orang India untuk menumbuhkan kumis dan jenggot sebagai tindakan protes terhadap alat cukur dan pisau impor.

Infografik Mozaik ghandi

Namun, di tengah perlawanannya terhadap imperialisme Inggris di India, Gandhi tetap ingin mempertahankan sistem varna (kasta) di India. Menurutnya, sistem kasta adalah kodrat yang tidak bisa diubah.

"Varna menurut pendapat saya, melekat pada kodrat manusia, dan Hinduisme telah menguranginya menjadi sains. Itu melekat pada Kelahiran. Seorang pria tidak bisa mengubah Varna-nya dengan pilihan," ujar Gandhi sebagaimana dikutip dari Gandhi s Concept of Inter Caste Marriage a Critical Study (2007) yang disusun S. Pandiyan.

Seperti diungkap Bidyut Chakrabarty dalam Social-Political Thought of Mahatma Gandhi (2006) dengan mengutip pendapat B.R. Ambedkar (ahli hukum yang kemudian berpindah agama menjadi Buddha), Gandhi adalah sebuah paradoks karena dia berdiri untuk kemerdekaan dari dominasi asing dan pada saat yang sama ia berusaha untuk mempertahankan struktur sosial yang memungkinkan dominasi satu kelas atas kelas lain secara turun-temurun (hlm. 65).

Menurut Ambedkar, menjadi Dalit—orang yang tergolong di luar kasta dalam ajaran Hindu India—bukanlah sanksi agama. Sistem kasta menjelma menjadi kolonialisme orang-orang Hindu yang dirancang untuk mengeksploitasi kaum Dalit. Karena itu, Dalit tidak memiliki hak. Mereka hanya menunggu, melayani, dan pasrah. Mereka ada di sana untuk hidup atau mati.

Kritik Ambedkar memang tidak banyak diketahui orang di luar India atau mereka yang tidak membaca sejarah India modern. Tapi bagaimana pun juga, di luar kebesaran sang Mahatma sebagai seorang manusia, kritiknya terhadap konservatisme Gandhi terhadap kasta masih relevan hingga hari ini.

Baca juga artikel terkait SEJARAH DUNIA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan