Menuju konten utama

Api Islam di Dada Ali Jinnah, Bapak Bangsa Pakistan

Sejak awal abad 20 Ali Jinnah berjuang demi kemerdekaan kaum muslim India, hingga akhirnya terbentuklah negara Pakistan pada 14 Agustus 1947.

Api Islam di Dada Ali Jinnah, Bapak Bangsa Pakistan
Muhammad Ali Jinnah saat muda. FOTO/Istimewa

tirto.id - Sebelum menyandang nama Muhammad Ali Jinnah, sosok paling dihormati di Pakistan ini punya nama kecil Mahomedali Jinnahbhai. Ia lahir pada 25 Desember 1876 di Karachi, tak jauh dari lokasi kedatangan Islam pertama kali ke India pada 711 Masehi yang dibawa seorang jenderal muda Arab bernama Muhammad bin Qasim.

Akar idealisme Islam dalam gerakan politik Jinnah mula-mula bisa dilacak dari moyang keluarga Jinnah. Dalam buku “Jinnah, Pakistan, and Islamic Identitiy: The Search for Saladin”, Akbar S. Ahmed menyebutkan bahwa keluarga Jinnah berasal dari Iran dan merefleksikan aliran Syiah, Sunni, sekaligus Ismailiyah.

Versi lain menyatakan Jinnah adalah seorang Rajput (anak raja) salah satu klan patrilineal dari negara bagian Sahiwal di Punjab yang menikahi seorang anggota kelompok Khoja yang menganut aliran Ismailiyah dan menetap di Khathiawar. Di awal kehidupannya, Jinnah memilih sekte Sunni, dan riwayat ini dikuatkan testimoni kerabat Jinnah yang dinarasikan kembali Ahmed dalam bukunya tadi.

Jinnah muda bersekolah di Sind Madrasatul Islam dan Christian Missionary Society High School. Keduanya juga terletak di Karachi. Ia lalu dikirim ke London, Inggris, untuk bergabung dengan Graham's Shipping and Trading Company. Namun beberapa waktu kemudian ia memilih belajar hukum di The Honourable Society of Lincoln's Inn, salah satu dari empat Inns of Court di London, di mana ia menetapkan cita-cita untuk menjadi pengacara.

Kabarnya, Jinnah memilih Lincoln's Inn karena melihat papan bertuliskan “Muhammad” di pintu gerbang gedung. Tanda ini tak ditemukan Akbar S. Ahmed saat berkunjung ke lokasi. Ahmed justru menemukan mural raksasa yang menutupi dinding ruang makan Lincoln's Inn bergambar beberapa tokoh sejarah berpengaruh, salah satunya ilustrasi Nabi Muhammad dalam sorban dan jubah serba hijau.

Ahmed mengira bahwa inti dari cerita itu adalah kenangan Jinnah muda yang merasa senang atas apresiasi Lincoln's Inn kepada sosok yang ia hormati. Lukisan itu penting bagi Jinnah muda dalam memilih tempat studi, sebab Jinnah merasa perlu untuk tetap menjaga ikatan dengan identitasnya sebagai muslim.

Studi formalnya tentang sistem politik Britania Raya. Dari sanalah ia bersentuhan dengan ide-ide liberalisme dan -- terutama -- nasionalisme. Aziz Beg, penulis buku Jinnah and His Times, menyebut selama di Inggris itu pula Jinnah terpikat dengan ide-ide tentang kemerdekaan individu dan kemerdekaan bangsa. Dalam studinya itu pula, sembari mengamati dari dekat sistem politik di Inggris, ia mulai meyakini pentingnya supremasi hukum dan konstitusionalisme.

Ia pulang ke Karachi pada 1896. Namun hanya berlangsung singkat karena ia memilih untuk menetap di Bombay dan menjadi satu-satunya pengacara muslim di kota tersebut. Di sebagian waktu lain, sebagaimana tipikal nasionalis India kala itu, ia aktif menyuarakan perjuangan menentang Inggris.

Perjuangan Jinnah sesungguhnya adalah untuk komunitas muslim di India, namun ia tak bisa memulainya tanpa berkonsolidasi terlebih dahulu dengan gerbong nasionalis. Ia bergabung dengan Kongress Nasional India (Indian National Congress) sejak 1906. Selama periode itu ia punya rekan seperjuangan sekaligus pendukung utama bernama G. K. Gokhale, seorang brahmana terhormat, yang menjuluki Jinnah sebagai “duta besar terbaik persatuan Hindu-Muslim”.

Pada 1913 Jinnah mulai aktif di Liga Muslim India (All-India Muslim League) dan makin kencang membela hak-hak muslim di India. Salah satu usahanya yang mendapat pujian luas adalah meloloskan RUU Wakaf Muslim melalui Dewan Legislatif Viceroy. Reputasi Jinnah di kalangan muslim India makin mentereng sejak itu, dan terus meningkat hingga -- pada periode 1920-1930 dan 1937-1947 -- ia menjadi presiden Liga Muslim India itu sendiri.

Perpecahan internal kerap timbul dalam kisah perjuangan melawan kolonialisme. Di India, Jinnah berhadapan dengan Mahatma Gandhi. Meski keduanya sempat seiring sejalan, hubungan mereka merenggang ketika Gandhi menyerukan satyagraha, gerakan perlawanan rakyat sipil India untuk memprotes monopoli garam yang diberlakukan pemerintah Inggris. Jinnah menganggap strategi ini sebagai anarki politik, kemudian ia keluar dari Kongres Nasional India dan fokus mendukung Liga Muslim.

Kendati demikian, satu sama lain tampaknya tidak kehilangan respek. Gandhi, misalnya, menjuluki Jinnah sebagau Quaid-i-Azam (Pemimpin Besar). Perbedaan politik sebagai hal jamak yang tidak menggerus respek.

Setelah tinggal selama beberapa tahun di Inggris untuk mengamankan kondisi keuangannya, Jinnah diminta kembali ke India untuk memimpin Liga Muslim. Ia memenuhi permintaan ini pada 1935 dan membawa Liga Muslim ke kancah pemilihan umum pada 1937. Jinnah kemudian berupaya untuk mereorganisasi Liga Muslim agar lebih kuat.

Angin segar bagi perjuangan muslim India datang pula dari tokoh-tokoh lain. Chaudhry Rehmat Ali, misalnya, adalah nasionalis Punjab yang mempelopori nama “Pakistan” dan berkontribusi besar pada ide pembentukan tanah air bagi muslim India di Lembah Indus. Ia dikenal sebagai pengarang pamflet berjudul "Sekarang atau Tidak Sama Sekali” (1933) yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Pakistan.

Di antara tokoh-tokoh pergerakan India era 1930-an, tak ada yang lebih mempengaruhi idealisme Ali Jinnah dalam hal pendirian negara muslim ketimbang Muhammad Iqbal.

Infografik ali jinnah

Muhammad Iqbal adalah filsuf, penyair, dan politikus besar abad 20 yang giat mendorong pembentukan negara muslim di Barat Daya India. Ketika sedang belajar hukum dan filsafat di Inggris, Iqbal juga menjadi anggota Liga Muslim India cabang London. Ceramahnya tentang pembentukan negara muslim diutarakan di forum Liga Muslim pada Desember 1930 dan segera mendapat dukungan dari anggota liga lain, termasuk Ali Jinah, yang pada tahun yang sama memulai korespondesi dengan Iqbal.

Para sejarawan kerap berkata bahwa Muhammad Iqbal punya visi dan Ali Jinnah-lah yang mewujudkannya. Keduanya terlihat mesra hingga akhir hidup Iqbal pada 1938. Namun sesungguhnya Iqbal dan Jinnah juga pernah melalui masa-masa berselisih pendapat pada dekade1920-an. Sebelum tutup usia, Iqbal berhasil menuntun Jinnah ke visi-visinya. Jinnah mengakui bahwa Iqbal adalah mentornya, sosok yang menyalakan api Islam di dalam dirinya.

Satu tahun sebelum sang guru wafat, Jinnah selalu mengutip ide-ide Iqbal dalam berbagai pidato, seraya menggunakan simbolisme Islam untuk mempersatukan muslim serta menyebarkan gagasan tentang kebebasan, keadilan, dan kesetaraan ala Islam. Jinnah meminjam nama Iqbal beserta pemikirannya saat berbicara hal-hal besar, misalnya ekonomi negara, hingga yang praktis-praktis seperti adab dalam ritual salat lima waktu.

Dalam perjalanan menuju kemerdekaan Pakistan, kesehatan Jinnah mulai memburuk sejak akhir 1930-an. Pada 1940 Jinnah memimpin pertemuan Liga Muslim yang melahirkan Resolusi Lahore dan mendesak perpisahan dari India untuk mendirikan tanah air muslim. Pada 1945-1956 Liga Muslim menang dalam pemilihan umum dan menjadi kekuatan terbesar ketiga di India. Organisasi itu menuai lebih banyak pendukung.

Saat Louis Mountbatten menjabat sebagai Gubernur Jenderal India pada 1947, sisa umur Jinnah tinggal satu tahun lagi. Beruntung, Jinnah sempat menyaksikan kemerdekaan Pakistan pada 14 Agustus 1947, setelah melalui konflik berdarah dan rangkaian perundingan. Selama satu tahun itu pula Jinnah sempat menjabat sebagai Gubernur Jenderal dan Ketua Majelis Nasional Pakistan pertama.

Ali Jinnah meninggal pada 11 September 1948 dalam usia 71 tahun dan dimakamkan sehari setelahnya. Untuk mengenang sang Bapak Bangsa (Baba-i-Qaum), dibangunlah Mazar-e-Quaid/Jinnah Mausoleum di area makamnya. Kini, tiap 25 Desember, rakyat Pakistan merayakan libur nasional untuk mengenang hari lahir Jinnah, sekaligus mengenang kembali jasa-jasanya bagi republik.

Baca juga artikel terkait PAKISTAN atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Humaniora
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Zen RS