Menuju konten utama
Review Buku

Zionisme ala Muslim di Pakistan

Pakistan dan Israel adalah dua negara-bangsa yang didefinisikan berdasarkan identitas agama.

Zionisme ala Muslim di Pakistan
Faisal Devji. FOTO/Istimewa

tirto.id - Tak banyak yang menelisik kemiripan antara Israel dan Pakistan. Dua negara itu memang nampak berbeda dari segi demografi; sebagian besar penduduk Israel Yahudi; sebagian besar penduduk Pakistan Muslim. Barangkali karena faktor demografi ini pula, membandingkan keduanya seolah tabu: Israel bermasalah negeri-negeri tetangganya yang mayoritas berpenduduk Muslim; Pakistan bermasalah dengan Israel terkait isu Palestina. Kedua negara tersebut secara resmi tidak menjalin hubungan diplomatik.

Namun, tidak berarti Israel dan Pakistan tak bisa dibandingkan. Kedua negara berhubungan erat, khususnya secara militer, dengan Amerika Serikat. Dua-duanya bahu-membahu mendukung para kombatan Afghanistan dalam perang melawan Soviet pada akhir 1970an. Dua-duanya, sebagaimana diungkapkan oleh Faisal Devji dalam Muslim Zion, Pakistan as a Political Idea (2011), didirikan atas ketakutan sebagai minoritas—atau diminoritaskan—yang terungkap secara lugas dalam seruan kembali ke Zion (dalam teks-teks gerakan Zionis) maupun dalam teori Dua Negara yang memisahkan kaum Muslim dan Hindu India sebagai dua entitas bangsa.

Israel berdiri pada 1948 sebagai reaksi atas persekusi, pembantaian massal, dan rasisme yang merupakan pengalaman sehari-hari orang Yahudi di Eropa sejak pembuangan di Babilonia hingga pada puncaknya, yaitu Holocaust yang berlangsung antara 1933-1945. Pada 1896, jurnalis Hungaria Theodor Herzl menerbitkan sebuah pamlet berjudul Der Judenstaat (Negara Yahudi) yang berisi argumen mengapa orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh dunia hanya bisa aman jika mereka mendirikan negara sendiri, bukan pemukiman khusus seperti yang telah dicoba berkali-kali di sejumlah wilayah Eropa Timur.

Pakistan berdiri pada 1947, setahun sebelum Israel, sebagai buah perjuangan Liga Muslim Seluruh India pimpinan Muhammad Ali Jinnah. Pada masa penjajahan Inggris, Liga Muslim bercita-cita mendirikan negara yang terpisah bagi warga India beragama Muslim, terpisah dari cita-cita negara India yang sekuler. Persepsi sebagian warga Hindu India bahwa Muslim pernah mendominasi India melalui kerajaan Mughal, memicu kerusuhan dan pembantaian seperti yang terjadi di Kalkutta pada Agustus 1946 dengan korban 10 ribu warga Muslim. Pakistan, sejak itu, bercita-cita menjadi rumah seluruh Muslim di Asia Selatan.

infografik muslim zion

Dalam pembahasan Devji, pendirian Israel dan Pakistan mewakili identitas kebangsaan yang didefinisikan oleh agama. Beberapa diskursus nasionalisme arus utama sepanjang 19 meletakkan kesamaan bahasa, etnis, atau identitas primordial lainnya sebagai faktor perekat—jika bukan esensi—kebangsaan. Dalam wacana tersebut, kesamaan agama tidak menjadi pertimbangan semenjak Kristen dipandang sebagai identitas yang universal selama berabad-abad. Pengalaman persekusi terhadap komunitas-komunitas Yahudi yang tersebar di seluruh Eropa-lah yang mempelopori konstruksi bangsa-agama yang menjadi basis politik Zionisme.

Pada saat bersamaan, klaim identitas keagamaan yang sifatnya lebih universal, dengan subjek melampaui keragaman etnik dan bahasa, membuat teritori—syarat mutlak negara bangsa—sulit didefinisikan. Jutaan orang Yahudi tetap tinggal tersebar di seluruh dunia—bahkan tak sedikit yang menolak eksistensi Israel. Jutaan Muslim tetap tinggal di India—bahkan, Bangladesh yang sama-sama berpenduduk Muslim, memisahkan diri dari Pakistan pada 1971.

Sejak awal abad 20, dan khususnya setelah Perang Dunia II, Yahudi menjadi simbol internasional ketertindasan kelompok minoritas. Kesadaran ini juga masuk ke dalam kepala para tokoh-tokoh anti-kolonial India di kekuasaan Imperium Inggris. Sebagaimana dikutip Devji, Jinnah, bapak bangsa Pakistan, “membaca lebih banyak buku tentang masalah-masalah Yahudi Eropa ketimbang tentang masyarakat Muslim di negerinya atau di negeri lain.” Aspek ketertindasan Yahudi pula yang memberikan kerangka politik identitas dalam pembahasan Gandhi dan Ambedkar tentang nasib orang-orang Dalit (pariah dalam hirarki kasta masyarakat India).

Di satu sisi, baik Pakistan maupun Israel tidak pernah dirancang sebagai negara teokrasi. Jinnah sendiri merujuk komunitas Muslim di sini dalam konteks keterwakilan dalam sistem demokrasi liberal; ia khawatir demokrasi di India akan sulit menjamin hak-hak konstitusional warga Muslim. Membungkus Muslim dalam status sebagai bangsa yang terpisah dari Hindu-India akhinya menjadi cara bagi Jinnah untuk keluar dari ketakutan atas ancaman tirani mayoritas tersebut.

Di sisi lain, “pembangsaan” Muslim juga berdampak pada struktur politik dan ideologi negara. Kudeta Jenderal Zia ul-Haq pada 1978 dan berkuasanya kaum Islamis di pemerintahan membuktikan hal tersebut. Sebagaimana yang dicatat Devji, dalam sebuah wawancara pada 1981 di majalah The Economist, Zia ul-Haq menyatakan: “Seperti halnya Israel, Pakistan adalah sebuah negara ideologis. Jika Anda copot Yudaisme dari [tatanan negara], Israel akan ambruk. Jika Anda tarik Islam dari Pakistan dan menjadikannya negara sekuler, Pakistan bakal runtuh”.

Muslim Zion merupakan kajian sejarah intelektual ketimbang sebuah pengamatan yang detil tentang peristiwa-peristiwa seputar berdirinya Pakistan. Namun, ia menunjukkan bagaimana bangsa terbentuk melalui sebuah ide murni tanpa basis historis yang berakar yang dapat menjustifikasi keberadaannya, kecuali riwayat traumatik persekusi, teror, dan kekerasan politik.

Baca juga artikel terkait PAKISTAN atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti