tirto.id - Di usianya yang baru menginjak 31 tahun, Sebastian Kurz digadang-gadang jadi orang nomor satu di Austria. Kurz, tokoh partai konservatif itu, meroket dengan mengantongi 31 persen suara dalam pemilu Austria. Mengikuti Hongaria, kini Austria berada dalam dekapan populisme kanan.
Bernaung di bawah Partai Rakyat (ÖVP), Mantan menteri luar negari Austria ini berhasil mengalahkan Partai Sosial Demokrat (SPÖ) yang meraup 26,9 persen suara lalu disusul Partai Kebebasan Austria (FPÖ) dengan 26 persen suara. ÖVP tahun ini sukses menambah 7 persen suara dibandingkan pemilu 2013 lalu.
“Saatnya negeri ini berubah. Sekarang waktunya kita mengubah negeri ini dan saya ucapkan terima kasih kepada Anda semua yang membuat ini mungkin,” ungkap Kurz, dikutip BBC.
Kurz berhasil mengubah wajah ÖVP dari partai kanan-tengah ke partai populis kanan yang mempermasalahkan imigrasi, sebuah isu utama menjelang pemilu. Ia memanfaatkan sentimen anti-imigran yang menguat beberapa tahun belakangan. Imigran, dalam narasi sayap kanan populer, dianggap akan mengganggu perekonomian domestik.
Memanfaatkan media sosial, acara-acara diskusi dan terjun ke lapangan, Kurz memikat basis tradisional konservatif dan anak-anak muda yang terseret ke arus sayap kanan dengan berjanji menutup keran migran ke Eropa. Kurz juga akan membatasi kucuran dana bagi pengungsi serta tak memberi tunjangan bagi para imigran hingga sebelum mereka memenuhi syarat tinggal di Austria minimal lima tahun.
Baca juga: Masa Depan Politik Belanda Pasca Keoknya Wilders
Program Kurz lainnya adalah pengurangan pajak yang bertujuan untuk menarik investor dan menjadikan Austria ramah bisnis. Oleh sebab itu, jumlah pajak yang kini sebesar 43 persen diturunkan menjadi 40 persen.
Selain itu, Kurz juga mendapat keuntungan dari menyurutnya dukungan untuk Partai Sosial Demokrat di tengah ketegangan koalisi partai tersebut dengan FPÖ, serta terpecahnya suara partai-partai baru. Sedangkan dari pihak oposisi, Christian Kern kehilangan dukungan setelah muncul laporan bahwa salah satu orang terdekatnya melancarkan kampanye kotor melawan Kurz.
Meski memenangkan pemilu, ÖVP gagal mendapat kursi mayoritas dalam parlemen sehingga harus membentuk koalisi agar memuluskan jalannya pemerintahan. Sedangkan Partai Hijau yang mendukung kebijakan yang lebih manusiawi bagi imigran masih sulit menembus parlemen.
Kebijakan Imigrasi hingga Ekonomi Populis Kanan
Banyak kritik untuk kebijakan keamanan yang dirancang para politisi kanan populis. Namun menurut berbagai laporan, partai-partai kanan populis tetap mendulang suara yang cukup signifikan dalam beberapa pemilu terakhir.
Naiknya Kurz menunjukkan gejala belok kanan yang kini terjadi di banyak negara Eropa. Di Jerman, partai AfD (Allianz für Deutschland) berhasil menduduki parlemen untuk pertama kalinya setelah pada pemilu lalu berhasil mendapat tambahan lebih dari 5 persen suara. Program penting AfD sudah tentu menyangkut imigran. Pemimpin AfD Frauke Petry menyarankan agar penjaga perbatasan dipersenjatai untuk menghadapi imigran ilegal.
Di Hongaria, partai ultra-kanan sepertinya masih menjadi idola bagi warga setempat, terbukti dari kembali terpilihnya Viktor Orban pada 2014 setelah menjabat perdana menteri sejak 2010. Ini menunjukkan kemajuan berarti bagi kaum ultra-kanan. Jobbik, partai ultra-kanan Hongaria, kini menguasai 23 dari 199 kursi di parlemen.
Viktor Orban membangun pagar kawat berduri di perbatasan dengan Serbia pada 2015. Wilayah perbatasan tersebut merupakan tempat perlintasan bagi para imigran. Tak tanggung-tanggung, pagar berduri itu juga dijaga oleh tentara yang kerap berpatroli dengan anjing pelacak.
Para imigran pun hanya boleh masuk hingga kamp pengungsian. Orban lebih tertarik untuk menangani permasalahan imigran di luar wilayah Eropa. Apa yang dilakukan Orban ini, telah melanggar hukum internasional atau kebijakan Uni Eropa yang berkomitmen terhadap kebijakan keterbukaan terutama bagi imigran, menurut presiden Uni Eropa Jean-Claude Juncker.
Selain itu, menurut para aktivis , membiarkan imigran di pusat-pusat pengungsian seperti di Libya dan wilayah lainnya di Afrika atau di kamp pengungsian lainnya hanya akan menambah penderitaan mereka. Para pegiat aktivis pro-imigran khawatir jika mereka akan diperlakukan buruk.
Baca juga: Geert Wilders, Politikus Rasis Belanda Keturunan Sukabumi
Kekhawatiran itu didasarkan pada dokumentasi yang dilakukan para pekerja kemanusiaan terhadap kondisi-kondisi yang mengerikan di kamp-kamp pengungsian. Kelompok kiri-jauh malah menyebut Viktor Orban "rasis dan pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia."
Meski dikecam, banyak warga Hungaria menganggap Orban berjasa menghidupkan kembali ekonomi yang negara yang mandek, mengurangi angka pengangguran, dan menurunkan tarif energi. Berdasarkan Budapest Business Journal, pengangguran untuk periode Maret-Mei 2017 sebesar 4,4 persen dan menjadi 4.2 persen untuk periode Juni-Agustus 2017.
Kebijakan ekonomi lainnya dari Orban adalah menurunkan pajak serendah mungkin. Salah satunya pajak perusahaan. Dalam laporan Financial Times, Orban memangkas pajak perusahaan hingga 10 persen pada tahun lalu dan akan menurunkannya jadi 9 persen untuk tahun ini. Jumlah itu lebih rendah dari Irlandia yang kini mematok pajak perusahaan sebesar 12,5 persen.
"Kebijakan ekonomi kita berdasarkan kenaikan upah dan pajak rendah yang harus terus dipertahankan dalam pemilihan tahun depan, dan jika ini berhasil maka tingkat pertumbuhan ekonomi Hungaria bisa mencapai 5 persen sekitar tahun 2020,” Kata Orban.
Menurut Orban, hal ini akan menjadi tahap akhir dari rencana ekonomi yang diluncurkan pada 2010,
yakni mengejar stabilitas keuangan setelah pertumbuhan ekonomi antara 1-3 persen, dan kemudian 3-5 persen, berhasil dipastikan pada tahun ini dan tahun berikutnya.
Partai dan politisi sayap kanan anti-imigran Eropa lainnya adalah Front National (Perancis), Geert Wilders dari Partai Kebebasan (Belanda), Jimmie Akesson dari Partai Demokrat (Swedia), Nobert Hofer dari Partai Kebebasan (Austria) dan Partai Rakyat (Slovakia).
Melihat pola kebijakan politisi ultra-kanan seperti Orban, tak jarang kaum kiri Austria khawatir jika Kurz akan seperti Orban. Namun pengamat politik profesor Peter Filzmaier dari Universitas Krems dan Graz Austria, tak mengkhawatirkan kampanye Kurz soal anti-imigran. Menurutnya, Kurz tak seperti Donald Trump di Amerika Serikat atau Viktor Orban di Hongaria.
"Dia melihat dirinya [Kurz] lebih sebagai versi konservatif dari Emmanuel Macron atau Justin Trudeau", kata Filzmaier.
Masa Depan Populisme Kanan
Sulit memastikan sampai kapan popularitas arus populisme kanan akan bertahan. Diwawancarai Al-Jazeera, pengamat politik Cas Mudde dari University of Georgia mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan tahun 2016, pada tahun ini partai-partai kanan tidak benar-benar bangkit.
"Pembicaraan tentang kebangkitan sayap kanan itu harus tepat konteks waktunya. Partai-partai kanan populis radikal memuncak dalam pemungutan suara pada paruh kedua tahun 2016, tapi setelah itu perolehan suaranya malah lebih rendah,” ujar Mudde.
Baca juga: Hasil Pemilu Perancis: Capres Uang vs Capres Rasis
Menurut Mudde, bertahannya popularitas partai-partai kanan populis disebabkan oleh hilangnya kepercayaan pemilih pada partai-partai arus utama.
Amanda Taub dari The New York Times, melakukan survei terkait mengapa mendukung AfD yang kini tengah naik daun di Jerman. Hasilnya? Tak seorang pun mengatakan mendukung AfD karena persoalan ekonomi, melainkan karena isu imigrasi.
“Sebaliknya, saya berulang kali mendengar bahwa bangsa dan kebudayaan Jerman terancam oleh imigran Muslim dan orang luar, dan bahwa di antara semua partai, hanya AfD-lah yang bersedia melindungi Jerman,” ujar Mudde.
Isu imigrasi telah mengerek popularitas partai-partai kanan populis. Namun masa depannya belum dapat diprediksi. Benarkan ia akan tetap bertahan, meningkat atau akan digantikan oleh naiknya sayap kiri setelah urusan imigrasi telah lewat?
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf