tirto.id - Donald Trump punya kawan dari Belanda. Namanya Geert Wilders. Dua-duanya mencat rambutnya pirang. Dua-duanya mewakili kekuatan sayap kanan. Dua-duanya anti-imigran. Dua-duanya keturunan imigran. Kakek Trump lahir di Kallstadt, Jerman, dan menginjakkan kaki di New York City pada 1885 sebagai tukang cukur. Trump Presiden Amerika, sementara Wilders berpotensi jadi Perdana Menteri Belanda.
Rambut asli Wilders berwarna coklat. Salah satu neneknya berdarah Jawa kelahiran Sukabumi, Hindia-Belanda—fakta yang ditutup-tutupi Wilders. Sama halnya dengan Trump, Wilders mendapuk diri sebagai wakil dari pribumi kulit putih. Dalam artikel yang diterbitkan De Droege Amsterdammer pada 2009, antropolog Lizzy van Leuween yang menelisik asal-muasal keluarga Wilders dari arsip-arsip kolonial, mengatakan, “Wilders mereduksi politik menjadi sebatas isu imigrasi, sensus, dan gerakan kepribumian.”
Pekan depan, 15 Maret 2017, negeri kincir angin akan menyelenggarakan pemilu legistlatif. Partai Wilders, Volkspartij voor Vrijheid en Democratie (Partai Kebebasan dan Demorasi, VVD), diperkirakan memperoleh suara terbesar di parlemen. VVD mengkampanyekan penutupan masjid, melarang peredaran al-Quran, dan pembatasan imigran dari Maroko. Ihwal imigrasi yang dua tahun terakhir menjadi isu sentral di negara-negara Uni Eropa sejak membanjirnya arus pengungsi dari Suriah, menjadi senjata utama Wilders untuk memenangkan pemilu.
Pilar-Pilar Liberal Belanda
Potensi kemenangan partai Wilders menandakan ada yang salah dalam masyarakat Belanda, yang terkenal dengan tradisi multikulturalisme yang kuat dan menerima pendatang dengan tangan terbuka.
Harian NRC Handelsblad(12/11/15) mencatat tren arus besar perpindahan manusia itu dari masa ke masa. Selama Perang Dunia I, satu juta warga Belgia mengungsi ke Belanda yang jumlah populasinya sekitar enam juta jiwa pada itu.
Antara 1946 dan awal dekade 1950an, orang-orang berdarah campuran Belanda-Indonesia (Indo) memenuhi kota-kota pelabuhan Belanda, dipicu oleh Revolusi Fisik (yang dikenal di Belanda dengan sebutan Periode Bersiap) serta menguatnya sentimen anti-Belanda. Pada 1951 Pengadilan Belanda mengeluarkan perintah untuk mengevakuasi 12.500 serdadu Maluku yang tergabung dalam pasukan KNIL ke Belanda dengan alasan keselamatan.
Pada periode yang sama, para pengungsi dari negara-negara Blok Timur berdatangan ke Eropa Barat, seiring dengan intervensi militer Uni Soviet ke Hungaria (1956) dan Cekoslowakia (1968). Hingga tahun 1975, orang-orang yang lari dari rezim fasis di Yunani, Spanyol dan Portugal turut membanjiri Belanda. Sepanjang dekade 1990an, Belanda menerima limpahan arus imigrasi dari negara-negara pecahan Yugoslavia, menyusul konflik bersenjata dan krisis kemanusiaan di Kosovo.
NRC Handelsblad juga menyebutkan tidak semua pendatang mendaftar sebagai pengungsi karena sangat mudah untuk mendapat izin tinggal dan kerja. Banyak dari pendatang tersebut yang kemudian dikenal sebagai tokoh publik, misalnya menteri Dzsingisz Gabor (asal Hungaria), presenter televisi Martin Simek and atlet tenis Richard Krajicek (Cekoslowakia), kapten tim nasional sepakbola Belanda Giovanni van Bronckhorst (keturunan Maluku), hingga Geert Wilders.
Banyak faktor yang mendorong naiknya sentimen anti-imigran di Belanda. Satu di antaranya, tulis Wartawan Bloomberg Leonid Bershidsky, adalah warisan sisa-sisa sistem polarisasi (verzuiling) dimana masyarakat dikelompokkan berdasarkan ideologi atau agama, berikut pers, sekolah, gereja, dan pranata-pranata sosial lainnya masing-masing.
Walhasil, alih-alih tiap kelompok sosial tinggal di dalam gelembung. Kendati mulai ditinggalkan sejak akhir dekade 1970an, sisa-sisa verzuiling ini kerap terasa dalam dinamika antarwarga yang saling cuek dan di sisi lain, dalam dikotomi “kita-mereka” yang kuat. “Liberalisme [Belanda]”, demikian Bershidsky, “adalah apati.”
Warisan verzuiling juga yang kembali mencuat manakala ketika imigran dari Maroko membanjiri Belanda kurang lebih sejak akhir 1970an. Kultur liberal Belanda serta kesulitan pendatang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai setempat (nyata maupun dibayangkan), ditengarai sebagai satu sumber percekcokan, misalnya dalam isu-isu seperti perkawinan sesama jenis dan eutanasia.
Ada pula persoalan ekonomi dan perubahan tatakota yang memperkeruh hubungan antara warga kulit putih dan pendatang. Di Amsterdam, misalnya, kota dengan jumlah imgran Maroko terbesar, harga properti dan ongkos sewa apartemen di pusat kota naik drastis.
Hal ini menyebabkan warga Amsterdam kelas menengah beramai-ramai pindah ke pinggiran kota, yang sebelumnya sudah ditempati oleh pendatang Maroko, Turki, dan Suriname. Dengan bagasi prasangka yang sudah ada, terjadilah gesekan. Soal-soal ekonom ini pula yang menjelaskan mengapa dukungan kelas menengah perkotaan terahadap Wilders semakin menguat.
Sejak 1998, untuk mengurangi jumlah pendatang, pemerintah Belanda mulai membatasi akses pendatang terhadap jaminan sosial, kesehatan, dan perumahan.
Menang dari Kebencian
Setelah menyatakan diri keluar dari Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (Volkspartij voor Vrijheid en Democratie, VVD), pada 2004 Wilders mendirikan Partai Kebebasan (Partij voor de Vrijheid, PVV). Tiap kali pemilu, jumlah kursi untuk PVV di parlemen terus bertambah: sembilan dari 150 kursi pada pemilu 2006, 24 pada 2010, kemudian turun jadi 15 pada 2014.
Pada pemilu yang akan diselenggarakan minggu depan, PVV diperkirakan akan bertengger di puncak dengan perolehan 33 kursi.
PVV cerdik memanfaatkan momentum di sekitar peristiwa kekerasan. Wilders, yang dijaga oleh polisi 24 jam sejak tragedi 9/11, selalu menunjuk kasus-kasus seperti pembunuhan seniman Theo van Gogh oleh imgran Maroko (2004), penyerangan kantor majalah Charlie Hebdo oleh militan Islamis (2015), dan banyak lagi guna membuktikan bahwa imigran muslim tidak cocok berdampingan dengan masyarakat.
Mereka juga menyebarkan teori konspirasi tentang “Islamisasi Belanda.” Tiga tahun silam, Wilders dibebaskan dari tuntutan pengadilan setelah melontarkan pernyataan diskriminatif dan memancing kebencian terhadap imigran Maroko di muka umum.
Tapi rupanya lucu juga—dan terlalu sering terjadi di mana-mana—ketika aksi-aksi menolak apapun dan siapapun yang dilabeli non-pribumi, dipimpin oleh keturunan non-pribumi. Geert sedang melawan sesuatu yang secara biologis merupakan bagian dari dirinya.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani