Menuju konten utama

Bayang-Bayang Kultus Politikus di Indonesia

Banyak kajian menganggap Jokowi dikultuskan sehingga publik tak objektif dalam melihat kebijakan-kebijakannya bahkan cenderung mendukung tanpa syarat.

Bayang-Bayang Kultus Politikus di Indonesia
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Komandan Upacara Brigjen TNI Yusuf Ragainaga mengecek kesiapan pasukan pada upacara penetapan Komponen Cadangan Tahun Anggaran 2021 di Pusdiklatpassus, Batujajar, Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (7/10/2021). ANTARA FOTO/HO/Indonesia Defense Magz/pras/rwa.

tirto.id - Survey dari Litbang Kompas pada 2020 menunjukkan responden banyak yang tidak puas dengan kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin. Ada 46,3% yang mengaku tidak puas dan hanya 39,7% yang merasa sebaliknya.

Gagal melindungi Indonesia dari Covid-19, sulit menyerap aspirasi masyarakat, dan justru mengkriminalisasi orang-orang yang melakukan kritik. Setidaknya itu tiga alasan mengapa kepercayaan pada Presiden Joko Widodo menurun di awal periode kedua pemerintahan, menurut Dimas Rizki Permadi dalam artikel yang tayang di The Conversation pada November 2020.

Dalam hal penanganan pandemi, menurut Dimas, “pemerintah lebih mengutamakan masalah ekonomi” dengan “mengorbankan kesehatan masyarakat.” Akibatnya, pada awal November tahun tersebut, tercatat 415.402 kasus dan menjadikan Indonesia negara nomor satu jumlah kasus Covid-19 di Asia Tenggara.

Dalam situasi seperti itu, Pilkada 2020 tetap diselenggarakan dan UU Cipta Kerja disahkan. Keduanya dilaksanakan di tengah banyaknya kritik.

Mereka yang melancarkan kritik tidak lolos dari celaka. Salah satunya adalah peneliti Ravio Patra yang ditangkap karena dianggap menyebar berita palsu lewat aplikasi Whatsapp–yang ternyata diretas.

Tak heran jika publik kemudian menilai di bawah pemerintahan Jokowi demokrasi kian menurun. Hasil survei Indikator Politik Indonesia tahun 2020 menunjukkan 36 persen dari 5.614 responden percaya Indonesia kurang demokratis. Hanya 17,7 persen yang percaya sebaliknya, Indonesia lebih demokratis saat dipimpin Jokowi.

Selain tren pembungkaman, sebab lainnya juga karena minimnya oposisi dalam pemerintahan untuk menegakkan mekanisme check and balances.

Ben Bland, peneliti dari Lowy Institute, mengatakan minimnya oposisi adalah sesuatu yang memang diupayakan. Ketika merangkul Prabowo sebagai Menteri Pertahanan, Jokowi dianggap telah mengkhianati demokrasi. “Ketika dia memilih Prabowo, artinya sudah selesai,” kata salah satu pejabat kepada Bland seperti tertera dalam Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia (2020). “Dia melakukan itu untuk melumpuhkan oposisi.”

Bland menilai Jokowi “tidak pernah menjadi seorang reformis demokrasi seperti yang pendukungnya pikirkan.” Dari kebijakan pemerintahan selama ini, Jokowi justru banyak melakukan “langkah-langkah mundur seperti pada tahun kepemimpinan Soeharto” yang merupakan seorang diktator.

Kultus di Indonesia

Awal tahun ini, Indikator Politik Indonesia mengeluarkan survei tentang kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi. Mereka yang puas ternyata mayoritas, 71,4%. Angkanya memang turun dibanding survei pada November 2021, tapi perbedaannya tidak jauh, hanya sekitar 1%.

Survei tersebut menyatakan yang cukup berpengaruh terhadap kepuasan publik adalah faktor ekonomi. “Baik itu nasional atau secara rumah tangga,” kata Direktur Indikator Politik Burhanudin Muhtadi, Minggu (9/1/2022) lalu.

Namun, adakah faktor lain yang menyebabkan hal itu, mengingat banyak hal lain yang dianggap bermasalah oleh sebagian kelompok masyarakat? Bisa jadi, jawabannya adalah karena ada tren pengultusan.

Dias Pabyantara dan Radityo Dharmputra dalam artikel jurnal berjudul Elections in Indonesia: Personality Cult and Majoritarian Conservatism (2019) menjelaskan kebangkitan tren pengultusan karena “menurunnya peranan sistem partai politik di Indonesia.” Partai lebih cenderung giat memoles citra tokoh daripada mengembangkan program-program kepartaian sejak kejatuhan Soeharto.

Hal ini misalnya terlihat jelas dalam Pilpres 2019 kemarin, ketika banyak debat kusir yang tidak membahas substansi masalah sama sekali.

Mereka yang bertugas membuat kebijakan berada di parlemen yang merupakan kader-kader partai-partai. Mereka akan memutuskan berbagai isu-isu penting seperti soal LGBT, kebebasan berpendapat, dan hak-hak kaum minoritas. Namun orang-orang hanya fokus pada individu Jokowi (dan Prabowo sebagai kompetitor utama). Orang-orang terkesima pada karismanya: anak tukang kayu dan terlihat merakyat.

Pengultusan semacam itu tentu bukan sesuatu yang baik bagi demokrasi. “Dengan fokus pada kepribadian dan melupakan kebijakannya, maka kebijakan Jokowi yang mengabaikan hak minoritas atau menganiaya oposisi politik tidak akan dikritik, yang dapat mempercepat kemunduran demokrasi di Indonesia,” tulis Dias dan Radityo.

Tidak heran kemudian banyak tokoh lain yang sepertinya berupaya mengkultuskan diri. Mereka sibuk memasang baliho di mana-mana, bahkan di lokasi bencana.

Defbry Margiansyah, peneliti dari Pusat Penelitian Politik LIPI (kini BRIN), dalam artikel jurnal mengatakan pengultusan di Indonesia muncul seiring dengan tren kebangkitan populisme, yang melihat “figur pemimpin karismatik yang dipersepsikan sebagai common people atau kepanjangan suara rakyat.” Menurutnya “populisme cenderung mengarahkan masyarakat pada pengultusan sosok kandidat secara dramatis.”

Dampaknya tidak lain membuat “tumpulnya daya nalar masyarakat untuk mengkritisi celah-celah produk dan proses pembuatan keputusan yang berpotensi negatif bagi kehidupan berpolitik.” Defbry juga melihat ini berbahaya bagi demokrasi. Bahaya lainnya adalah “terciptanya sikap antipati atau permusuhan kepada sesama warga negara yang berbeda pilihan dan pandangan politik.”

Pengultusan Diktator

Istilah cult of personality ramai dibicarakan setelah Nikita Khrushchev, pemimpin Partai Komunis di Uni Soviet pada 1953 sampai 1964, membongkar kebobrokan yang dilakukan oleh Joseph Stalin saat memimpin negara. Menurutnya Stalin melakukan “cult of individual” dengan propaganda intensif.

Dalam salah satu catatan Inside Europe (1919) oleh John Gunther, Stalin dikatakan adalah orang yang tidak diinginkan oleh Vladimir Lenin sebagai penerusnya. Dia adalah diktator yang menurut Lenin “terlalu kasar.” Lenin bahkan meminta kepada pengurus partai agar mendepak Stalin dari jabatan Sekretaris Jenderal Partai Komunis. Pernyataan Lenin ini dicatat sebagai Lenin’s Testament.

Namun Stalin tak menyerah. Sejarawan Jerman Frank Dikötter menilai banyak cara bagi diktator untuk mempertahankan kekuasaannya. Dia bisa membinasakan orang atau melakukan politik adu domba.

Di bawah Stalin, banyak orang dibunuh atau dipenjara tanpa proses hukum yang benar. Mereka ditangkap dan dieksekusi di kamp penampungan Gulag. Pada 1929, setidaknya ada 60 ribu petani yang dikirim ke Gulag dan 154 ribu hidup dalam pengasingan. Dalam catatan Dikötter, antara 1937-1938, rata-rata orang dieksekusi sehari mencapai 1.000 orang.

Infografik Relawan Pro Jokowi

Infografik Relawan Pro Jokowi

Di luar cara represif, yang paling efektif dan dipakai juga oleh Stalin adalah cult of personality.

Setelah Lenin meninggal, Stalin menyebar 500 ribu salinan foto ia bersama Lenin. Dengan upaya ini, dia berhasil meyakinkan publik bahwa dirinya adalah murid yang akrab dengan Lenin. Membuatnya banyak dipuja-puja, bahkan oleh media. Dia mendapat banyak sebutan “hebat”, “bijaksana,” hingga “jenius” di media massa.

“Poster propaganda menurun dari 240 di tahun 1934 menjadi 70 di tahun 1937. Tapi intensitas produksi justru meningkat karena ternyata gambar tentang Stalin diperbanyak. Tiap kali orang keluar, mereka punya kesibukan yang selalu sama tentang Stalin: melihat mukanya, membawa poster berwajah Stalin, mempelajari tulisan-tulisan Stalin, menyanyikan lagu tentang Stalin, dan ikut ke dalam masa depan utopis Stalin,” catat Dikötter.

Stalin juga punya berbagai daerah yang dimulai dengan namanya: Stalinsk, Stalingrad, Stalinabad, Stalino, dan Stalinagorsk.

Pemimpin Cina juga mengupayakan pengultusan. Sebelumnya ada Mao Zedong, kini Xi Jinping. Media-media seperti Time dan The Economist sempat menyinggung soal ini. Time misalnya menukil bagaimana toko-toko buku di Cina sengaja memasang buku biografi Jinping di etalase terdepan. Kemudian ada juga slogan-slogan Jinping yang dipopulerkan dalam bentuk lagu.

Baca juga artikel terkait KULTUS atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino