tirto.id - Hakim tunggal pengadilan negeri Jakarta Selatan, Nazar Effriandi memutuskan menolak praperadilan Ravio Patra terkait prosedur penangkapan yang menyalahi hukum pada April lalu.
Disebutkan syarat formil gugatan tidak terpenuhi dalam putusan hakim, kemarin. Hakim menyebut “seluruh alasan yang diuraikan pendapat hukum adalah fakta yang dialami pemohon dan kemudian juga bukti-bukti yang diajukan tidak mendukung aspek formil”.
Putusan kasus nomor 63/Pid.Prap/2020/PN.Jkt.Sel berimplikasi terhadap keabsahan Polda Metro Jaya dalam penangkapan, penyitaan dan penggeledahan. Namun menurut kuasa hukum Ravio Patra, Alghiffari Aqsha bukan berarti penyelidikan atas kasusnya bisa berlanjut.
"Kasus yang dituduhkan kepada Ravio tak patut dilanjutkan karena kepolisian dalam jawabannya [saat praperadilan] mengakui masih tidak cukup alat bukti," kata Alghiffari, kemarin.
Polisi, katanya, justru perlu melanjutkan pelaporan Ravio Patra terkait peretasan.
"Kita tetap mendorong kasus Ravio sebagai korban peretasan tetap dilanjutkan hingga pelakunya ditemukan," lanjutnya.
Kasus praperadilan berkaitan dengan tuduhan polisi bahwa Ravio menyebarkan hasutan melalui transmisi elektronik. Polisi menerapkan banyak pasal yakni Pasal 28 ayat (2) juncto pasal 45 huruf a ayat (2) UU 19/2016 tentang ITE juncto Pasal 14 ayat (1) atau ayat (2) atau Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Pasal 160 KUHP.
Kendati demikian, Polda Metro Jaya dalam praperadilan justru menyatakan sebaliknya. Dari pemeriksaan Ravio usai penangkapan pada 22 April lalu, penyidik belum mempunyai alat bukti yang kuat hingga sidang praperadilan digelar.
"Selanjutnya sampai saat ini, termohon masih melakukan penyidikan untuk mencari alat bukti guna menemukan siapa tersangkanya," sebut kuasa hukum Polda Metro Jaya dalam dokumen jawaban sidang praperadilan.
Sejauh ini polisi telah mengumpulkan keterangan dari saksi-saksi terkait, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Berdasar bukti yang belum kuat, Ravio Patra tak jadi tersangka.
Kronologi Peretasan dan Penangkapan
Polisi menangkap Ravio tanpa legalitas. Ada lima kejanggalan secara administratif yang diajukan untuk praperadilan.
Kelimanya, penangkapan dilakukan tanpa adanya surat tugas dan perintah penangkatan; pemeriksaan setelah penangkapan berlangsung selama 35 jam; penggeledahan dilakukan dalam tahapan penyelidikan tanpa surat perintah penggeledahan; penyitaan barang dilakukan tanpa izin dari ketua pengadilan; dan Ravio tidak diberikan kesempatan untuk menghubungi penasihat hukum sejak dilakukannya penangkapan, penggeledahan, hingga penyitaan.
Penangkapan terjadi di hari sama saat akun WhatsApp dibobol entah oleh siapa. Hingga kini pelakunya belum ditemukan. Ravio telah melaporkan pembobolan akun WA ke Polda Metro Jaya pada 27 April 2020. Status pelaporan peretasan masih dalam penyidikan. Pembobolan itu menjadi pintu masuk bagi aparat menangkap Ravio dengan tuduhan menyebarkan provokasi.
Pesan dari akun WA menyebar ke nomor asing yang tak sebelumnya tak pernah terhubung dan tanpa saling kenal antara Ravio dan pemilik nomor. Pesan bernada provokasi terkirim saat akun WA dalam penguasaan peretas. Pesannya berbunyi:
“KRISIS SUDAH SAATNYA MEMBAKAR! AYO KUMPUL DAN RAMAIKAN 30 APRIL AKSI PENJARAHAN NASIONAL SERENTAK, SEMUA TOKO YG ADA DIDEKAT KITA BEBAS DIJARAH”.
Berbekal laporan dari sesama polisi penerima pesan tersebut, aparat menangkap Ravio pada 22 April di dekat indekosnya, di Jakarta Pusat. Selama dalam penangkapan hak-haknya dikebiri. Di antaranya baru ada pendampingan setelah diperiksa berjam-jam dan kemudian masa penahanan lebih dari 24 jam.
Semua prosedur hukum berdasar aturan pidana Indonesia yang keliru menurut kuasa hukum Ravio Patra, berubah menjadi sah karena putusan praperadilan. Kendati demikian, kasusnya tak perlu dilanjutkan.
"Layak untuk dihentikan karena setelah diteliti dan dalam jawaban termohon tidak terdapat bukti Ravio bisa ditetapkan sebagai tersangka," ungkapnya.
Editor: Abdul Aziz