tirto.id - Pemberangusan kebebasan berpendapat dan pengkerdilan ruang-ruang sipil dalam mengemukakan kritik, masih kerap menemui tembok penghalang berupa kriminalisasi. Dalih pencemaran nama baik dan lenturnya aturan yang melingkupinya, bak jebakan bagi nalar kritis masyarakat sipil. Kasus kriminalisasi pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan misalnya, masih terus dijumpai dalam negeri yang mengaku menjunjung tinggi demokrasi ini.
Kasus kriminalisasi yang dialami dua pegiat HAM, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar menjadi contoh yang ramai diperbincangkan. Keduanya berurusan dengan proses hukum sejak berperkara dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Luhut melaporkan Fatia dan Haris dengan Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Perkara ini berpusar pada dugaan kepemilikan saham Luhut pada bisnis tambang di Intan Jaya, Papua. Fatia dan Haris menyebut dugaan keterlibatan Luhut dalam siaran video atau podcast di kanal Youtube. Terbaru, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutan pidana 4 tahun penjara untuk Haris dengan denda Rp1 juta subsider kurungan 6 bulan. Sementara Fatia dituntut 3 tahun 6 bulan penjara dengan denda Rp500 ribu dengan subsider kurungan 3 bulan.
Kasus di atas menunjukkan rentannya kriminalisasi yang menyasar pegiat HAM dengan dalih pencemaran nama baik. Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya ada 1.021 pembela hak asasi manusia mengalami penuntutan, penangkapan, serangan, dan ancaman dari berbagai pihak pada periode Januari 2019 hingga Desember 2022. Dalam rentang waktu yang sama, 332 orang dijerat dengan UU ITE, sebagian besar menggunakan tuduhan pencemaran nama baik.
Kriminalisasi terhadap pegiat HAM dan lingkungan merupakan ancaman serius bagi demokrasi. Pemenuhan dan perlindungan HAM akan jalan di tempat jika persoalan ini masih terus terjadi. Komitmen politik menjadi penting diupayakan agar tidak ada lagi kasus kriminalisasi pegiat HAM dan lingkungan atas dasar pencemaran nama baik.
Direktur Eksekutif Imparsial, Gufron Mabruri, menyatakan Pemilu 2024 seharusnya mampu menjadi momen bersama para paslon calon presiden dan calon wakil presiden membenahi persoalan ini. Menurut dia, penting hadirnya transformasi nyata untuk melindungi para pegiat HAM dan lingkungan, khususnya di tingkat legislasi.
“Hari ini perlu ada regulasi yang menjamin dan melindungi kerja kerja pembela HAM di Indonesia, seperti UU pembela tentang perlindungan pembela HAM,” kata Gufron dihubungi reporter Tirto, Senin (11/12/2023).
Dia menilai, aturan yang ada saat ini seperti jaminan partisipasi warga belum mencukupi. Sebagai informasi, hak atas kebebasan berekspresi telah dijamin oleh Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Di Indonesia sendiri, hak atas kebebasan berpendapat juga dijamin di dalam konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3), dan juga Pasal 23 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999.
“Selain itu, para paslon juga harus mendorong agenda revisi sejumlah UU yang mengancam atau sering digunakan untuk mengancam pembela HAM, khususnya UU ITE,” ujar Gufron.
Menilik Komitmen para Paslon
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Afriansyah Noor, menyatakan paslon capres-cawapres yang mereka usung akan membawa visi Indonesia ke depan yang jauh lebih baik. Ferry, sapaan akrabnya, percaya bahwa Prabowo akan mengawal persoalan HAM dan perlindungan pegiat HAM lebih baik jika terpilih.
“Memang kita akan tekankan supaya pemerintahan yang baru ke depan di bawah pemerintahan Pak Prabowo dan Mas Gibran ini akan lebih mementingkan dan lebih mengutamakan isu-isu HAM,” kata Ferry dihubungi reporter Tirto, Senin (11/12/2023).
Ferry mengklaim, pendukung dan relawan Prabowo-Gibran juga banyak yang datang dari kalangan aktivis. Dia menilai jika rencana pemenuhan HAM Prabowo-Gibran terkoordinasi dengan baik, maka akan membuat suasana yang lebih nyaman dalam persoalan hukum.
“Dan menurut saya kebebasan berpendapat juga ada batasan-batasannya. Jadi tidak bisa isu berita hoaks, kemudian fitnah sana fitnah sini dibiarkan juga, menurut saya nggak baik,” ujar Ferry.
Ia menambahkan, “Kebebasan itu harusnya ada aturan, dan aturan itu dibuat dengan baik sehingga berpihak dan berkeadilan.”
Sementara itu, Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Yusuf Lakaseng, menyatakan kriminalisasi pegiat HAM terjadi karena pemerintah dikangkangi oleh oligarki modal. Penguasa, kata dia, mereka yang pembiayaan politiknya disuntik oleh oligarki sehingga hukum bekerja untuk membela kepentingan modal.
“Pemerintahan seperti itu bukan hanya tidak memberantas korupsi di kalangan penegak hukum, tapi justru sengaja membiarkan perilaku koruptif pada aparat hukum kita agar mudah dikendalikan,” ujar Yusuf dihubungi reporter Tirto, Senin (11/12/2023).
Yusuf mengklaim, kubu paslon Ganjar-Mahfud berkomitmen kuat pada hukum yang melindungi rakyat, memberi rasa keadilan, dan kepastian hukum. Korupsi di aparat hukum, kata dia, juga harus diberantas agar aparat penegak hukum membela yang benar dan melindungi rakyat.
“Pemerintah tidak boleh di atas hukum dan menjadikan hukum sebagai alat represif, (harus) menjunjung tinggi konstitusi,” terang Yusuf.
Di sisi lain, Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (Timnas) Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN), Surya Tjandra, menyatakan jika AMIN terpilih pihaknya akan menjamin tidak akan ada lagi kriminalisasi terhadap aktivis karena berbeda pendapat dengan pemerintah atau mengkritik salah satu menteri di kabinet.
“Tidak boleh lagi terjadi kasus seperti yang dialami Haris dan Fatia misalnya,” ujar Tjandra kepada reporter Tirto.
Terlebih, kata Surya, pegiat isu lingkungan dan perubahan iklim harus menjadi perhatian semua pihak. Sebabnya, kritik dan masukan pegiat lingkungan ini dinilainya mengisi ruang gelap (blind spot) yang niscaya dihadapi pemerintah.
“Terlebih pembangunan memang tidak dilaksanakan di ruang vakum, akibat banyaknya keterlanjuran dan tumpang tindih yang sebagian disebabkan pemerintah sendiri,” jelas Surya.
Surya menambahkan, paslon AMIN juga ingin kembali merevisi UU ITE, yang revisi terakhirnya masih dirasa mengancam kebebasan berekspresi. Selain itu, AMIN akan merevitalisasi independensi KPK dan memastikan tidak ada campur tangan kekuasaan pada lembaga peradilan.
Pasal Karet Meresahkan
Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, menyampaikan salah satu problem dari isu HAM merupakan pembungkaman kebebasan sipil. Bentuknya, kata dia, warga yang kritis akan mengalami represi dan kriminalisasi oleh penguasa dengan menggunakan pasal-pasal karet dalam UU. Berulangnya peristiwa semacam ini memperlihatkan elite yang antikritik dan sewenang-wenang kepada warga.
“Padahal dalam negara demokrasi, kritik merupakan ekspresi atau pendapat yang harus dijamin oleh negara,” kata Andi dihubungi reporter Tirto.
Andi menilai bahwa isu pembahasan pasal-pasal karet ini penting untuk dibahas dan diakomodir oleh paslon capres-cawapres saat ini. Hal ini agar publik tidak hidup dalam ruang ketakutan yang dihantui represi dan kriminalisasi ketika hendak menyampaikan kritik.
KontraS mencatat, setidaknya terjadi 107 peristiwa serangan dan ancaman terhadap kerja-kerja pembelaan HAM dalam kurun waktu Desember 2022 - November 2023. “Potret ini memperlihatkan bahwa pembela HAM masih ditempatkan sebagai musuh negara yang keberadaannya diberangus,” tegas Andi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz