Menuju konten utama

Kasus Haris-Fatia & Bagaimana Persidangan Diwarnai Misoginis

Miko sebut KY akan tindaklanjuti pernyataan seksis dan sikap misoginis Hakim Cokorda dalam persidangan Haris-Fatia.

Kasus Haris-Fatia & Bagaimana Persidangan Diwarnai Misoginis
Terdakwa Direktur Lokataru Haris Azhar (tengah) bersama Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti (kanan) mendengarkan keterangan asisten bidang media Menko Marves Singgih Widyastono (kiri) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (12/6/2023). Sidang kasus pencemaran nama baik terhadap Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan tersebut beragenda mendengarkan keterangan dua orang saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum (JPU). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/nym.

tirto.id - Persidangan aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dalam kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) diwarnai dengan tindakan seksis dan misoginis. Hal tersebut dilakukan oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Cokorda Gede Arthana pada Kamis (8/6/2023).

Kuasa Hukum Haris-Fatia, Citra Referendum menilai, pernyataan bernada seksis yang dilontarkan oleh ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Cokorda Gede Arthana tidak etis. “Majelis hakim harus memberikan rasa aman dan nyaman tanpa harus memandang identitas gendernya," kata Citra kepada Tirto, Jumat (9/6/2023).

Pernyataan itu bermula ketika terjadi debat panas antara jaksa penuntut umum dengan tim kuasa hukum Haris-Fatia lantaran pertanyaan yang diajukan dinilai telah ditanyakan sebelumnya.

Cokorda lalu meminta agar kuasa hukum Haris-Fatia, Ronald Siahaan mengajukan pertanyaan melalui dirinya. Ketika Ronald mengajukan pertanyaan, suaranya terlampau kecil dan tak terdengar jelas.

"Saudara, suaranya kan seperti perempuan gitu loh, tolong keras sedikit lah," kata Cokorda saat memimpin sidang tersebut.

Sontak, pernyataan tersebut menuai protes dari sejumlah tim kuasa hukum Haris-Fatia yakni Julius Ibrani dan Citra Referendum.

"Majelis, majelis, saya keberatan, saya keberatan jika majelis mengatakan demikian. Mohon dicabut, tidak mengatakan suara seperti perempuan, saya keberatan tolong dicabut, dicabut dulu, ada perempuan di sini, di jaksa juga ada perempuan, ibu kita juga semua perempuan, jangan majelis menyebutkan itu, tolong dicabut pernyataannya," kata Julius.

Protes yang diajukan Julius lalu dilanjutkan oleh Citra. "Yang mulia, saya pengacara perempuan, apakah kemudian perempuan tidak dapat bersidang di ruangan ini yang mulia?" kata Citra.

Di tengah sorakan pengunjung, Haris lalu berdiri dan nampak marah kepada Cokorda akibat pernyataannya.

"Ibu saya suaranya lebih keras dari Anda. Jangan menggunakan perempuan untuk menggambarkan sesuatu yang lemah. Saya keberatan," ucap Haris dengan nada tinggi.

Penyataan seksis dan sikap misoginis di dalam persidangan memang sering kali terjadi. Hal serupa juga pernah dialami Pengacara Publik di LBH Semarang, Etik Oktaviani saat memberikan pendampingan kepada kliennya yang merupakan minoritas seksual.

Saat itu kliennya disidang di Pengadilan Negeri Purworejo pada 2017 karena mengubah identitas gendernya dari perempuan menjadi laki-laki di fotocopy KTP. Perubahan itu ia lakukan untuk keperluan nikah dengan pasangannya yang sesama minoritas gender.

Bukannya membahas mengenai persidangan, sang hakim malah menceramahi kliennya dengan pernyataan yang diskriminatif.

"Seinget ku pas bagian akhir. 'Kamu [klien] mengaku salah nggak. Kalau kamu mengaku salah, minta maaf ke orang tua, kamu harus taubat, kembali ke jalan yang benar, ke jalan yang lurus'. Dia mengatakan itu di luar kapasitas dia sebagai hakim," kata Etik kepada Tirto, Senin (12/6/2023).

Kemudian ia juga melakukan pendampingan kepada perempuan korban penelantaran oleh suaminya. Saat itu, ia mendampingi korban di salah satu Pengadilan Agama di Jawa Tengah pada 2018. Ketika Etik masuk ke ruang sidang mendampingi korban, ia langsung diberikan pertanyaan oleh hakim yang cenderung merendahkan.

Hakim itu langsung menanyakan kepada Etik apakah dirinya seorang lawyer atau penggugat lantaran ia tak mengenakan jas saat persidangan. "Itu merendahkan profesi saya sebagai advokat," ucapnya.

Lalu saat berjalannya persidangan, Etik kembali menerima pernyataan yang misoginis saat coba menjelaskan perkaranya.

"Hakim menganggap perempuan itu banyak ngomong, perempuan tidak tahu apa-apa atau tak banyak pengetahuannya. Itu dilontarkan hakim laki-laki," ucapnya.

Hal serupa juga pernah dialami oleh Rara --bukan nama sebenarnya-- yang masih 18 tahun saat peristiwa itu terjadi pada 2 November 2003. Ia diajak oleh Roby, juga bukan nama sebenarnya, dan kedua temannya pergi pada pukul 22.30.

Pada saat memasuki masa persidangan, hakim ketua bersikap cukup sensitif, tapi tidak untuk dua hakim lain. Dalam persidangan yang terbuka itu, yang makin mendorong publikasi sensasional, Rara kembali ditanyai.

“Mengapa kamu tidak melawan?”

“Saya dibius, Pak.”

“Mengapa kamu tidak teriak?”

“Saya dibius, Pak.”

Dalam sidang putusan, Roby divonis lima tahun penjara. Itu pun dipotong masa tahanan. Hakim memvonis dengan pasal asusila, bukan perkosaan. Alasannya, "kurang bukti dan nihil hasil visum."

Singkat cerita Rara memilih rehat. Selama rehat itu, ia bolak-balik menjalani konseling. Traumanya tak hanya didapat dari kejadian perkosaan, melainkan dari perlakuan para penegak hukum saat menangani kasusnya.

“Butuh waktu lama buatku untuk bisa sekadar lewat Polsek Mampang dan tidak histeris,” kata Rara kepada Tirto.

Sidang Misoginis & Harus Diadili

Kuasa Hukum Haris-Fatia, Citra Referendum memandang majelis hakim menunjukkan perilaku tidak adil dan misoginis, yakni seolah-olah perempuan disimbolkan menjadi pihak yang lemah, tidak berhak bersidang atau tak punya kapabilitas seperti laki-laki di ruang persidangan.

Seharusnya, kata dia, hakim berperilaku menjunjung tinggi martabatnya dan tidak boleh mendiskriminasi. "Jadi sistem peradilan kemarin menunjukkan bahwa sistem peradilan kita tidak inklusif terhadap perempuan," ucap Direktur LBH Jakarta itu.

Ia menyatakan seharusnya pada persidangan kemarin, Komisi Yudisial (KY) harus hadir untuk mencatat sekaligus merekam hakim Cokorda bahwa pernyataan yang dilontarkan pelanggaran etik dan disiplin sebagai hakim.

“Itu sudah pelanggaran, itu sudah nyata kita lihat langsung, itu pelanggaran etik dan disiplin," tegasnya.

Selain itu, ia menyayangkan banyaknya TNI-Polri yang berkeliaran di ruang pengadilan maupun di luar seperti mengintimidasi pihak Haris-Fatia beserta pendukungnya.

"Kami menyayangkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur benar-benar dikangkangi oleh TNI-Polri demi mengawal saksi Luhut Binsar Pandjaitan," tuturnya.

Pada saat persidangan, ia bercerita melihat ada seorang ibu dan bayi yang ingin memberikan dukungan kepada Fatia, tetapi harus terombang-ambing oleh massa yang hadir karena tak diizinkan masuk oleh aparat.

Bahkan, ia sendiri dihimpit oleh polisi dan dilarang masuk sampai terpaksa harus menunjukkan kartu advokat.

“Harapannya pertama diperiksa dan diberi sanksi hakim Cokorda karena menunjukkan buruknya sistem peradilan. Kedua, harapannya tidak ada lagi seperti ini. Ke depan sistem peradilan kita harus benar-benar menjunjung tinggi nilai keadilan dan keadilan gender,” kata dia.

Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat juga menilai hal tersebut sebagai perilaku seksis karena berlandaskan stereotipe tentang perempuan.

Padahal, kata dia, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI No. 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam butir kelima menyatakan, “Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau pihakpihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan maupun Tindakan.”

Berdasarkan Keputusan Bersama tersebut, lanjut Rainy, pelanggar dapat dijatuhkan sanksi.

"Komnas Perempuan memandang penting penguatan kapasitas aparat penegak hukum (APH) terkait kesetaraan dan keadilan gender serta memahami kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk pelecehan verbal seperti pernyataan-pernyataan yang seksis," kata Rainy kepada Tirto, Senin (12/6/2023).

Dalam pantauan Komnas Perempuan, ia melihat belum semua APH berperspektif kesetaraan gender serta memahami kekerasan berbasis gender terhadap perempuan meskipun sudah ada Peraturan Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadilili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PERMA 3/2017).

"Apalagi, Indonesia sudah memiliki Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di mana hakim dan hakim agung berperan penting dalam penegakan hukum dan keadilan," ucapnya.

Ia menjelaskan kasus persidangan yang merendahkan perempuan seperti pernyataan yang seksis atau misoginis, memang sangat jarang dilaporkan ke Komnas Perempuan dan pengada layanan.

“Namun, kasusnya menjadi pemberitaan luas media massa dan warganet melalui media sosial sebagai bentuk kontrol publik terhadap APH dalam menjalankan tugasnya,” kata dia.

Komisi Yudisial Tindak Lanjut

Juru bicara Komisi Yudisial (KY), Miko Ginting menyatakan, pihaknya akan menindaklanjuti pernyataan seksis dan sikap misoginis yang dilontarkan oleh Hakim Cokorda dalam persidangan Haris-Fatia.

"Tidak bisa diputuskan sekarang. KY mesti menunggu proses persidangan selesai dulu. Normanya dalam UU Kekuasaan Kehakiman demikian," kata Miko kepada Tirto, Senin (12/7/2023).

Ia juga belum bisa menilai apakah perilaku hakim Cokorda melanggar Keputusan Bersama ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/ IV/2009 tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim.

"Melanggar atau tidak, harus melalui pemeriksaan. Prosedurnya demikian. Pemeriksaan hanya dapat dilakukan setelah persidangan selesai dilakukan," ucapnya.

Mantan peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ini menuturkan, jika Komisi Yudisial juga melakukan pemantauan secara langsung di persidangan untuk mencatat semua sikap, perkataan, dan perilaku hakim. Pemantauan ini dilakukan untuk menjaga kemandirian dan akuntabilitas hakim.

"Yang pasti hakim sepatutnya memang menjaga kode etik dan pedoman perilaku dalam memimpin persidangan," ujarnya.

Komisi Yudisial berharap majelis hakim dapat memeriksa dan mengadili perkara ini dengan mengacu kepada kode etik dan pedoman perilaku hakim.

"Bentuknya bisa banyak, salah satunya adalah dapat menahan diri dari perkataan yang seksis dan misoginis, misalnya," tuturnya.

Dirinya menegaskan salah satu aspek penting yang terlihat memang soal akses terhadap keadilan. Di sini pengelolaan peradilan oleh pihak pengadilan menjadi penting agar kesan transparan dan mandiri dapat terlihat.

"Kata kuncinya akses terhadap keadilan mesti dijamin dengan proporsional. Tentu kita semua tidak ingin ada kesan penghalangan terhadap akses terhadap keadilan ini,” kata dia.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Cokorda Gede Arthana menjelaskan maksud dari pernyataannya.

"Sebentar, saya tidak mengatakan saudara ini perempuan, suaranya kayak perempuan, jadi terlalu lirih," kata Cokorda dalam sidang tersebut.

Baca juga artikel terkait SIDANG HARIS FATIA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz