tirto.id - Perkara antara aktivis hak asasi manusia (HAM) Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dengan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menkomarves), Luhut Binsar Panjaitan, akan segera mencapai klimaks. Proses persidangan yang digelar sejak April 2023, akan berlabuh pada sidang vonis untuk Fatia dan Haris yang dijadwalkan, Senin (8/1/2023).
Kasus ini bermuara dari video di akun Youtube Haris Azhar yang bertajuk ‘Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya‼ Jenderal BIN Juga Ada‼’. Dalam video berbentuk siniar perbincangan itu, Haris yang merupakan Direktur Lokataru, mengundang Fatia selaku Koordinator KontraS untuk berdiskusi.
Mereka mendiskusikan hasil riset berjudul ‘Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya’. Riset ini dikerjakan oleh Koalisi Bersihkan Indonesia. Objek yang diteliti adalah usaha pertambangan yang berlokasi di Blok Wabu, Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Luhut Binsar Panjaitan tidak senang namanya diseret dalam aktivitas pertambangan di Papua. Hal ini membuat Fatia dan Haris berhadapan dengan tuduhan pencemaran nama baik Luhut.
Kasus yang menimpa Fatia dan Haris disebut banyak pegiat HAM dan lingkungan hidup sebagai upaya kriminalisasi pada masyarakat sipil. Perkara ini disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur (Jaktim).
Ketua YLBHI sekaligus pendamping hukum Fatia-Haris, Muhammad Isnur, menilai majelis hakim seharusnya memberikan vonis bebas atau lepas dalam agenda sidang mendatang. Dia menegaskan bahwa apa yang disampaikan dan dilakukan Fatia dan Haris selama ini, dilindungi oleh konstitusi sebagai pembela HAM.
“Jelas yang mereka lakukan untuk kepentingan hukum, untuk kebenaran, dan bekerja untuk hak asasi manusia dan lingkungan hidup yang baik. Dan ini adalah kegiatan konstitusional,” ujar Isnur kepada reporter Tirto, Jumat (5/1/2023).
Dalam siniar yang tayang di Youtube, Fatia dan Haris menyebut pertambangan di Blok Wabu digarap PT Tambang Raya Sejahtera atau Tobacom Del Mandiri – anak usaha PT Toba Sejahtera Group – yang sahamnya mayoritas dimiliki Luhut. Mereka tengah mendiskusikan laporan riset yang dikeluarkan oleh Koalisi Bersihkan Indonesia.
Pernyataan ini yang kemudian diperkarakan oleh Luhut. Dalam surat dakwaan, Luhut menyatakan tidak pernah memiliki usaha pertambangan yang berlokasi di wilayah Papua.
Isnur mengaku masih memiliki optimisme bahwa majelis hakim dapat memvonis bebas Fatia dan Haris. Di sisi lain, jika menengok kasus serupa yang menyasar pegiat HAM dan lingkungan hidup, Isnur menyimpan sekotak kekhawatiran.
“Kami punya perbandingan, di mana dalam kasus serupa sangat banyak intervensi tekanan buat hakim untuk memutus bersalah,” terang Isnur.
Dia menambahkan, upaya kriminalisasi Fatia dan Haris merupakan bentuk pembungkaman kepada kebebasan kritik dan ekspresi masyarakat sipil. Adapun hasil riset yang didiskusikan Fatia dan Haris dalam video yang dipermasalahkan Luhut, sudah mencantumkan bukti-bukti dan referensi yang bisa diakses.
“Kasus ini jelas warga negara pembela HAM dan lingkungan berhadapan dengan pejabat yang memiliki jabatan dan konflik kepentingan bisnis,” tegas Isnur.
Menurut Isnur, kasus kriminalisasi Fatia dan Haris sudah menjadi perhatian pegiat kemanusiaan di kancah internasional. Bahkan, kata dia, Komisi Nasional HAM sudah memberikan surat kepada hakim yang menyatakan bahwa Haris dan Fatia merupakan pembela HAM dan tidak melakukan pencemaran nama baik.
“Hakim seharusnya menjaga muruah hukum Indonesia dengan menegaskan bahwa seseorang bebas berekspresi dan mengkritik pemerintahnya,” kata Isnur.
Kilas Balik Persidangan
Jaksa Penuntut Umum (JPU), Senin (13/11/2023), menyatakan Haris dan Fatia telah memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) jo UU ITE Pasal 55 ke (1) KUHP. Jaksa menuntut Haris dengan hukuman penjara 4 tahun dan denda Rp1 Juta subsider 6 bulan kurungan.
Sementara tuntutan yang dimohonkan JPU untuk Fatia, berupa kurungan selama 3 tahun 6 bulan. Jaksa juga meminta agar link Youtube Haris Azhar dihapus dari jaringan internet.
Persidangan kasus Fatia-Haris melawan Luhut memang berkali-kali diwarnai polemik dan kontroversi. Misalnya dalam sidang tuntutan, Jaksa dalam beberapa kesempatan menyebut perasaan Luhut yang tersinggung akibat ulah Fatia dan Haris.
Pendamping hukum Fatia-Haris menilai jaksa seperti mewakili pelapor yang tersinggung nama baiknya tercoreng dengan menyebut-nyebut sikap batin Luhut. Jaksa juga menuding pengunjung sidang sudah dikelabui oleh Fatia dan Haris dengan titel pembela HAM.
“Mereka percaya diri karena merasa didukung sorak-sorai pengunjung sidang yang terkelabui seolah Haris Azhar dan Fatia adalah pembela HAM dan lingkungan hidup dan pegiat antikorupsi di Papua,” kata Jaksa saat membacakan tuntutan.
Sebelumnya, kericuhan juga sempat mewarnai persidangan ketika menghadirkan Luhut sebagai saksi pelapor pada Juni 2023 lalu. Kala itu, Luhut hadir setelah mangkir dari jadwal yang sudah ditetapkan sebelumnya karena alasan urusan negara.
Tim pendamping hukum Fatia-Haris, yang tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Demokrasi, menilai perlakuan kepada Luhut di ruang sidang terkesan dikhususkan. Misalnya, area persidangan sempat tidak bisa diakses oleh pendamping hukum dan wartawan saat Luhut hadir.
Dalam persidangan ini, Luhut membantah disebut terlibat dalam aktivitas pertambangan di Papua. Dia juga mengaku tidak terima disebut dengan panggilan ‘lord’ dan penjahat. Kendati, sebutan penjahat, tidak dapat ditunjukan Luhut kapan kata-kata itu terlontar dari Fatia dan Haris.
“Saya terus terang kerugian materiil tidak perlu dihitung, tetapi secara moral, anak cucu saya, saya dibilang penjahat, saya dibilang lord, coba saya menuduh Anda sebagai penjahat, sebagai pencuri, itu kan anda tidak bisa diterima juga,” ujar Luhut.
Pada sidang pembacaan pleidoi atau pembelaan, Senin (27/11/2023), Fatia dan Haris sama-sama menegaskan diri merasa tidak bersalah. Saat membacakan pembelaan, Haris menyatakan tidak menyesali perbuatan yang telah dilakukan. Menurut Haris, upaya mempidanakan siniar yang membahas hasil riset bukan cara bermartabat untuk membantah temuan-temuan yang ada.
Dia turut menyoroti situasi di Papua di mana praktik eksploitasi sumber daya alam melahirkan berbagai bentuk kekerasan bagi warga asli Papua. Haris menyatakan praktik advokasi yang dijalankannya, membawanya berinteraksi dengan komunitas warga serta masyarakat adat, sehingga sulit baginya berbohong soal kondisi kemanusiaan di Papua.
“Saya yakin majelis hakim bisa menjadi pembebas, bukan untuk saya saja, namun pembebas yg berani menghentikan praktik yang tidak seimbang kepada seluruh warga di Indonesia ini,” kata Haris saat membaca nota pembelaan.
Di sisi lain, Fatia dalam nota pembelaanya, menyebut Papua dengan kekayaannya justru diwarnai kemiskinan struktural, konflik bersenjata, serta kerusakan alam yang terus memburuk dan merupakan dampak dari ambisi negara melakukan investasi. Dia menilai, upaya penuntutan yang dihadapi olehnya saat ini tidak lain dan tidak bukan semacam etalase arogansi elite yang memanfaatkan tangan-tangan hukum.
Fatia berujar bahwa kasus ini bukan saja membuatnya mengalami kerugian berupa kehilangan kesempatan studi dan bekerja, tetapi juga menghilangkan kesempatan untuk dapat merawat orang tuanya di saat waktu-waktu terakhir.
Ancaman Kebebasan Sipil
Dihubungi reporter Tirto, Haris Azhar menyatakan, dalam kondisi baik untuk menerima vonis dari majelis hakim. Dia menyayangkan pelapor menilai apa yang didiskusikan dengan Fatia sebagai persoalan pribadi, alih-alih kepentingan kemanusiaan.
“Kalau pihak pelapor atau penegak hukum menganggap soal pribadi, itu salah alamat, kasihan,” kata Haris kepada reporter Tirto, Jumat (5/1/2023).
Haris menyadari, pelaporan ini merupakan salah satu risiko dari tugasnya mengadvokasi permasalahan di akar rumput. Dia justru merasa dirugikan karena kasus ini membuat pemenuhan hak masyarakat yang sedang dibantu pihaknya menjadi tertunda.
“Teruslah cerdas dan semakin cerdas, teruslah berani dan semakin berani, jangan takut karena perlawanan penguasa yang intimidatif adalah ketakutan yang sesungguhnya terhadap suara kebenaran,” ujar Haris.
Sementara itu, Fatia Maulidiyanti, menyatakan tidak ada persiapan khusus menjelang vonis majelis hakim yang ditujukan padanya. “Siap-siap mendengarkan (vonis) hakim saja,” ujar Fatia kepada reporter Tirto.
Reporter Tirto sudah berupaya meminta pihak Luhut Binsar Pandjaitan memberikan komentar ihwal perkembangan kasus ini, melalui kuasa hukumnya, Juniver Girsang dan Juru Bicara Menko Marves, Jodi Mahardi. Namun hingga berita ini ditulis, pesan yang dilayangkan ke nomor ponsel keduanya tidak direspons dan hanya berstatus terkirim.
Adapun Kepala Humas PN Jakarta Timur, Dony Dortmund, membenarkan bahwa sidang vonis Fatia-Haris akan digelar Senin (8/1/2023). Dia menyampaikan bahwa penjagaan saat sidang sudah diserahkan ke pihak kepolisian.
“Iya betul (Senin), untuk penjagaan pengamanan sudah diatur oleh pihak Polres,” kata Dony kepada reporter Tirto, Jumat (5/1/2024).
Di sisi lain, sedikitnya 20 individu, jaringan masyarakat sipil nasional dan internasional, bersolidaritas mengirimkan amicus curiae atau ‘sahabat pengadilan’ yang ditujukan untuk perkara Fatia-Haris. Amicus curiae merupakan praktik hukum oleh pihak ketiga di luar pihak berperkara untuk terlibat dalam peradilan dalam bentuk pendapat tertulis yang dapat digunakan hakim sebagai salah satu pertimbangan memutus perkara.
Teo Reffelsen dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional, salah satu pengirim amicus curiae, menegaskan bahwa kasus ini akan membuat chilling effect kepada masyarakat sipil yang hendak berlaku kritis. Kriminalisasi Fatia-Haris akan mengancam kebebasan berekspresi masyarakat sipil.
“Cenderung menyebabkan masyarakat menjadi self cencorship atau takut mengekpresikan pendapatnya secara lebih luas ke depan. Hakim juga perlu mempertimbangkan hal itu,” kata Teo dalam konferensi pers daring, Jumat (5/1/2024).
WALHI memandang apa yang dilakukan Fatia-Haris sebagai pembela HAM dilindungi oleh konstitusi. Pasca Reformasi 1998, kata dia, partisipasi publik ditempatkan sebagai tanggung jawab masyarakat sipil.
Hal in diatur oleh Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Termasuk diatur perlindungan pada pihak sipil yang menjalankan tanggung jawabnya.
“Ini akan menjadikan orang-orang melakukan kriminalisasi juga kepada pegiat HAM warga biasa, yang mengekspresikan pendapatanya di muka umum,” tutur Teo.
Amnesty International Indonesia mencatat, setidaknya ada 1.021 pembela hak asasi manusia mengalami penuntutan, penangkapan, serangan, dan ancaman dari berbagai pihak selama periode Januari 2019 hingga Desember 2022. Dalam rentang waktu yang sama, 332 orang dituduh dengan UU ITE, sebagian besar dengan tuduhan pencemaran nama baik.
“Bagi kami ketika seseorang menjalankan tanggung jawabnya dalam Undang-Undang dia tidak bisa dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,” ujar Teo.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz