tirto.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru. Poin yang disorot terkait pengaturan tindak pidana yang berat terhadap HAM yaitu genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan yang diatur dalam Bab Tindak Pidana Khusus yaitu pada Pasal 600 dan Pasal 601 RKUHP.
Pokok permasalahan yang disampaikan KontraS, salah satunya adalah terkait pengurangan masa hukuman maksimal bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Pasal dalam RKUHP justru lebih rendah dibandingkan UU Pengadilan HAM.
“Jika UU Pengadilan HAM mengatur ancaman pidana maksimal 25 tahun bagi pelanggaran HAM berat, maka RKUHP hanya memberikan ancaman pidana maksimal 20 tahun bagi tindak pidana yang berat terhadap HAM,” kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dalam keterangan tertulis, Rabu (16/11/2022).
Ketentuan tersebut, kata Fatia, turut mendegradasi kekhususan dari pelanggaran HAM berat sebagai tindak pidana paling keji karena menyamakan ancaman hukumannya dengan tindak pidana lain.
“Pembunuhan, pemusnahan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain yang melanggar aturan dasar hukum internasional, atau kejahatan apartheid, dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun,” demikian bunyi Pasal 601 a RKUHP sebagaimana dilihat Tirto, Kamis (17/11/2022).
Sementara itu, kata Fatia, masukan-masukan terkait pasal pelanggaran HAM berat yang telah ia sampaikan kepada DPR nyaris tak mendapat respons. DPR, kata Fatia, hanya menyebut penyusunan RKUHP merupakan upaya rekodifikasi atau pengumpulan ulang hukum-hukum di berbagai wilayah untuk menghasilkan kitab undang-undang.
“Satu-satunya respons terhadap catatan kritis KontraS tersebut adalah ketika anggota Komisi III menyatakan bahwa pengaturan terkait ancaman hukuman maksimal pada tindak pidana yang berat terhadap HAM dilakukan untuk semangat 'rekodifikasi' hukum pidana," ujar Fatia.
Padahal, ia menilai tak ada kaitan antara semangat rekodifikasi yang disebutkan dengan dimasukkannya tindak pidana yang berat terhadap HAM ke dalam RKUHP.
Kemunduran Penegakan HAM di Indonesia?
Kritik senada dilontarkan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani. Ia menyebut, langkah pemerintah dan DPR memasukkan pengaturan tindak pidana HAM berat ke dalam RKUHP adalah sebuah kemunduran penegakan HAM di Indonesia.
Salah satu indikasinya adalah pengurangan ancaman hukuman pidana bagi pelaku pelanggaran HAM berat menjadi 20 tahun, padahal berdasarkan UU Pengadilan HAM dapat diancam hukuman pidana hingga 25 tahun. Menurut Julius, pelanggaran HAM berat adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh negara.
“Ketika dia dinyatakan terjadi pelanggaran HAM berat, maka pelaku utamanya adalah negara, sarananya instansi negara, peralatannya adalah personil-personil dari negara. Dari situ kita memandang bahwa perbedaannya adalah meringankan ancaman hukuman bagi tindak pidana yang ada negaranya sebagai pelaku,” kata Julius kepada reporter Tirto pada 17 November 2022.
Julius menambahkan, “Ternyata di situ doang perbedaannya. Intinya dia justru tujuannya melonggarkan ancaman terhadap pelaku pelanggaran HAM berat.”
Selain itu, kata Julius, ada permasalahan lain dalam upaya perancang RKUHP memasukkan pengaturan pelanggaran HAM berat ke dalam RKUHP. Julius menyebut asas legalitas pelanggaran HAM berat berbeda dengan asas legalitas tindak pidana biasa.
“Perbedaannya adalah di asas legalitasnya. Jadi itulah kenapa kemudian dia tidak bisa dijadikan satu rumpun. Asas legalitas terhadap pelanggaran HAM berat itu berlaku surut, dia boleh kejahatan sebelum UUD diamandemen, itu amat sangat diperbolehkan. Sedangkan untuk tindak pidana umum dia tidak berlaku surut asas legalitasnya,” kata Julius.
Alih-alih mendegradasi pelanggaran HAM berat dengan memasukkannya ke dalam RKUHP, kata dia, pemerintah dan DPR semestinya dapat meng-upgrade sejumlah instrumen penegakan HAM mulai dari Undang-Undang HAM, Undang-Undang Pengadilan HAM hingga mengakomodir komponen pelanggaran HAM di era digital seperti buzzer.
“Negara-negara dunia sudah ke sana, kita malah mundur memangkas ancaman hukuman,” kata Julius
Komnas HAM Pernah Memperingatkan
Pada Juli 2022, Komnas HAM sempat menyinggung persoalan campur baur pidana umum dan pidana khusus dalam RKUHP yang sedang dibahas pemerintah dan DPR, termasuk terkait pengaturan pelanggaran HAM berat.
Munafrizal Manan yang saat itu masih menjabat Wakil Ketua Internal Komnas HAM menyebut, idealnya KUHP melingkupi pidana umum yang mengatur norma-norma secara umum. Sedangkan RUU KUHP terbaru ternyata menggabungkan pembahasan pidana umum dan pidana khusus.
Konsekuensinya, kata dia, terdapat sejumlah undang-undang terdampak dengan penggabungan ini, yang menyebabkan beberapa muatan materinya dicabut dan tidak berlaku.
“Kalau ini disahkan dengan hal-hal di atas [penggabungan pidana umum dan khusus], maka kita harus bersiap untuk menghadapi kekaburan pidana umum dan pidana khusus,” kata Munafrizal sebagaimana dilansir dari laman resmi Komnas HAM.
Munafrizal menyebut, RUU KUHP mengubah penyebutan pelanggaran HAM berat menjadi Tindak Pidana Berat Terhadap Hak Asasi Manusia. Meskipun perubahan penyebutan tersebut secara teknis tidak bermasalah, tapi ada konsekuensi normatif yuridis bila ini disahkan, yakni perubahan UU No. 26 tahun 2000.
Ada beberapa ketentuan UU 26/2000 yang dicabut menurut RUU KUHP ini. Di antaranya Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 36 sampai Pasal 41. Pasal 8 UU 26/2000 yang mengatur tentang kejahatan genosida kemudian dialihkan dalam Pasal 602 RUU KUHP. Pasal 9 UU 26/2000 yang mengatur tentang kejahatan terhadap kemanusiaan kemudian dialihkan dalam Pasal 603 RUU KUHP.
“Dengan dicabut dan tidak berlakunya ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000, dua jenis pelanggaran HAM yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 menjadi tidak ada lagi, harus merujuk pada KUHP,” kata Munafrizal.
Selain itu, RUU KUHP ini juga mengubah ketentuan pidana dengan penurunan maksimal pemidanaan dan penurunan minum pemidanaan. “Hal ini berpotensi mereduksi tindak pidana berat terhadap HAM sebagai the most serious crime,” kata Munafrizal.
Upaya Rekodifikasi dan Konsolidasi Hukum Pidana
Redaksi Tirto telah berupaya menghubungi anggota Komisi III DPR RI, yaitu Arsul Sani dan Santoso untuk meminta penjelasan terkait kritik KontraS di atas. Sementara Humas Kemenkumham, Tubagus Erif menyarankan agar menghubungi Koordinator Penyusunan RKUHP dari Kemenkumham, Oswald. Namun, hingga artikel ini dirilis, belum ada respons.
Sementara Chairul Huda, ahli hukum pidana cum anggota Tim Penyusun RKUHP, menyebut masuknya delik pelanggaran Ham berat ke dalam RKUHP merupakan salah satu bentuk upaya konsolidasi menghimpun hukum pidana menjadi satu sistem.
“Salah satu legal policy yang diambil dalam perumusan RKUHP adalah konsolidasi, yaitu menempatkan seluruh ketentuan pidana dalam satu sistem. Termasuk pelanggaran berat diintegrasikan dalam RKUHP. Akibatnya pasal-pasal delik pelanggaran HAM berat dalam UU Peradilan HAM akan dihapus,” kata Chairul melalui pesan singkat, Kamis, 17 November 2022.
Dosen hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ini menyebut, UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memiliki kejanggalan karena turut mengatur hukum pidana materiilnya.
“Lagi pula aneh, UU-nya bernama UU Peradilan HAM, yang seharusnya hanya memuat hukum pidana formil, lho kok ada hukum pidana materiilnya (deliknya)," kata Chairul.
Untuk itu, pengaturan pelanggaran HAM berat masuk di RKUHP untuk mengatur proses perkara pidananya. Sedangkan untuk peradilannya tetap mengacu pada UU Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
“(Dalam implementasinya) tidak perlu penyesuaian apa pun. Yang khusus kan pengadilannya, nah pasal tentang proses pengadilannya tetap berlaku. Namanya UU Peradilan HAM, nah isinya tentang proses perkara pidananya,” tandasnya.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz