tirto.id - Delapan tahun lampau, Joko Widodo pertama kali menjadi orang nomor wahid di Bumi Pertiwi. Ia kerap mengumbar janji untuk menuntaskan perkara-perkara pelanggaran HAM berat masa lalu. Kala itu ia berujar kasus pelanggaran HAM masa lalu harus diselesaikan dengan dua cara, yakni rekonsiliasi dan pengadilan ad hoc. Setahun setelahnya, eks Gubernur DKI Jakarta itu kembali mengungkapkan hal yang sama.
“Jalan keluarnya adalah kita semua harus punya keberanian. Sekali lagi, punya keberanian untuk melakukan rekonsiliasi atau mencari terobosan penyelesaian melalui jalur-jalur yudisial maupun nonyudisial,” ucap Jokowi dalam pidato peringatan hari HAM dunia, di Istana Negara, 11 Desember 2015.
Januari 2016, ia kembali mengulang janjinya. Kali ini tidak sekadar wacana, sebagai kepala negara dia memerintahkan agar kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan tahun itu pula. “Perintah saya, selesaikan. Kasus itu sudah lama. Perintah saya adalah selesaikan kasus pelanggaran HAM," tegas dia.
Kini, Joko Widodo dalam periode keduanya memimpin Indonesia. Sayangnya, semua ucapan dia hanya sebatas niat politik belum sampai aksi politik yang nyata.
Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, --Wawan ialah mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya Jakarta yang tewas karena ditembak aparat saat berdemonstrasi menolak Sidang Istimewa dan mendorong penghapusan dwifungsi ABRI--, mendatangi Aksi Kamisan ke-727 di seberang Istana Negara, 12 Mei 2022. Aksi itu pertama kali digelar 18 Januari 2007 oleh korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM.
Sumarsih dan mereka yang satu asa menuntut pemerintah merampungkan segala kasus pelanggaran HAM berat, masih memperjuangkan agar janji-janji politik itu menjadi nyata. Bukan sekadar “gula-gula” yang diumbar ketika berkampanye cum menjabat sebagai pemimpin. Sumarsih berkata pelanggaran HAM berat berkaitan dengan politik, maka pelanggaran HAM berat pun dipolitisasi.
“Ketika dipolitisasi, kenyataannya seperti ketika kampanye itu (janji penyelesaian kasus HAM berat) diangkat di berbagai acara. Entah di media sosial, pada diskusi-diskusi,” ujar Sumarsih kepada Tirto, Jumat, 13 Mei 2022. “Tahun 2014, janji politiknya sangat cantik sekali. Sehingga saya pun mendukung. Tidak hanya mendukung Jokowi, (tapi) saya kampanye ‘ayo pilih Jokowi’.”
“Bahkan saya sempat mau berhenti Aksi Kamisan karena dalam visi dan misi program Jokowi-Jusuf Kalla yang dikenal dengan ‘Nawacita’ itu berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu,” imbuh Sumarsih.
Pada 31 Mei 2018, Sumarsih dan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) bertemu dengan Joko Widodo, mereka membawa berkas perjanjian yang intinya jika si presiden mau lanjut memimpin dalam periode kedua, maka presiden harus menandatangani kesepakatan itu.
“Tapi Jokowi tak mau menandatangani draf pengakuan negara atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM itu,” tutur Sumarsih.
Hingga kini di periode kedua, Jokowi belum menepati janjinya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat sesuai dengan undang-undang. Namun, pemerintah pun pernah ‘menyelesaikan’ persoalan ini dengan upaya di luar regulasi hukum resmi negara alias tak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Contohnya, Djoko Suyanto, Menko Polhukam era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memberikan fasilitas bagi Tuti Koto, ibunda dari Yani Afri—Yani merupakan simpatisan PDI pro-Megawati—untuk pergi haji ke Tanah Suci; atau Dyah Sujirah, istri Wiji Thukul, yang diberikan bantuan untuk renovasi rumah dan biaya pengobatan, sisa duit Dyah belikan ponsel kelir putih yang persis dengan milik Denny Indrayana, si Staf Khusus Presiden SBY Bidang Hukum, HAM dan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Dua perempuan itu merupakan keluarga korban penculikan aktivis 1998.
“Memang zaman SBY itu juga membentuk tim penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, tapi penyelesaiannya di luar jalur yudisial. Kami menolak,” kata Sumarsih.
‘Kepekaan’ pemerintah juga ditunjukkan oleh anak buah Presiden Joko Widodo yakni Menteri BUMN Erick Thohir, yang memberikan rumah kepada orang tua korban tragedi Trisakti, pada 25 April 2022.
Sementara, istri dari aktivis HAM Munir Said Thalib, Suciwati, berpendapat pemimpin Indonesia belum memiliki visi yang jelas untuk bernegara, yang ada bukan pemimpin, tapi penguasa yang mencari cara untuk memperkaya kelompoknya dan berkuasa.
“Saya belum melihat ada orang yang bervisi membuat negara ini menjadi lebih bermoral. Dalam arti memperbaiki bangsa, nilai-nilai yang terkandung, apakah itu (perihal) lingkungan atau penegakan HAM,” ucap dia kepada Tirto.
Ia tak berbicara sosok, tapi rekam jejak dari orang tersebut. Bahwa dulu banyak orang Indonesia menilai Joko Widodo ‘lebih bagus’ daripada sang rival, Prabowo. Ternyata sama saja, sambung Suciwati, karena orang-orang sekeliling Jokowi sama.
“Sistemnya busuk, selama sistem tak diperbaiki, ya Indonesia tidak akan lebih baik. Saya tidak percaya itu (penyelesaian pelanggaran HAM) dibebankan kepada satu orang. Saya pesimis,” kata dia.
Suciwati menilai mestinya ada perbaikan cara pandang rakyat Indonesia tentang memilih pemimpin dan tidak terpesona dengan obralan janji tanpa melihat rekam jejak. Bahkan Indonesia tak memiliki aturan soal perlindungan aktivis, ini juga berpotensi menyulitkan gerak para pembela hak.
Suciwati juga menyoroti Komnas HAM yang kurang bertaring karena keterbatasan kerja yang termaktub dalam peraturan. “Komisi Pemberantasan Korupsi saja dilemahkan. Tapi kami tak boleh menyerah, harus terus diperjuangkan,” kata dia.
Kasus HAM di Papua Belum Kelar
Pemerintah pun belum menuntaskan tragedi Wasior, 21 tahun silam; peristiwa Wamena, 19 tahun lampau; dan insiden Paniai, 8 tahun lalu. Pada 18 Juni 2020, dalam diskusi daring, Sekretaris II Dewan Adat Papua John NR Gobai pernah menegaskan bahwa pengusutan kasus pelanggaran HAM berat di Papua yang hingga kini mandek berdampak kepada kepercayaan masyarakat Papua terhadap penegakan hukum di Indonesia.
"Penantian penyelesaian pelanggaran HAM berat di Papua ini seperti merebus batu yang tidak akan masak. Masyarakat Papua lama-lama tidak percaya penegakan HAM di Indonesia," kata John.
Lantas pengacara dari Papua Itu Kita --forum kerja bersama individu-individu peduli kemanusiaan dan keadilan di Papua--, Michael Himan, menyatakan tragedi kekerasan yang menyebabkan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua tak bisa dilupakan oleh orang asli Bumi Cenderawasih. Perampungan HAM berat malah dijadikan komoditas politik. “Mereka sampaikan dalam Nawacita, untuk menyelesaikan pelanggaran HAM. Itu menjadi satu alasan agar mendapatkan dukungan, agar seseorang bisa menjadi presiden atau jabatan apa pun,” tutur dia kepada Tirto.
Lalu rakyat Papua harus menggantungkan harapan kepada siapa lagi untuk menyelesaikan perkara-perkara tersebut? Bahkan Komnas HAM sekalipun hanya mampu menyelidiki, tak bisa menyidik, dan kerap memberikan rekomendasi atas hasil temuan investigasi. “Orang Papua yang menjadi korban, dijadikan ajang politik para elite-elite.”
Michael menilai pemerintah pusat tak serius menuntaskan masalah-masalah itu lantaran selalu memberikan ruang bagi para pelaku pelanggaran HAM. Nawacita yang digaungkan Joko Widodo hanya sebatas wacana saat kampanye.
Apa yang Salah dengan Pucuk Pimpinan?
Berhentinya pengusutan pelanggaran HAM berat ini menunjukkan komitmen politik yang belum afirmatif. Karena, kata ahli dari Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati, Jokowi bukan karakter idealis, tapi teknis. “Karakter presiden pun menentukan pendekatan terhadap masalah HAM,” terang dia kepada Tirto, Jumat (13/5/2022).
Alasan kedua minimnya penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia karena masih kuatnya sosok purnawirawan dalam perpolitikan bangsa. Publik tak bisa mengelak, bagaimanapun orang-orang militer, pun berganti rupa menjadi purnawirawan, masih jadi aktor berpengaruh dalam perpolitikan negara ini. Bagi mereka, pelanggaran HAM itu dianggap bagian dari bentuk bela negara. “Ada sentimen patriotisme yang mereka anggap pembenaran atas aksi-aksi sebelumnya.”
Faktor ketiga ialah masih kuatnya ‘logika mayoritas’ di Indonesia. Masalah-masalah HAM yang terjadi di negara ini ‘biasanya’ menimpa kaum minoritas. Wasisto berpendapat hal itu yang tidak mendapatkan tempat lantaran negara ini masih mengedepankan ‘logika mayoritas’ dalam menyelesaikan masalah. Kalau perkara itu terjadi di kalangan mayoritas maka itu yang bisa cepat dituntaskan, pun sebaliknya.
Mayoritas ini terkait dengan supremasi kelompok, misalnya ada isu HAM kelompok minoritas yang melibatkan kalangan mayoritas, itu akan menimbulkan instabilitas. Jika Indonesia belum memiliki si idealis, bukan tak mungkin penyelesaian pelanggaran HAM berat hanya sebatas ide. Belum lagi pikiran soal ‘penyelesaian HAM makan waktu dan biaya’, maka tambah suram saja masa depan perkara-perkara tersebut.
Janji menuntaskan pelanggaran HAM berat bukan omong kosong, menurut Wasisto, namun bukan menjadi prioritas, lebih tepatnya. Pemerintah saat ini atau calon-calon pemimpin masa depan, bisa membuka ruang dialog inklusif. Narasi rekonsiliasi, umpama, tak hanya datang dari pemerintah, tapi juga dari korban atau keluarga korban.
“Masalah HAM di Indonesia selalu sensitif karena itu terkait dengan kekuasaan. Belum ada pemimpin atau presiden di Tanah Air yang mengambil risiko lantaran itu akan menciptakan ‘destruksi’ atau ‘instabilitas’,” tutur Wasisto.
Rakyat Kudu Cerdas
Publik harus mengetahui rekam jejak calon pemimpin sebagai pertimbangan agar tak memilih orang-orang yang pernah terlibat dalam pelanggaran HAM berat masa lalu atau masa kini. “Yang perlu dipegang oleh pemilih bukan kata atau janji kampanye, tapi realisasi dalam penegakan hukum,” ucap Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Adinda Tenriangke Muchtar, kepada Tirto.
Janji kampanye adalah satu hal, baru bisa diterapkan jika yang bersangkutan resmi terpilih. Bila dalam masa menjabat pun nihil iktikad baik dan minim proses menyelesaikan pelanggaran HAM, bisa jadi bahan publik untuk tidak lagi memilih si kandidat. Masyarakat harus mengawasi pemerintah, parlemen, maupun penegak hukum untuk mengatasi dan mencegah pelanggaran HAM berat.
Efek apabila si pemimpin tak menepati janji ialah kepercayaan publik menurun, apalagi Indonesia juga mengalami kemunduran berdemokrasi. Contohnya, ada orang yang dikriminalisasi ketika mengkritik pemerintah. Tapi peran rakyat tak berhenti di situ.
“Seharusnya ini bisa menjadi semangat mendorong pemerintah, penegak hukum, dan para pemangku kepentingan terkait untuk menuntaskan tugasnya atau setidaknya meningkatkan kinerja dalam menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat,” kata Adinda.
Mei 2022 merupakan 24 tahun reformasi ada di Indonesia, salah satunya mendukung reformasi hukum dan HAM. Bila ini tantangan sejarah, maka pemerintah dan rakyat bisa belajar dari sejarah untuk berkomitmen serius menyelesaikan permasalahan tersebut.
Yang menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana elemen masyarakat dan pemerintah bisa mengedukasi publik untuk mengetahui kandidat-kandidat yang akan maju menjadi pemimpin. “Tanpa upaya bersama, akan sulit menagih janji-janji kampanye orang yang terpilih,” kata Adinda.
Bahasan ini sebagai ‘pemanasan’ jelang tahun politik dua tahun mendatang, untuk mencermati pelanggaran HAM berat dan komitmen penegakan hukum serta kebebasan individu sebagai salah satu indikator prioritas, kuat, dan utama, dalam mempertimbangkan cum memilih kandidat pemimpin di berbagai level, baik dari hulu ke hilir, dari tingkat pusat hingga daerah.
“Ini bukan upaya setengah-setengah, tapi komprehensif dan dilakukan di berbagai lini,” jelas Adinda.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz