tirto.id - Sekretaris II Dewan Adat Papua John NR Gobai berpendapat pengusutan kasus pelanggaran HAM berat di Papua yang hingga kini mandek berdampak kepada kepercayaan masyarakat Papua terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Ia mengambil contoh Kejaksaan Agung (Kejagung) yang dua kali mengembalikan berkas penyelidikan peristiwa Paniai ke Komnas HAM. Ditambah kasus Wasior Berdarah pada 2001 dan Wamena Berdarah pada 2003 yang juga belum rampung penyelidikannya hingga saat ini.
"Penantian penyelesaian pelanggaran HAM berat di Papua ini seperti merebus batu yang tidak akan masak. Masyarakat Papua lama-lama tidak percaya penegakan HAM di Indonesia," kata John dalam diskusi daring berjudul 'Masa Depan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Papua', Kamis (18/6/2020).
Untuk itulah, menurut John dibutuhkan adanya Pengadilan HAM di Papua sehingga publik bisa ikut serta dalam proses peradilan setiap kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Juga, kata John bisa menekan biaya jika perkara diselesaikan di Papua.
"Karena mengikuti proses langsung bagian dari memberikan kepuasan bagi keluarga korban dan masyarakat," ucap John.
Selain itu, perlu adanya revisi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM agar kewenangan Komnas HAM menguat, tak hanya sebagai penyelidik namun juga bisa bertindak sebagai penyidik. Ketiadaan tugas dan fungsi itulah yang, lanjut John membuat kasus-kasus seperti ini hanya bolak-balik antara Komnas HAM dengan kejaksaan ibarat 'bola pingpong'.
"Maukah pemerintah membentuk Pengadilan HAM di Papua sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001," tantang John.
Pada kesempatan yang sama, Direktur HAM Berat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Yuspar mengatakan pihaknya hingga saat ini tidak menemukan unsur-unsur pelanggaran HAM berat dalam suatu perkara, sehingga sulit untuk meningkatkan status kasus ke tahap penyidikan.
Ia membantah Kejaksaan sebagai pihak yang tak bisa menemukan unsur-unsur pelanggaran HAM tersebut. Menurutnya, Komnas HAM yang wajib melakukan petunjuk-petunjuk dalam penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat di Papua.
"Kalau unsur-unsur belum bisa [terpenuhi], maka Komnas HAM wajib melakukan [pengumpulan] petunjuk-petunjuk. Bukan mandek dari kami, tapi bagaimana mencari solusinya," jelasnya.
Bila tidak terpenuhi unsur pelanggaran HAM berat, kata Yuspar "silakan diserahkan ke pengadilan umum atau pengadilan militer." Karena kunci pelanggaran HAM berat menurut Yuspar yakni ada terduga pelaku serta faktor sistematis dan meluas.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto