tirto.id - Kejaksaan Agung hingga saat ini belum memutuskan menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat (HAM) di Papua berdasar penyelidikan Komnas HAM.
Kasus terbaru yang tuntas diselidiki Komnas HAM adalah dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua. Berkasnya telah disampaikan ke Kejaksaan Agung pada 11 Februari 2020, lalu dikembalikan pada 19 Maret lantaran penyidik menilai masih ada kekurangan syarat formal dan material.
Lantas pada 20 Mei, Komnas HAM menerima pengembalian berkas penyelidikan Paniai untuk kedua kalinya dari Kejaksaan Agung.
Direktur HAM Berat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Yuspar menyatakan tak mudah begitu saja mengkaji syarat tersebut.
"Harus memenuhi semua unsur pelanggaran HAM berat, sudah diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000," kata Yuspar dalam diskusi daring berjudul 'Masa Depan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Papua', Kamis (18/6/2020).
Yuspar menyebutkan unsur-unsurnya seperti setiap orang; melakukan salah satu perbuatan; dilakukan serangan yang meluas atau sistematik; dan serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Sementara isi Pasal 9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2000 adalah definisi dan jenis kejahatan terhadap kemanusiaan.
"Kami sebagai jaksa penyidik untuk meneliti berkas perkara bisa ditingkatkan ke tahap penyidikan, harus terpenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti," sambung Yuspar.
Pengumpulan alat bukti, misalnya dalam poin 'setiap orang', maka Komnas HAM selaku penyelidik mesti jelas menyebut siapa terduga pelaku, meski lembaga itu merahasiakannya.
Berkaitan dengan unsur 'serangan sistematik dan meluas', Yuspar berpendapat harus ada alat bukti tentang kelanjutan kebijakan penguasa atau organisasi.
"Ini yang kami pelajari dari penguasa, ada [atau] tidak kebijakan tertentu itu?" imbuh dia.
Menurut Yuspar dua unsur itu yang harus dicari. Pihaknya meneliti secara yuridis berkas-berkas kasus yang diberikan oleh Komnas HAM, khususnya perkara Wasior, Wamena dan Paniai.
Hasilnya dua unsur yakni terduga pelaku dan perbuatan sistematik serta meluas tersebut belum ada, maka Kejaksaan Agung dapat mengembalikan dokumen penyelidikan.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam berujar pihaknya telah bekerja untuk memenuhi alat bukti dan melengkapi penyelidikan.
"Tidak semua pelanggaran HAM berat harus ada unsur sistematis dan meluas. Dalam konteks itu [unsur] kami telusuri," kata dia.
Unsur itu lahir dari sebuah kebijakan yang bersifat terbuka diumumkan ke publik atau tertutup maupun pelaksanaan di lapangan yang dapat dilacak.
Anam mencontohkan pengerahan pasukan ke Paniai, apakah penggerakan prajurit itu berdasarkan undang-undang atau tidak.
"Itu yang menjadikan unsur sistematis dan meluas gampang dibuktikan. Jangan dianggap susah, anggaplah sesuatu yang bersifat formal dan bisa ditelusuri," jelas Anam.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Zakki Amali