Menuju konten utama

Rendahnya Komitmen Jokowi Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM

Kejaksaan Agung mengembalikan dokumen Paniai ke Komnas HAM. Aktivis menilai semestinya itu tidak dilakukan.

Rendahnya Komitmen Jokowi Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM
Menko Polhukam Mahfud MD (kanan) bersama Jaksa Agung ST Burhanuddin (kiri) berjalan seusai melakukan pertemuan di Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (22/1/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

tirto.id - Deretan kasus pelanggaran HAM berat yang tak tuntas dibahas karena dokumennya bolak-balik Kejaksaan Agung-Komnas HAM berpotensi bertambah. Kali ini kasusnya adalah Tragedi Paniai, yang ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM pada 3 Februari lalu.

Kasus berawal pada malam 7 Desember enam tahun silam, saat tiga pemuda menegur seorang TNI yang mengendarai motor dari Enarotali menuju ke Madi tanpa menyalakan lampu di Pondok Natal Bukit Merah, Kampung Ipakiye, Kabupaten Paniai, Papua. Pertikaian terjadi karena TNI itu tak terima ditegur.

Anggota TNI itu kembali ke pos dan membawa serta temannya, kemudian mereka diduga menyiksa pemuda yang tadi menegurnya hingga pingsan, demikian tulis Pusaka, lembaga nirlaba yang fokus mempromosikan hak-hak masyarakat adat.

Keesokan harinya, masih menurut sumber yang sama, masyarakat mendatangi kantor Polsek Paniai dan Koramil 1705-02/Enarotali untuk meminta penjelasan peristiwa tadi malam. Mereka protes dengan cara menyanyi dan menari.

Situasi memanas lantaran ada lemparan batu. Aparat merespons dengan tembakan. Akibatnya, empat orang berusia 17-18 tahun tewas akibat luka tembak dan luka tusuk. 21 orang lain mengalami luka penganiayaan.

Menurut penyelidikan Komnas HAM, disimpulkan anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa itu, baik dalam struktur komando Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, diduga bertanggung jawab.

Komnas HAM lantas menyerahkan dokumen investigasi ke Kejaksaan Agung--institusi yang berwenang melakukan penyidikan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tapi Kejaksaan mengembalikan dokumen dengan alasan tidak memenuhi syarat.

"Masih ada kekurangan formil dan materiil. Kekurangannya sedang disusun. Nanti kalau sudah, ya, segera dikembalikan," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono, Jumat (6/3/2020) pekan lalu.

Tidak Serius

Menanggapi pengembalian ini, Komisioner Komnas HAM M. Chairul Anam mengatakan, "belajar dari berbagai kasus, yang [dokumennya] bolak balik antara Komnas dan Kejaksaan Agung, perubahan paradigma dan komitmen sangat dibutuhkan,” kata Anam kepada reporter Tirto, Kamis (5/3/2020).

Sebelum Paniai, ada sembilan kasus pelanggaran HAM berat yang dokumennya dikembalikan ke Komnas HAM, beberapa di antaranya adalah Tragedi Talangsari 1998, Trisakti, Semanggi I dan II, juga Mei 1998.

Menurut Anam, Kejaksaan semestinya membedakan antara pelanggaran HAM dan pidana umum agar hal ini tidak terjadi terus-menerus. Jika berkas tidak lengkap, katanya, semestinya Kejaksaanlah yang melengkapi. Toh tugas Komnas HAM itu sebatas penyelidik.

"Jadi sebaiknya dengan kewenangan yang diberikan oleh UU Nomor 26, Jaksa Agung bisa memulai proses penyidikan. Komnas HAM akan membantu memperlancar penyidikan jika memang dibutuhkan," kata Anam.

Hal serupa diungkapkan Kepala Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur. Kejaksaan Agunglah yang menurutnya bertanggung jawab melengkapi berkas karena Komnas HAM bagaimanapun wewenangnya terbatas.

"Kalau nanti ada kurang berkas, baru Jaksa Agung sebagai penyidik bisa memberi kuasa kepada penyelidik," kata Isnur kepada reporter Tirto.

Isnur mencontohkan bagaimana polisi menyelesaikan perkara. Penyelidik tetap melakukan penelusuran ada-tidaknya pelanggaran pidana. Kemudian, bekas penyelidikan diserahkan ke unit polisi di bidang penyidikan hingga akhirnya berkas rampung. "Enggak bisa kemudian penyidik bilang 'saya enggak mau melakukan penyidikan karena penyelidik kurang berkas.' Tugas penyelidik hanya sampai level menemukan ada enggaknya unsur-unsur pelanggaran kejahatan."

Komnas HAM sendiri yakin mengatakan "indikasi" pelanggaran HAM di Paniai "sangat kuat."

Pengembalian berkas juga menunjukkan tidak seriusnya Kejaksaan Agung. Ia khawatir jika ini terus dipertahankan, impunitas langgeng. "Makanya sangat berbahaya, karena kejahatan didiamkan," katanya menegaskan.

Sementara peneliti Kontras Rivanlee Anandar mengatakan Kejaksaan tak paham apa yang dimaksud 'tidak lengkap'."Jika alasan yang digunakan oleh Kejagung adalah [berkas] 'tidak lengkap', jelas bahwa mereka mengabaikan penjelasan UU 26 yang mengatakan bahwa yang dimaksud kurang lengkap adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan."

Ia juga mengatakan Kejaksaan melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 75/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bolak-baik berkas adalah tindakan yang tidak sesuai dengan norma hukum dan menunjukkan tidak adanya kemauan politik pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran tersebut.

Kata Pemerintah

Menkopolhukam Mahfud MD, orang yang diminta menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat oleh Jokowi, menyatakan apa yang ditemukan Komnas HAM "akan di-follow up." Ia juga menyatakan pemerintah "tidak akan diam."

Sementara Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengelak Paniai disimpulkan pelanggaran HAM. Moeldoko, yang saat tragedi menjabat Panglima TNI, mengatakan "apa ang dilakukan oleh satuan pengamanan saat itu adalah sebuah tindakan yang kaget, tiba-tiba, karena dia diserang masyarakat. Tidak ada upaya sistematis."

Baca juga artikel terkait TRAGEDI PANIAI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino