tirto.id - Terdakwa kasus kepemilikan landak Jawa (Hystrix javanica), I Nyoman Sukena, divonis bebas dalam kasus kepemilikan landak Jawa. Vonis ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Majelis Hakim menilai Sukena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 21 ayat 2 huruf a juncto Pasal 40 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDA-HE).
“Menyatakan Terdakwa I Nyoman Sukena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan tunggal Penuntut Umum. Membebaskan Terdakwa I Nyoman Sukena dari dakwaan tunggal tersebut,” kata Hakim Ketua Ida Bagus Bamadewa Patiputra dalam pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis (19/9/2024).
Dalam pembacaan putusan, Majelis Hakim menyatakan memiliki pertimbangan dalam mengidentifikasi unsur kesengajaan pada tindakan Sukena. Menurut Majelis Hakim, seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki dan mengerti akibat dari perbuatan tersebut. Oleh karenanya, Majelis Hakim menafsirkan unsur kesengajaan secara luas.
Berdasarkan fakta hukum, Sukena tidak mengetahui memelihara landak merupakan perbuatan melawan hukum. Landak tersebut didapatkan oleh Sukena dari rumah kakak mertuanya di Ubud, Kabupaten Gianyar. Sukena langsung menempatkan itu pada kandang besar dan memeliharanya dengan kasih sayang hingga berkembang biak menjadi empat ekor.
Selain itu, belum adanya sosialisasi dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) kepada masyarakat di Desa Bongkasa Pertiwi tentang landak turut menjadi penyebab Sukena tidak mengetahui status konservasi landak Jawa.
“Menimbang bahwa dengan melihat fakta hukum yang ada, Majelis Hakim menilai bahwa tidak ada kesengajaan kehendak untuk memelihara dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup, apalagi mengeksploitasi untuk keuntungan sendiri," tutur Bamadewa setelah membacakan fakta-fakta hukum.
Bamadewa menambahkan, perbuatan Sukena tidak lebih dari kesalahan atau culpa karena ia memelihara landak atas dasar ketidaktahuan. Oleh sebab itu, Majelis Hakim berpendapat bahwa unsur 'sengaja memelihara, menangkap, melukai, membunuh, mengangkut dalam keadaan hidup, dan memperniagakan satwa yang dilindungi' tidak terpenuhi.
“Oleh karena syarat subjektif dari sifat melawan hukum tidak terpenuhi, maka terdakwa tidak memenuhi kualifikasi dari unsur sengaja. Menimbang bahwa salah satu unsur dari Pasal 21 ayat 2 huruf a juncto Pasal 40 ayat 2 UU KSDA-HE tidak terpenuhi dan terbukti, maka konsekuensinya secara yuridis terdakwa tidak dapat disalahkan telah melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya,” kata dia.
Hakim Ketua juga menyatakan bahwa kasus Sukena adalah pelajaran bagi penegak hukum dan mengimbau agar semua penegak hukum mempertimbangkan sejumlah aspek dalam penegakan hukum dan mengedepankan keadilan restoratif (restorative justice) dalam prosesnya.
Jaksa dan Penasihat Hukum Sukena pun menerima putusan Majelis Hakim. Setelah vonis bebas dikumandangkan, Sukena tidak lagi berstatus sebagai tahanan dan semua hak beserta nama baiknya dipulihkan. Keempat landak yang dimilikinya akan dirampas oleh negara untuk diserahkan kepada BKSDA.
“Terima kasih, Yang Mulia!" ujar Sukena setelah sidang ditutup Majelis Hakim sambil bersujud.
Di kursi penonton persidangan, Ni Made Lasmi, istri Sukena, tidak kuasa menahan tangis. Ia pun segera memeluk Sukena setelah keluar dari Ruang Sidang Kartika.
“Bersyukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa juga semua masyarakat Bali dan Indonesia. Terima kasih banyak atas dukungannya," tutur Lasmi.
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Abdul Aziz