tirto.id - Hubungan PDIP dan Partai Demokrat yang awalnya “tegang” mulai mencair usai pernyataan Puan Maharani terkait bakal cawapres Ganjar Pranowo. Puan menyebut Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) masuk dalam daftar nama bakal pendamping Ganjar.
AHY sendiri menganggap hal tersebut sebagai sebuah isyarat bahwa dirinya layak diperhitungkan dan bisa berpasangan dengan siapa saja pada Pilpres 2024. AHY yang juga ketua umum DPP Partai Demokrat mengatakan, demokrasi adalah ruang yang bebas, luas untuk hadirnya gagasan-gagasan.
AHY mengaku selalu rasional apa pun yang disimulasikan oleh para entitas politik hari ini. Di sisi lain, kata dia, Demokrat terus membangun komunikasi dengan siapa pun termasuk partai-partai politik manapun.
Ia mengatakan politik Indonesia harus cair, bukan politik saling membelah satu sama lain. AHY mencontohkan Amerika Serikat yang hanya menganut sistem dua partai.
Kemesraan kedua parpol berlanjut usai Puan dan AHY saling menunjukkan “respek.” Sebagai informasi, selama 19 tahun terakhir, PDIP dan Demokrat sempat bersitegang akibat hubungan Megawati dan SBY di masa lalu. Hal ini membuat Demokrat memilih menjadi oposisi selama Presiden Jokowi menjabat.
Teranyar, Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Hasto Kristiyanto bertemu Sekjen DPP Partai Demokrat, Teuku Riefky di kawasan Blok M, Jakarta Selatan pada Minggu (11/6/2023). Pertemuan kedua sekjen parpol itu membahas tawaran kerja sama politik pada Pilpres 2024.
“Pertemuan berjalan hangat sambil menikmati makanan khas Ayam Goreng Rumah Akan Berkah di kawasan Blok M, Jakarta Selatan,” kata Koordinator Juru Bicara DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra saat dihubungi reporter Tirto, Minggu malam.
Ketika disinggung apakah Hasto menawarkan kerja sama politik dalam pertemuan itu, Herzaky mengamininya. Hanya saja, Herzaky enggan membicarakan lebih jauh ihwal tawaran kerja sama politik itu. Sebab, tawaran kerja sama bakal kembali dibahas dalam pertemuan Puan dan AHY.
Namun, Herzaky belum bisa memastikan kapan Puan dan AHY akan bertemu. Sebab, rencana pertemuan kedua tokoh itu masih dijadwalkan.
Sementara itu, Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani mengatakan, rencana pertemuan Puan Maharani dan Ketum AHY, harus dimaknai secara positif.
“Rencana silaturahmi politik Mba Puan dan Mas Ketum AHY menjadi sesuatu yang positif dan meneduhkan di tengah dinamika politik tahapan pemilu dan kontestasi Pilpres 2024,” kata Kamhar saat dihubungi reporter Tirto, Senin (12/6/2023).
Ia mengatakan, silaturahmi ini tak hanya bisa menjadi tanda level baru hubungan Demokrat dan PDIP yang dibangun di atas kesadaran politik kebangsaan dan politik kenegaraan. Namun, kata dia, sekaligus tanda kedewasaan politik masing-masing yang tentunya berkontribusi pada peningkatan derajat dan kualitas demokrasi.
Kamhar mengatakan, pertemuan Puan dan AHY menjadi pertemuan dua pemimpin muda yang menatap masa depan dan hari esok yang lebih baik untuk bangsa dan negara. Kamhar berpandangan, rencana pertemuan dan tawaran kerja sama tersebut tak sekadar membicarakan kontestasi Pilpres 2024, lebih dari itu akan berdiskusi tentang berbagai persoalan bangsa demi terwujudnya Indonesia yang bersatu, maju, adil, dan demokratis.
Respons PKS dan Nasdem
PKS menilai pertemuan sekjen PDIP dan Demokrat itu sebagai hal lumrah. PKS menyakini, hubungan “mesra” dengan PDIP tidak akan menjadi alasan bagi Demokrat untuk mengubah haluan atas pencalonan bakal capres Anies Baswedan. Sebab, sebagai mitra Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Demokrat akan memiliki arah serupa dengan PKS. Karena Demokrat masih intens berdiskusi dengan PKS dan Nasdem dalam proses penentuan nama cawapres pendamping Anies.
PKS memakanai pertemuan Demokrat dengan PDIP hanya menjadi bagian dari Demokrasi, yaitu membuka ruang dialog dengan seluruh pihak. Termasuk dengan partai yang memiliki arus berlawanan terhadap pilihan capres di Pilpres 2019.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasdem, Teuku Taufiqulhadi mengaku tak mengetahui pertemuan itu. Sebab, dirinya masih di Aceh. “Saya masih belum involve dengan perkembangan itu, karena saya masih di Aceh,” kata Taufiqulhadi saat dikonfirmasi reporter Tirto, Senin (12/6/2023).
Sementara itu, Ketua DPP Partai Nasdem, Effendy Choirie memandang, rencana pertemuan antara AHY dengan Puan Maharani adalah sebagai bentuk rekonsiliasi kedua partai. Karena PDIP dan Demokrat disebut tidak harmonis. Oleh karena itu, Effendy mendorong pertemuan itu dilaksanakan.
Ia mengatakan, bilamana PDIP memiliki niat buruk untuk memecah belah Koalisi Perubahan, hal itu tidak akan mempan bagi Partai Demokrat. Bagi Effendy, Partai Demokrat memiliki iman yang kuat dalam bekerja sama politik.
“Kalau ada niat untuk memecah belah atau menggerogoti Koalisi Perubahan bagaimana? Mungkin saja mereka punya niat kurang baik. Tapi Nasdem percaya sama Demokrat. Iman Demokrat tetap kuat bersama Koalisi Perubahan," jelasnya.
Namun, lanjut dia, bila skenario terburuk ada pengkhianatan di antara partai di internal Koalisi Perubahan, Effendy mengaku partainya siap dengan segala konsekuensi. Dia menyebut akan ada kutukan bagi barang siapa yang berkhianat.
“Karena kalau dikhianati haru gembira karena dapat pahala. Kalau berkhianat atau mengkhianati dapat dosa dan kutukan,” kata dia.
Meski demikian, dengan segala dinamika politik yang ada di internal Koalisi Perubahan, dia percaya bahwa setiap partai memiliki hak untuk membuka komunikasi politik. Baik mereka yang berada dalam barisan, maupun di seberang.
Sinyal Ancaman PDIP terhadap Kekuatan Politik di Istana?
Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic), A. Khoirul Umam menilai, rencana pertemuan serta kerja sama PDIP dengan Demokrat merupakan "sinyal ancaman" dari PDIP terhadap strategi permainan yang tengah dimainkan oleh sel-sel kekuatan politik di lingkaran Istana Presiden yang disinyalir tengah bermain mata dengan Gerindra. Pasalnya, kata dia, PDIP belakangan ini dikepung habis oleh berbagai kekuatan di lingkaran istana.
“Kini membuktikan bahwa langkah politik yang selama ini dihitung sebagai hal yang tidak mungkin, kini ternyata mungkin terjadi,” kata Khoirul Umam saat dihubungi reporter Tirto.
Di sisi lain, Khoirul Umam memandang, perubahan sikap PDIP terhadap Partai Demokrat ini juga mengindikasikan adanya "sense of urgency" di internal PDIP, untuk merespons strategi pengepungan istana yang belakangan justru menguntungkan Prabowo. Sekadar diketahui, Prabowo direkomendasikan maju sebagai bakal capres diusung oleh Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) bersama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Menurut Khoirul Umam, di tengah rusaknya fondasi kepercayaan antara PDIP dengan Nasdem dan jauhnya gap perbedaan ideologis antara PDIP dengan PKS, maka Demokrat yang juga berhaluan ideologi nasionalis, dianggap sebagai simpul kekuatan politik yang paling moderat.
“[Demokrat] memungkinkan untuk didekati oleh PDIP untuk memenangkan Ganjar, baik di level putaran pertama maupun putaran kedua Pilpres 2024 mendatang," tutur Khoirul Umam.
Ia juga melihat respons positif Partai Demokrat terhadap komunikasi tawaran kerja sama PDIP yang berpeluang menggoyahkan soliditas Koalisi Perubahan, tampaknya juga dipicu oleh manuver elite Partai Nasdem yang belakangan justru melakukan serangan terbuka kepada AHY terkait bursa cawapres Anies.
Di level ini, lanjut dia, peran aktif bakal capres Anies untuk menetralisir manuver dari pihak-pihak internal koalisinya yang justru menciptakan instabilitas di internal koalisinya menjadi urgen untuk dilakukan. Menurutnya, jika Anies tidak gerak cepat, maka ia bisa kehilangan momentum untuk mewujudkan koalisi perubahan berlayar.
“Sebab, asumsi dasar koalisi perubahan yang meyakini bahwa Demokrat hanya punya pilihan Anies dan tidak akan ke mana-mana, per hari ini tampaknya tidak lagi relevan," kata Khoirul Umam.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Hurriyah menilai, hubungan mesra PDIP dan Demokrat, bahkan saling sanjung itu hal yang wajar, apalagi di tengah musim politik. Apalagi saat ini belum ada ada satu pun bakal capres yang telah memiliki wakilnya.
Ihwal rencana pertemuan Puan dan AHY, menurut Hurriyah, dalam rangka penjajakan untuk mencari bakal cawapres.
“Ini tidak mudah karena pertarungannnya sebenarnya di antara partai-partai yang masuk ke dalam aliansi [koalisi] begitu. Jadi, kalau dari sisi itu, saya kira pertemuan-pertemuan yang dilakukan AHY dan Puan misalnya itu di dalam konteks itu," kata Hurriyah kepada reporter Tirto.
Ia juga melihat hubungan baik PDIP dan Demokrat itu bagian dari upaya-upaya membangun maupun juga meningkatkan bergaining politik. Oleh karena itu, tidak mengherankan partai pengusung akan mencoba berbagai penjajakan. Apalagi, kata dia, koalisi pencapresan bukan koalisi yang permanen.
“Sampai dengan detik-detik terakhir didaftarkan ke KPU masih bisa berubah," ucap Hurriyah.
Dampak untuk Nasdem dan PKS
Hurriyah mengatakan, jika ada kesepakatan politik antara PDIP dan Demokrat, tentunya Nasdem dan PKS harus mencari parpol lain untuk mencapai syarat ambang batas presiden atau president threshold 20 persen.
“Kalau memang ternyata ada kesepakatan politik yang bisa diambil antara PDIP dengan Demokrat, tentu saja Nasdem dan PKS harus mencari partner koalisi tambahan untuk pencalonan," kata Hurriyah.
Ia menyakini bahwa kedekatan PDIP dan Demokrat sekarang ini belum tentu akan direspons baik oleh partai-partai koalisinya. Ia mencontohkan PPP yang merupakan partner kerja sama politik PDIP yang menawarkan nama bakal cawapres.
“Belum lagi kita bicara calon-calon di luar partai politik yang pada ingin cawapres," tukas Hurriyah.
Namun, Hurriyah menyakini, selama belum ada kepastian, kesepakatan politik yang terbangun maka belum ada dampak serius kepada Nasdem dan PKS. Pasalnya, hubungan baik PDIP dan Demokrat bisa saja tengah mengukur elektabilitas guna mengerek elektabilitas paslon yang telah diusung.
“Saya kira perdebatan yang alot di koalisi Nasdem, PKS dan Demokrat ini soal apakah misalnya kalau mengambil cawapres dari PKS atau Demokrat bisa mengerek elektabilitas paslonya Anies. Demikian juga sebenarnya PDIP juga harus berhitung. Siapa yang bisa mengerek elektabilitasnya Ganjar," kata Hurriyah.
Ia tak menampik jika tawaran kerja sama PDIP bisa saja menggoyahkan solidaritas koalisi perubahan. Selain itu, ia melihatnya Pemilu 2024 tidak hanya pertarungan politik antara partai dan calon, tetapi sebenarnya antara oligark. Sebab, parta politik di masing-masing koalisi punya oligarki.
“Di Nasdem ada Surya Paloh, di PDIP ada Megawati. Melihatnya sih ke situ. Karana di dalam politik tidak ada teman dan musuh abadi dan tentu saja partai berusaha memenangkan pertarungan maka mereka akan melakukan cara-cara apa pun untuk memastikan bahwa mereka berhasil membangun koalisi pemenang,” tutup Hurriyah.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz