Menuju konten utama
Kinerja Kepolisian

Dugaan Setoran Anggota Brimob & Sistem Manajemen SDM yang Buruk

Anggota Polri mengeluh di medsos marak dua tahun belakangan. Ini adalah fenomena puncak gunung es terkait layanan internal.

Dugaan Setoran Anggota Brimob & Sistem Manajemen SDM yang Buruk
ILUSTRASI. Personel Brigade Mobil (Brimob) Polda Jambi mengikuti apel sebelum diberangkatkan di Mapolda Jambi, Jumat (30/8/2019). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/hp/am.

tirto.id - Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Riau mengusut dugaan Bripka Andry Darma Irawan, anggota Brimob Batalyon B Pelopor Polda Riau, yang membongkar aksi atasannya meminta mencarikan uang untuk disetorkan hingga Rp650 juta.

“Bidpropam Polda Riau saat ini masih mendalami persoalan tersebut lebih lanjut,” kata Kabid Humas Polda Riau, Kombes Pol Nandang Mu'min Wijaya, ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa, 6 Juni 2023.

Kasus ini bermula dari curhat Bripka Andry pada akun Facebook-nya. Ia dimutasi dari Batalyon B Pelopor ke Batalyon A Pelopor di Pekanbaru. Surat Perintah Mutasi bertanggal 3 Mei terbit, lima hari berikutnya ia menghadap kepada jajaran batalion baru.

Bripka Andry juga membeberkan bahwa sejak Oktober 2021, Kompol Petrus Hottiner Simamora selaku Komandan Batalyon (Danyon), meminta bantuannya untuk mencari dana dari luar kantor. Dia mengaku menjalankan perintah itu dan berkoordinasi dengan rekan-rekannya.

“Sampai Februari 2023, saya sudah mengirimkan sejumlah Rp650 juta ke rekening pribadi Danyon,” tulis Bripka Andry.

Meski telah menuruti perintah atasannya, Bripka Andry dimutasi. Sebelum dimutasi, Kompol Petrus meminta Bripka Andry mencari uang Rp53 juta untuk membeli lahan, namun ia hanya dapat menyerahkan Rp10 juta kepada si bos.

Terkait kasus ini, Kabid Propam Polda Riau, Kombes Pol Johanes Setiawan menyatakan, pihaknya memeriksa delapan saksi perkara duit setoran ini. Termasuk meminta keterangan Bripka Andry soal setoran, masalah disiplin, kabur dinas, dan desersi.

“Dia desersi juga. Kemudian, sampai saat ini belum ada (masuk dinas). Itu mutasi rutin yang dilaksanakan tiap per setengah tahun. Bukan hanya dia, tapi ada 38 personel yang dimutasi," ujar Johanes.

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) pun buka suara terkait perkara ini. “Kompolnas akan mengirimkan surat klarifikasi ke Polda Riau terkait hal ini. Pertama, kalau melihat yang bersangkutan curhat di medsos itu adalah tindakan yang keliru. Seorang anggota Polri memiliki aturan sendiri dalam menyampaikan uneg-uneg,” kata Juru Bicara Kompolnas, Poengky Indarti ketika dihubungi Tirto.

Tindakan Bripka Andry curhat di medsos malah viral dan mencoreng nama baik institusi. Kedua, kata Poengky, polisi harus siap ditempatkan di mana saja di seluruh Indonesia. Sangat aneh jika yang bersangkutan menolak dimutasi ke Pekanbaru. Hal itu merupakan pembangkangan dan kecengengan.

Ketiga, lanjut Poengky, jika Bripka Andry mendalilkan merawat ibunya di Rokan Hilir, kenapa dia tega menggunakan ibunya yang sakit sebagai tameng bagi dirinya dengan mengajak ibunya ke Pekanbaru? Akibatnya, ibunya malah jatuh sakit sepulang dari Pekanbaru.

Keempat, jika yang dijelaskan Bripka Andry terkait melayani Danyon dengan mengirimkan uang ke rekening pribadi Danyon itu benar, maka seharusnya dia tahu bahwa perbuatannya itu melanggar hukum dan seharusnya dia menolak perintah atasan yang bertentangan dengan hukum, serta seharusnya melaporkan kepada atasan yang lebih tinggi. "Bukan malah terus menuruti permintaan Danyon," terang Poengky.

Kelima, pernyataan bahwa Bripka Andry telah melakukan tindakan desersi. Maka Bripka Andry harus diperiksa Bidang Propam untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

“Kompolnas juga mendorong pemeriksaan kepada Danyon yang dituding menerima uang hingga Rp650 juta. Jika benar tuduhannya, maka si Danyon harus diproses pidana dengan ancaman penjara dan etik dengan ancaman pemecatan," kata Poengky.

Indikasi Layanan Keluhan Anggota Polri Macet

Peneliti bidang kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto berpendapat, upaya Bripka Andry “mencari duit” dianggap tak lumrah.

“Layak dipertanyakan dalam rangka apa dan untuk apa dana tersebut? Indikasinya tentu bisa mengarah pada tindak pidana pungli atau minimal gratifikasi," ujar Bambang ketika dihubungi reporter Tirto.

Bila ditemukan pelanggaran kewenangan yang dilakukan atasan tentu juga harus diusut dan semua harus disidangkan oleh Komisi Kode Etik Polri. Sisi lain, bila benar ada demosi bagi bawahan tentu juga layak dipertanyakan. Demosi tanpa ada sidang disiplin atau etik tentu merupakan kesewenang-wenangan bagi anggota.

Demosi dengan sanksi berupa mutasi itu adalah sanksi ringan karena kontrak anggota kepolisian bertugas di seluruh wilayah NKRI. Meski kontrak personel Polri bisa ditugaskan di seluruh Indonesia, ketika mutasi tetap bisa menyertakan alasan pemindahan.

Hal lain, kata Bambang, mengunggah keluhan di medsos. Ini adalah fenomena baru terkait keluhan personel pada layanan internal Polri terhadap anggota. “Artinya ada saluran yang macet terkait pelayanan keluhan anggota, bahkan ada indikasi anggota pun tidak percaya pada institusinya untuk mendapat perlakuan yang adil oleh institusi.”

Bambang berpendapat fenomena anggota mengeluh di medsos ini mulai marak dua tahun belakangan, ini adalah fenomena puncak gunung es terkait layanan internal. Polri harus mengevaluasi perihal layanan itu karena jelas akan menjadi preseden buruk. Propam Korbrimob harus turun tangan untuk menangani hal tersebut.

Ia mengingatkan agar Propam juga harus adil dan objektif mengusut perkara ini, jangan sampai menyudutkan anggota yang merasa dizalimi atau diperlakukan tidak baik oleh atasan.

Perintah yang Merugikan

Kasus atasan diduga menyuruh anak buahnya untuk berlaku salah, juga pernah menyeret Irjen Pol Teddy Minahasa selaku Kapolda Sumatra Barat. Teddy diduga menginstruksikan AKBP Dody Prawiranegara untuk menukar 5 kilogram sabu dengan tawas.

Proses hukum berjalan, Teddy, Dody, dan pihak yang terlibat dalam bisnis sabu ini mendapatkan sanksi sesuai peran masing-masing.

Anggota Pusat Kajian Assessment Pemasyarakatan Poltekip Kemenkumham, Reza Indragiri menganalisis beberapa hal, salah satunya merujuk kepada percakapan melalui aplikasi pesan.

Dalam percakapan antara Teddy dan Dody, keduanya menyelipkan emotikon. Pemaknaan itu, kata Reza, Teddy memakai emotikon tertawa, sedangkan para pihak pada percakapan Andry-Petrus tidak memakai emotikon.

“Artinya, pesan TM tidak cukup dimaknai berdasarkan kata yang tercantum di dalam WA-nya. Emotikon juga harus diperhatikan, karena itu memberikan emosi dan konteks yang bertolak belakang dengan kata. Gaya bahasa menjadi penting dipahami. Alhasil, pesan TM bukan merupakan perintah, melainkan bernuansa senda gurau, sindiran, dan sejenisnya," kata Reza kepada Tirto, Kamis, 8 Juni 2023.

Sedangkan pada percakapan Andry dah Petrus, pemaknaan terhadap kata sudah mencukupi karena tidak ada emotikon. Apalagi emotikon yang menghadirkan emosi dan konteks yang bertentangan. Jadi komunikasi bos dan anak buah ini dapat dipahami sepenuhnya sebagai perintah dan kepatuhan.

Analisis kedua, dalam percakapan Teddy dan Dody, Dody merespons dengan penolakan. Sehingga usai pembicaraan Dody tersebut, semakin tegas pemaknaannya bahwa tidak terjadi penukaran sabu dengan tawas.

Sebaliknya, Andry dan Petrus berkomunikasi secara linear: satu orang menginstruksikan, satu lainnya mematuhi. Karena linear, maka patut diduga kuat bahwa selanjutnya terjadi perbuatan pidana sebagaimana yang diinstruksikan.

Uraian berikutnya, lantaran diklaim sudah terjadi penyetoran uang, maka perlu dicek seluk-beluk penyerahan dana tersebut. Dalam kasus Teddy, apa bukti bahwa Dody telah menyerahkan uang hasil sabu yang ia jual kepada Teddy? Maka penyidik harus memeriksa rekaman kamera pengawas, bukti transfer, dan sebagainya; bukan hanya mengandalkan pengakuan Dody.

“Begitu pula pada kasus Andry-Petrus. Cek bagaimana serah-terima uang itu dilakukan. Buktikan,” ujar Reza.

Terakhir, pada kasus Teddy, Dody disebut menjual sabu sebagai cara untuk memperoleh modal dalam rangka "menembak Mabes" alias agar kariernya terjamin. Sedangkan Kasus Andry sah Petrus terungkap setelah bawahan dimutasi, berapa pun jumlah setoran.

“Ulah Dody dan kasus Andry-Petrus mengindikasikan sistem mutasi dan pengembangan karier (manajemen SDM) institusi Polri tidak berjalan sebagaimana mestinya. Merit system terkesan dikesampingkan. Justru faktor-faktor lain yang tak bisa dipertanggungjawabkan, yang lebih memengaruhi perjalanan karer personel. Wajar jika personel merasa diperlakukan tidak profesional," jelas Reza.

Sementara pada dimensi individu, patut ditelaah alasan-alasan personel Polri sampai mengait-ngaitkan kariernya dengan pelicin. Pertama, corruption by greed. Personel tidak sabar, sehingga dia memanfaatkan uang untuk mengintervensi sistem guna mempercepat karier. Kedua, corruption by system. Personel menyogok karena tidak tersedia jalan lain guna mengamankan kariernya. “Sistem lembagalah, bukan si personel, titik awal terjadinya korupsi.”

Baca juga artikel terkait POLISI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz