tirto.id - Presiden Joko Widodo optimistis pemerintahannya bisa menghapus kemiskinan ekstrem di Indonesia pada 2024. Penanggulangan kemiskinan ekstrem ini memang menjadi salah satu program di periode kedua Jokowi dengan target cukup ambisius, yakni nol persen.
Ambisi Jokowi untuk menghapus kemiskinan ekstrem tentunya merujuk pada tujuan pertama pembangunan berkelanjutan (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa. Agenda ini menargetkan, antara lain, mengentaskan kemiskinan ekstrem bagi semua orang yang saat ini berpendapatan kurang dari 1,25 dolar Amerika per hari pada 2030.
“Berkaitan dengan kemiskinan ekstrem ini sebetulnya sudah kita rencanakan di periode yang kedua ini agar nanti di 2024 itu sudah pada posisi 0 kemiskinan ekstrem kita. Kita akan kerja keras dan mati-matian,” kata Jokowi usai menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDIP, Jakarta Selatan, Selasa (6/6/2023).
Berdasar Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 2021, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika biaya kebutuhan hidup sehari-harinya berada di bawah garis kemiskinan ekstrem atau setara dengan 1,9 dolar AS purchasing power parity (PPP). PPP ini ditentukan menggunakan absolute poverty measure yang konsisten antar negara dan antar waktu.
Dengan kata lain, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika pengeluarannya di bawah Rp10.739 per orang per hari atau Rp322.170 per orang per bulan.
Jokowi mengatakan upaya penurunan kemiskinan ekstrem tersebut seharusnya berjalan lancar. Akan tetapi sempat terkendala karena pandemi COVID-19 selama dua tahun.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan, persentase penduduk miskin ekstrem sejak 2014 polanya menurun secara perlahan-perlahan hingga 3,7 persen pada 2019. Namun, angka ini naik hingga mencapai 4,0 persen pada 2021 di kala COVID-19 menerjang Indonesia.
Sementara angka nasional kemiskinan ekstrem, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2022 sudah berada di 2,04 persen atau 5,59 juta jiwa, menurun dari data Maret 2021 yang sebesar 2,14 persen atau 5,8 juta jiwa.
Jokowi mengaku sudah punya strategi yang bisa memenuhi target nol persen tersebut. Terlebih pemerintah sudah mengantongi data dan alamat masyarakat yang masuk kategori miskin ekstrem.
“Saya masih meyakini itu di 2024 akan turun drastis karena nama dan alamat itu sudah ada semuanya, by name by address itu sudah ada semuanya," kata Jokowi.
Namun lanjut Jokowi, pemenuhan target tersebut perlu dibarengi dengan kerja sama semua pihak dan terkonsolidasi. Baik antara pemerintah pusat, kementerian/lembaga non kementerian pemerintah, maupun pemerintah daerah.
“Semuanya harus bersama-bersama bukan barang yang sulit, tetapi memang perlu konsolidasi dan perlu waktu,” kata Jokowi.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa mengatakan, setidaknya terdapat tiga skenario yang akan dilakukan pemerintah dalam menurunkan kemiskinan ekstrem di 2024.
Pertama, melalui intervensi dengan pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin. Kedua, peningkatan pendapatan. Ketiga, meminimalkan kantong-kantong kemiskinan.
Untuk mengurangi kantong-kantong kemiskinan, menurut Suharso, tidak hanya dilakukan di tingkat pusat saja. Tetapi perlu kerja sama juga dilakukan oleh pemerintah daerah.
“Program-program yang diinisiasi kementerian atau lembaga dan hal yang dilakukan pemerintah untuk memerangi kemiskinan dari pemerintah pusat sudah cukup luar biasa. Kita harapkan kerja sama ini ada inisiasi daerah,” kata dia setelah mengikuti Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dinilai Terlalu Ambisius
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menilai, target penurunan kemiskinan ekstrem tersebut terlalu ambisius. Sebab, hal itu akan sangat sulit diwujudkan dalam waktu singkat.
“Targetnya terlalu ambisius ya. Perlu keajaiban untuk bisa mewujudkan nya,” kata Piter kepada Tirto.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kemiskinan ekstrem sulit dihapus dalam waktu dekat karena permasalahannya bersifat struktural, alias berskala besar dan mendasar yang sudah terjadi sejak lama.
“Target pemerintah masih overshoot. Kemiskinan ekstrem sulit ditekan karena masalah kerak kemiskinan bersifat struktural seperti akses pendidikan dan kesehatan," ujarnya.
Padahal, lanjut Bhima, saat ini siklus ekonomi baru melalui proses pemulihan dari pandemi COVID-19, di mana lapangan kerja belum dalam kondisi yang optimal. Masalah pengendalian inflasi pun membuat penurunan angka kemiskinan menjadi lebih menantang.
Sebagian besar penduduk miskin ada di sektor pertanian, sehingga terdapat dua tekanan. Sebagai produsen mengalami kenaikan biaya produksi, dan sebagai konsumen harga pangan yang mahal membuat pengeluaran meningkat.
“Jadi PR (pekerjaan rumah) pemerintah cukup banyak, anggaran terbatas. Pendataan untuk melakukan intervensi ke kantong kemiskinan pun perlu diperbaiki sehingga masyarakat yang ada di kerak kemiskinan bisa terbantu program pemerintah,"ujarnya.
Risiko Kegagalan
Bhima khawatir pemerintah justru berisiko mengalami kegagalan dalam menurunkan angka kemiskinan ekstrem di 2024. Karena ada beberapa faktor yang jadi penyebab utama. Misalnya akibat porsi perlindungan sosial di Indonesia yang cukup rendah.
Berdasarkan data OECD, porsi belanja perlindungan sosial terhadap PDB Indonesia hanya mencapai 3 persen, sementara Malaysia 5,5 peren, Thailand 6,4 persen, dan Vietnam 7,6 persen Bahkan dibandingkan dengan Sri Lanka yang mencapai 4,4 persen saja Indonesia tertinggal.
“Akibatnya begitu terjadi pandemi, bansos jelas tak mampu bendung naiknya angka kemiskinan,” kata Bhima.
Faktor lain adalah pengendalian inflasi yang buruk. Ketika ekonomi mulai bergerak pasca pandemi, inflasi pangan lewat naiknya harga beras, minyak goreng memukul orang miskin. Jadi banyak yang ada di ambang batas garis kemiskinan terjun bebas ke dasar kemiskinan.
“Ini diperparah oleh perilaku korup pada penyelenggaraan bantuan sosial. Juliari (eks Menteri Sosial) itu kan cuma salah satu, tapi korupsi bansos cenderung berulang," ujarnya.
Namun kembali lagi, lanjut Bhima, sebaik apa pun program bansos dan berjilid-jilid kalau penyimpangan di lapangan cukup marak, maka program akan jadi tidak efektif. Apalagi cuma dijadikan proyek rutin saja.
“Apalagi jelang pemilu, bansos kerap dijadikan sebagai money politik untuk beli suara masyarakat miskin,” kata Bhima.
Perlu Kolaborasi
Hasil simulasi TNP2K dan Badan Pembangunan Nasional yang diterima Tirto menunjukkan bahwa masih perlu kolaborasi dan kerja extraordinary (luar biasa) untuk menghapus kemiskinan ekstrem pada 2024. Sebab, rata-rata angka kemiskinan ekstrem pada 2024 berkisar antara 2,6 dan 3,1 persen atau setara 7,2 - 8,6 juta jiwa.
“Tanpa ada upaya yang extraordinary, maka 0 persen ini mungkin akan sulit,” ungkap Sekretaris Eksekutif Suprayoga Hadi kepada Tirto saat itu.
Tingkat kemiskinan ekstrem dapat turun hingga 0,8 persen pada 2024 jika ada upaya percepatan dan intervensi. Namun, ia menegaskan bahwa tingkat kemiskinan masing-masing provinsi berbeda-beda, sehingga tidak semuanya bisa "di-nol kan", meskipun proyeksi optimisnya diperkirakan di antara 0 persen dan 1 persen.
Peneliti SDGs Center Universitas Padjadjaran, Arief Anshory Yusuf mengatakan, Indonesia tidak mungkin mencapai kemiskinan ekstrem di titik 0 persen pada 2024. Hal ini mengingat kemiskinan ekstrem masih terdapat sebanyak 5,59 jiwa pada Maret 2022, sedangkan waktu yang tersisa untuk mencapai target saat ini hanya satu tahun lagi.
Menurut Arief, Indonesia menghadapi tantangan ganda untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem. Di satu sisi, kondisi topografi dan faktor budaya mempersulit upaya untuk menjangkau daerah-daerah terpencil. Di sisi lain, kemiskinan ekstrem justru sebagian besar berada di daerah maju.
Ia mengutip dokumen BPS yang mencatat bahwa penduduk kemiskinan ekstrem terbanyak berada di Jawa Barat menurut jumlah orangnya. “Ini kan anomali menurut saya, ya. Kan itu [Jawa Barat] daerah maju, daerah industri,” ungkap Arief.
Ia menjelaskan bahwa dulu banyak orang dari desa pergi ke kota untuk mencari kesempatan kerja di pabrik-pabrik. Sekarang, mereka justru terjebak dalam pekerjaan dengan upah harian rendah seiring penurunan kontribusi industri manufaktur terhadap ekonomi Indonesia.
Paparan BPS yang sama menyebut bahwa mayoritas penduduk miskin ekstrem memang berstatus bekerja per Maret 2021, tetapi pendapatan yang diterima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Perlu dicatat bahwa data ini tidak membedakan antara penduduk perkotaan dan pedesaan.
“Jadi ada isu-isu yang mungkin non-ekonomis, non-finansial yang harus di-address kalau mau beneran 0 [persen],” jelas Arief.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz