tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan kemiskinan ekstrem untuk mencapai 0 persen pada 2024. Ia mengumumkan hal tersebut pada 4 Maret 2020, dua hari setelah kasus COVID-19 pertama diumumkan dan tepat sehari sebelum Indonesia mengeluarkan himbauan terkait COVID-19.
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan ekstrem sebagai persentase penduduk dengan pendapatan kurang dari USD1,90 pada Purchasing Power Parity (PPP). PPP mengukur kebutuhan jumlah uang untuk membeli sekeranjang barang yang sama di setiap negara dengan dolar AS sebagai pembanding.
Ambisi Jokowi untuk menghapus kemiskinan ekstrem merujuk pada tujuan pertama pembangunan berkelanjutan (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa. Agenda ini menargetkan, antara lain, “mengentaskan kemiskinan ekstrem bagi semua orang yang saat ini berpendapatan kurang dari 1,25 dolar Amerika per hari," pada 2030.
Namun, sejauh mana kemiskinan ekstrem 0 persen dapat dicapai, dan apa saja faktor-faktor yang menghambatnya? Apa saja program-program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem hingga 0 persen? Kemudian, apa saja yang masih bisa dibenahi agar pemerintah mampu menghapus kemiskinan ekstrem pada 2024?
0 Persen, Mungkinkah?
Mengutip paparan BPS yang diterima Tirto, Rabu (26/1/2022), Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan, persentase penduduk miskin ekstrem sejak 2014 menurun secara perlahan-perlahan hingga 3,7 persen pada 2019. Namun, angka ini naik hingga mencapai 4,0 persen pada 2021 di kala COVID-19 menerjang Indonesia.
Hasil simulasi TNP2K dan Badan Pembangunan Nasional yang diterima Tirto, Kamis (27/1/2022) menunjukkan bahwa masih perlu kolaborasi dan kerja extraordinary (luar biasa) untuk menghapus kemiskinan ekstrem pada 2024. Sebab, rata-rata angka kemiskinan ekstrem pada 2024 berkisar antara 2,6 dan 3,1 persen atau setara 7,2 - 8,6 juta jiwa.
“Tanpa ada upaya yang extraordinary, maka 0 persen ini mungkin akan sulit,” ungkap Sekretaris Eksekutif Suprayoga Hadi kepada Tirto, Kamis (28/1/2022).
Tingkat kemiskinan ekstrem dapat turun hingga 0,8 persen pada 2024 jika ada upaya percepatan dan intervensi. Namun, ia menegaskan bahwa tingkat kemiskinan masing-masing provinsi berbeda-beda, sehingga tidak semuanya bisa "di-nol kan", meskipun proyeksi optimisnya diperkirakan di antara 0 persen dan 1 persen.
Peneliti SDGs Center Universitas Padjadjaran, Arief Anshory Yusuf mengatakan kepada Tirto, Rabu (26/1/2022), bahwa Indonesia tidak mungkin mencapai kemiskinan ekstrem di titik 0 persen pada 2024. Hal ini mengingat kemiskinan ekstrem masih ada di angka 4 persen pada 2021, sedangkan waktu yang tersisa untuk mencapai target saat ini hanya dua tahun lagi.
“Kalau lagi tinggi di 30 persen mau naikin ke 25 persen, mungkin bisa setahun-dua tahun, tetapi marginal increase (kenaikan marjinal) lama-lama semakin kecil untuk setiap effort (upaya) yang kita upayakan kalau kemiskinan semakin lama semakin kecil,” ungkap Arief.
Menurut Arief, Indonesia menghadapi tantangan ganda untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem. Di satu sisi, kondisi topografi dan faktor budaya mempersulit upaya untuk menjangkau daerah-daerah terpencil. Di sisi lain, kemiskinan ekstrem justru sebagian besar berada di daerah maju.
Ia mengutip dokumen BPS yang mencatat bahwa penduduk kemiskinan ekstrem terbanyak berada di Jawa Barat menurut jumlah orangnya.
“Ini kan anomali menurut saya, ya. Kan itu [Jawa Barat] daerah maju, daerah industri,” ungkap Arief.
Ia menjelaskan bahwa dulu banyak orang dari desa pergi ke kota untuk mencari kesempatan kerja di pabrik-pabrik. Sekarang, mereka justru terjebak dalam pekerjaan dengan upah harian rendah seiring penurunan kontribusi industri manufaktur terhadap ekonomi Indonesia.
Paparan BPS yang sama menyebut bahwa mayoritas penduduk miskin ekstrem memang berstatus bekerja per Maret 2021, tetapi pendapatan yang diterima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Perlu dicatat bahwa data ini tidak membedakan antara penduduk perkotaan dan pedesaan.
“Jadi ada isu-isu yang mungkin non-ekonomis, non-finansial yang harus di-address kalau mau beneran 0 [persen],” jelas Arief.
Upaya Penghapusan Kemiskinan Ekstrem
Suprayoga dari TNP2K menjelaskan, pemerintah mempercepat pengentasan kemiskinan ekstrem secara bertahap hingga 2024. Pada 2021, pemerintah fokus untuk mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin melalui bantuan-bantuan seperti Kartu Sembako, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa.
Mengutip siaran pers, pemerintah pun telah menambah BLT Desa kepada 694 ribu Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dan menambah sekitar 1,4 juta KPM untuk kartu sembako pada tahun lalu. Suprayoga mengatakan, pemerintah telah menambahkan dana untuk BPNT pula. Pemerintah turut memprioritaskan penanggulangan kemiskinan ekstrem di 35 kabupaten/kota di 7 provinsi pada periode ini.
Kemudian, pada 2022, pemerintah akan fokus memberdayakan ekonomi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan penduduk miskin ekstrem, jelas Suprayoga. Upaya ini meliputi program-program padat karya di berbagai bidang. Penanggulangan kemiskinan ekstrem pun akan diperluas di 212 kabupaten/kota.
Pada 2023, pemerintah akan berupaya mengurangi kantong-kantong kemiskinan, antara lain dengan mendirikan sarana dan prasarana sosial-ekonomi untuk lokasi-lokasi tertentu. Hal ini akan meningkatkan pendapatan dan mengurangi beban penduduk miskin ekstrem. Pemerintah juga berencana untuk memperluas ruang lingkup upaya ini ke 514 kabupaten/kota prioritas pada tahun 2023-2024
"Jadi tiga strategi ini harus dilakukan secara simultan, berbarengan, nanti bisa menuntaskan ini [kemiskinan ekstrem] di 2024," jelas Suprayoga.
Pemerintah juga membantu warga-warga miskin di perkotaan dengan membantu mereka untuk mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan upaya legalisasi lain agar mereka mendapatkan bantuan sosial, jelasnya. Sebab, banyak penduduk miskin di perkotaan yang layak mendapatkan bantuan tetapi tidak memiliki KTP.
Suprayoga berharap, pemerintah daerah hingga desa ikut terlibat dalam upaya pengentasan tersebut melalui anggaran masing-masing. Ia pun mendorong kolaborasi dengan non-pemerintah melalui Corporate Social Responsibility dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak swasta maupun badan filantropi.
"Upaya ini tidak hanya upaya pemerintah pusat," ujarnya. "Istilahnya, upaya percepatan memang harus dikeroyok bareng-bareng"
Catatan Ke Depan?
Arief menjelaskan bahwa masalah keakuratan data yang menyebabkan tidak tepatnya sasaran bantuan selama ini masih menghambat pengentasan kemiskinan ekstrem. Membenahi masalah ini menjadi penting ketika pemerintah berencana untuk menambah KPM untuk BLT Desa dan Kartu Sembako.
Ia pun menilai pemerintah pusat maupun daerah masih cenderung fokus ke pengentasan kemiskinan di pedesaan. Padahal, meringankan beban penduduk miskin di perkotaan melalui pembenahan antara lain transportasi umum, fasilitas kesehatan dan sanitasi akan membantu pengentasan kemiskinan ekstrem.
“Kalau ternyata banyak juga orang miskin di urban area, jadi mereka [pengambil kebijakan] sebenarnya [seakan-akan] mencari jarum di jerami yang salah,” ucap Arief.
Ia mengkritik pula pengadopsian garis kemiskinan ekstrem internasional sebesar USD1,9 PPP di Indonesia. Pasalnya, Indonesia sampai saat ini masih belum memperhitungkan variasi daya beli masyarakat di masing-masing dalam mengadopsi angka tersebut.
Ia juga mendorong Indonesia untuk menaikkan standar garis kemiskinan. Ia menulis dalam situs SDG Center UNPAD pada 17 Februari 2020 bahwa Indonesia saat ini menggunakan garis kemiskinan yang lebih rendah daripada semestinya. Kebutuhan komoditas saat ini pun sudah berbeda dari sejak ditetapkannya komposisi garis kemiskinan ini.
Editor: Nuran Wibisono