Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Mendeteksi Potensi Kecurangan Pemilu & Apa yang Mesti Dilakukan

Potensi masalah dan kecurangan yang terjadi di TPS biasanya saat proses rekapitulasi. Bagaimana cara antisipasinya?

Mendeteksi Potensi Kecurangan Pemilu & Apa yang Mesti Dilakukan
Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan pemilih mengikuti simulasi pemungutan dan penghitungan suara dengan desain surat suara dan formulir yang disederhanakan di Kantor KPU Provinsi Sumatera Utara, Medan, Rabu (15/12/2021). ANTARA FOTO/Fransisco Carolio/Lmo/rwa.

tirto.id - Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan sejumlah potensi kecurangan yang bisa saja muncul pada Pemilu 2024. Ia mengatakan, salah satunya adalah soal kecurangan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga jual beli suara.

“Itu ramai biasanya saat beberapa tempat musim kampanye brak, brak, brak, nanti di TPS perhitungan suara itu ada yang protes, ada yang ribut, ada yang bikin kekerasan dan sebagainya, kemudian di tingkat desa nanti biasanya rawan itu ketika pengiriman dari TPS masuk ke kecamatan-kabupaten. Biasanya berdasarkan pengalaman saya sebagai hakim MK memang kadangkala terjadi tukar menukar dan jual beli suara di dalam proses ini,” kata Mahfud MD dalam rapat koordinasi bersama TNI-Polri di Jakarta, Senin (29/5/2023).

Mahfud MD menilai, kecurangan tersebut terbukti karena dirinya pernah menjadi hakim konstitusi. Akan tetapi, kecurangan yang terjadi tidak lagi seperti Orde Baru di mana pemerintah yang berkuasa lewat ABG (ABRI, birokrasi dan Golkar). Kini, setelah ada KPU dan Bawaslu maupun Mahkamah Konstitusi, kecurangan bersifat horizontal.

“Kalau dulu vertikal dari atas, sekarang horizontal. Partai ini mencurangi partai ini, yang digugat KPU. Partai ini membeli suaranya partai ini, orang dirugikan. Gugat KPU. Itu banyak,” kata Mahfud.

Mahfud mencontohkan, ada kandidat A memperoleh 5 juta suara, sementara kandidat B punya 4 juta suara. Saat dibuktikan di Mahkamah Konstitusi, kecurangan memang terjadi. Akan tetapi, angka kecurangan terbukti hanya 200 sehingga tidak signifikan dalam mempengaruhi suara.

Ia juga mencontohkan bagaimana ada kandidat yang berusaha menyuap pemilih. Akan tetapi, Mahkama Konstitusi belum tentu mengabulkan permohonan kecurangan. Pertama, angka kecurangan tidak signifikan; kedua tidak ada bukti kuat bahwa pemilih menggunakan hak pilih sesuai kehendak setelah dibayar.

“Oleh sebab itu, tetap menang jadi gubernur, tapi saya kirim ke KPK ini ada penggunaan dana ditemukan di sidang MK, ya masuk penjara," kata Mahfud.

Sementara itu, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil justru menilai, kecurangan pemilu bisa lebih parah. Ia melihat dari rekam jejak pelaksanaan pemilu di era komisioner saat ini.

“Justru menurut saya potensinya di Pemilu 2024 bisa dua kali lipat lebih besar dibandingkan pemilu sebelumnya. Potensi masalah dan kecurangan yang akan terjadi di TPS di proses rekapitulasi. Ini mengingat kecenderungan penyelenggara pemilu kita punya masalah profesionalitas dan integritas," kata Fadli.

Fadli melihat dari kacaunya proses verifikasi partai politik, perubahan peraturan KPU yang diubah malah berujung pemilu yang tidak berintegritas, seperti hilangnya kewajiban penyerahan LHKPN, pelaporan dana kampanye, hingga batas minimal pencalonan perempuan 30 persen.

Di sisi lain, Fadli menilai, permasalahan integritas juga tidak hanya di KPU pusat, tapi di KPU daerah. Selain itu, KPU pusat saat ini mulai membentuk doktrin satu komando dan militeristik. Hal itu dinilai akan memicu kejadian serupa seperti masalah verifikasi partai politik.

“Sekarang mereka betul-betul memberikan doktrin satu komando dan sangat militeristik ada antara penyelenggara dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Pakai pelatihan penyelenggara di daerah dengan pegang senjata dan segala macam. Itu, kan, cara-cara Orde Baru membangun ketakutan kepada struktur penyelenggara pemilu di daerah,” kata Fadli.

Fadli menilai, posisi pemerintah tidak akan sebesar KPU dalam proses pelaksanaan pemilu. Ia mengingatkan, pemerintah hanya membantu kebutuhan anggaran dan memastikan keamanan dan ketertiban pelaksanaan pemilu. KPU menjadi pelaku manajemen pemilu sementara kondisi pemilu masih bermasalah.

Oleh karena itu, Fadli berharap Bawaslu bisa berperan aktif dalam rangka mengontrol penyelenggaraan pemilu meski dinilai masih belum optimal.

Selain itu, kata dia, Dewan Kehormatan Penyelenggara pemilu (DKPP) juga harus tegas. Ia juga menilai KPU masih bisa memperbaiki diri karena kinerja KPU masih bisa dilihat dari pelaksanaan kampanye maupun manajemen logistik pemilu.

"Ini, kan, masih proses pencalonan anggota legislatif, kampanye belum. Masih ada lagi manajemen logistik pemilu nanti seperti apa mereka menyelenggarakan. Itu akan jadi cerminan seperti apa nanti pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara akan dijalankan," kata Fadli.

“Kalau tidak berubah, ini kondisinya bisa 2 kali atau 3 kali lebih buruk dari Pemilu 2019 kalau penyelenggaranya nggak berubah ya, tidak ada perubahan perilaku, tidak ada perubahan profesionalitas, semakin menggerus hal-hal yang sudah baik pernah dibangun ya kondisi akan semakin buruk," tutur Fadli.

Hal senada diungkapkan analis politik dari Indostrategi, Arif Nurul Imam. Ia menilai potensi kecurangan pemilu tidak akan pernah hilang. Ia beralasan kecurangan terjadi karena memanfaatkan sistem yang ada.

“Setiap sistem pemilu pasti ada kelemahan dan karena itu menjadi celah untuk masuk, untuk melakukan kecurangan," kata Imam.

Imam mengakui pernyataan Mahfud MD bahwa kecurangan bisa terjadi dan terbukti, tetapi tidak diproses. Ia beralasan, MK memang bisa memutus kecurangan, tetapi ada batas minimal sehingga pemilihan bisa diulang.

Menurut Imam, kecurangan tersebut bisa dimitigasi jika para kandidat, baik legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) maupun capres-cawapres memiliki formulir C1 saat pemilu. Para saksi di lapangan harus memegang formulir C1 sebagai bukti dugaan kecurangan pemilu.

Analis politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah juga menilai pemilu kali ini diprediksi lebih buruk. Hal ini tidak lepas upaya penggagalan Partai Gelora dan kecurangan di masa lalu. Ia yakin, kecurangan serupa akan masih ada.

“Kecurangan dalam pemilu diprediksi akan jauh lebih buruk, terlebih jika sistem pemilu kembali ke tertutup,” kata dia.

“Untuk itu, pada saat pemilihan nanti kecurangan serupa akan tetap ada, terlebih pemilihan legislatif yang tidak semua kandidat miliki saksi, mereka yang bertarung dan tidak cukup membiayai saksi, potensial kehilangan suara cukup besar," tutur Dedi.

Dedi menilai, situasi tersebut terjadi akibat permasalahan tata kelola penyelenggaraan pemilu, termasuk integritas penyelenggara yang tidak berkualitas. Ia mengaku, hal tersebut tidak terlepas lemahnya regulasi yang mengatur sanksi penyelenggara.

Ia mencontohkan Bawaslu yang tidak bisa bertindak apa pun saat terjadi pelanggaran pemilu. Bawaslu hanya melakukan rekomendasi lantaran lembaga yang dipimpin Rahmat Bagja itu bukan penegak hukum.

Kemudian kecurangan yang terbukti di persidangan itu akan diputus untuk lakukan pemungutan ulang, semestinya diskualifikasi, tetapi tidak dilakukan. Situasi tersebut membuat sanksi kecurangan tidak bertaji.

“Bawaslu sulit dilibatkan karena kewenangan mereka yang lemah, harapan besar bisa disandingkan ke pemerintah, penegak hukum dan penyelenggara, tetapi melihat situasi saat ini, sulit berharap Pemilu 2024 bisa berjalan dengan integritas. Ketua KPU yang berulang disidangkan di DKPP saja tetap diberi ruang memimpin KPU, maka sulit bisa percaya dengan integritas semacam itu," kata Dedi.

Dedi menambahkan, “Belum ada komitmen yang terlihat, bahkan mulai dari presiden sekalipun.”

Dedi juga menilai pemilu masih bisa diharapkan sesuai harapan publik. Salah satu contohnya adalah dengan meminta presiden turun tangan untuk mendukung sistem tetap terbuka, tidak lakukan endorsment politik pada tokoh atau partai tertentu, serta segera instruksikan semua yang berwenang untuk menjalankan tahapan pemilu sesuai waktunya.

“Jika intervensi yang dilakukan presiden justru sebaliknya, yakni secara politik praktis, memihak pada kandidat tertentu, maka semakin pemilu tidak dapat diharapkan berjalan baik," kata Dedi.

Respons Penyelenggara Pemilu

Komisioner KPU RI, Idham Kholik menegaskan bahwa KPU berupaya memitigasi dan menyelesaikan masalah pemilu. Mereka meyakini, masalah tersebut bisa diselesaikan lewat sosialisasi dan pendidikan pemilih.

“Dalam memitigasi potensi terjadinya electoral fraud atau electoral manipulation (kecurangan/manipulasi elektoral) dan tindak pidana pemilu, kuncinya adalah sosialisasi dan pendidikan pemilih," kata Idham, Rabu (31/5/2023).

Idham pun mengatakan, KPU akan mengintensifkan sosialisasi regulasi pemilu, misalnya KPU akan melakukan sosialisasi peraturan pelaporan dana kampanye. KPU akan melakukan sosialisasi regulasi pemungutan penghitungan dan rekapitulasi suara.

“Jadi kuncinya untuk mewujudkan pemilu berintegritas adalah semua pihak harus memiliki pengetahuan tentang regulasi atau yang disebut dengan literasi regulasi,” kata Idham.

Idham pun menjawab sejumlah kritik publik. Pertama, ia menegaskan, KPU tidak pernah menghapus pasal. Pada isu penghapusan ketentuan LHKPN bagi calon terpilih, Idham mengakui aturan tentang wajib memuat LHKPN diatur dalam Pasal 37 Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 dan Pasal 84A Peraturan KPU Nomor 21 Tahun 2018. Ia mengatakan materi tersebut akan diatur terpisah.

“Jadi terkait materi norma tersebut akan diatur dalam peraturan tentang penetapan calon terpilih," kata Idham.

“Dalam waktu dekat KPU baru akan menyelesaikan rancangan peraturan teknis tentang pemungutan dan penghitungan suara. Pasca peraturan teknis tersebut, KPU akan menyelesaikan rancangan peraturan teknis tentang rekapitulasi hasil perolehan suara peserta pemilu. Baru setelah itu, KPU akan menyelesaikan rancangan peraturan teknis tentang penetapan hasil pemilu,” tutur Idham.

Idham menegaskan, KPU akan melaksanakan Pemilu 2024 sesuai peraturan yang berlaku. Mereka juga akan berupaya memitigasi kecurangan tersebut.

“Sebagai penyelenggara pemilu, kami juga harus memiliki perencanaan strategis dalam memitigasi potensi pelanggaran atau pun potensi pelanggaran dalam pelaksanaan penerapan aturan," kata Idham.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz