tirto.id - Pendaftaran bakal calon anggota legislatif pada Pemilu 2024 resmi ditutup pada Minggu, 14 Mei kemarin. Dalam daftar bacaleg yang diajukan parpol, tercatat deretan nama pesohor yang maju dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Selain itu, terdapat sejumlah nama yang mengejutkan publik karena kader potensial parpol justru maju sebagai bacaleg dari partai lain di pemilu kali ini. Dua di antaranya adalah Dedi Mulyadi dan Eva Kusuma Sundari.
Dedi Mulyadi adalah anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar. Ia disebut pindah dari parpol berlambang pohon beringin itu, bahkan surat pengunduran dirinya beredar di dunia maya. Kabar kepindahan eks Bupati Purwakarta itu dibenarkan Sekjen DPP Partai Gerindra, Ahmad Muzani.
“Insyaallah beliau nyaleg dari Partai Gerindra,” kata Muzani di Kantor KPU RI pada Sabtu (13/5/2023).
Namun demikian, Partai Golkar menegaskan bahwa Dedi Mulyadi masih menjadi bagian dari mereka. Partai Golkar pun masih mendaftarkan Dedi sebagai bakal caleg mereka di Pemilu 2024.
Nama lainnya adalah Eva Sundari. Perempuan kelahiran 8 Oktober 1965 tersebut adalah kader potensial parpol berlambang kepala banteng dan pernah menjadi anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP. Namun di Pemilu 2024, Eva justru maju sebagai bacaleg dari Partai Nasdem.
Eks kader PSI, Surya Tjandra juga maju dari Partai Nasdem. Surya yang juga mantan Wamen ATR sebelumnya keluar dari PSI karena berbeda pandangan terkait bakal calon presiden pada Pilpres 2024. Surya mendukung Anies Baswedan, sedangkan PSI menutup pintu rapat-rapat bagi Anies.
Ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya mengatakan, pemilihan nama tersebut sebagai bacaleg adalah strategi untuk mewakili posisi Nasdem dalam sejumlah isu. Eva misal, ia telah berjuang dalam isu UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual hingga RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Fenomena pindah partai kader potensial tentu menimbulkan pertanyaan, mengingat mereka merupakan kader di partai besar dengan perolehan suara mumpuni. Analis politik dari Indonesia Political Power, Ikhwan Arif mengatakan, migrasi kader potensial dari parpol asal adalah fenomena politik yang lumrah dalam proses pesta demokrasi.
“Saya melihat upaya loncat pagar yang dilakukan kader potensial partai politik untuk mencalonkan diri dalam kontestasi pemilu atau pileg lebih mengarah kepada upaya atau hasrat untuk merebut kekuasaan, bukan mengedepankan proses kaderisasi di internal partai,” kata Ikhwan kepada reporter Tirto.
Ikhwan mengatakan, pada umumnya kepindahan terjadi karena faktor kompetisi antar-sesama kader potensial untuk memperoleh restu atau tiket pencalonan dari ketua umum seperti ingin maju pilkada.
Ia mencontohkan kepindahan Dedi Mulyadi yang merupakan kader potensial Golkar. Ikhwan menduga, kepindahan Dedi tidak terlepas dari adanya keinginan maju sebagai Gubernur Jawa Barat, tapi berpotensi terhalang oleh bergabungnya Ridwan Kamil sebagai petahanan di Jabar.
Menurut Ikhawan, secara tidak langsung, dalam konteks ini akan terjadi proses kompetisi antar sesama kader potensial partai. Hal ini menandakan bahwa persaingan di internal partai semakin kuat.
Ikhwan melihat, parpol yang menerima kader potensial yang pindah partai justru untung. Ia beralasan, partai yang menjadi tujuan pindah belum mempunyai kader potensial untuk maju pilkada, tetapi berkeinginan maju.
“Menurut saya kerugiannya tidak seberapa, terutama bagi partai politik yang mempunyai banyak tokoh potensial, apalagi partai tersebut merupakan partai besar yang punya banyak tokoh berpengaruh, sebab kehilangan satu kader bisa saja diganti oleh kader baru yang punya pengaruh kuat, baik secara efek elektoral ataupun efek ketokohan,” kata Ikhwan.
“Semakin besar partai, semakin besar juga tingkat kompetensi baik di internal maupun di eksternal partai. Saya melihat akan ada persaingan kuat di internal akibat kedatangan kader potensial baru,” kata Ikhwan menambahkan.
Ikhwan pun menegaskan, fenomena kader potensial pindah partai jelang pemilu akan terus berjalan karena hal itu merupakan momen tarik-menarik kepentingan politik. Oleh karena itu, perlu ada upaya penanganan seperti mengubah sistem rekrutmen partai atau proses pendaftaran sehingga bisa meminimalisir aksi kader potensial lompat partai demi pencalegan.
Semenetara itu, analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo mengatakan, kepindahan kader potensial ke partai lain karena mereka sadar bahwa merekalah pembawa suara di Pemilu 2024.
Ia sebut, kepindahan kader potensial ke partai lain tidak lepas dari kondisi partai yang tidak memiliki ideologi atau isu kuat yang diperjuangkan sehingga kader bisa pindah demi membawa suara pemilih.
“Jadi posisi tawar caleg di sini sangat besar bagi partai menjelang pemilu karena dia adalah vote gathers, dia yang bisa memobilisasi atau mempengaruhi pemilih. Dia yang bisa menghasilkan suara sehingga ya seperti halnya bajak membajak talent di dalam korporasi," kata Kunto.
Kunto mencontohkan, saat kader potensial partai atau bacaleg yang terbukti di periode sebelumnya bisa masuk parlemen, entah tingkat DPRD maupun DPR atau Senayan, mereka bisa pindah di pemilu berikutnya.
Umumnya, kepindahan terjadi lantaran kepentingan kandidat tidak diakomodir partai, apalagi partai lain tidak memiliki ideologi spesifik atau isu yang membedakan partai lama dengan partai baru. Namun, alasan spesifik bisa beragam.
“Alasannya bisa sangat besar dari finansial politik emosi individu bahkan yang lain-lain," kata Kunto.
Pada posisi yang sama, partai juga secara mau tidak mau harus merangkul kandidat yang punya suara di daerah karena mereka sadar bahwa mereka perlu tokoh potensial untuk memenangkan pemilu.
Di sisi kader yang ingin pindah, mereka sudah berpikir langkah sebelum melangkah. Ia menilai, kepindahan bisa saja bukan soal bisa kembali masuk ke Senayan, melainkan keengganan kader untuk berjuang di dapil lain jika diminta oleh partai asal. Oleh karena itu, muncul pertemuan pragmatis antara kader potensial di partai asal dengan partai yang dituju.
Kunto menilai, keberadaan kader pindahan yang potensial ke partai baru seperti Dedi Mulyadi maupun Eva Sundari akan menguntungkan partai. Ia beralasan, partai akan memiliki prestasi penambahan kursi, apalagi kader pindahan tersebut sudah terbukti punya kursi.
Di sisi lain, kata Kunto, mesin partai akan bekerja lebih optimal karena kader internal akan berusaha optimal untuk merebut suara di masyarakat.
Kunto menilai, fenomena politik kepindahan kader seperti Dedi dan Eva akan kerap muncul setiap tahun politik kecuali partai sudah mulai punya ideologi kuat atau isu kuat yang dibawa dalam pemilu mendatang.
“Kalau menurut saya fenomena ini akan terus terjadi bukan masalah ditangani atau tidak, ya selama partainya tidak punya ideologi yang kuat, tidak berbasiskan isu yang kuat, ya kejadian ini akan terus kita lihat di setiap pemilu karena ya yang mendatangkan vote adalah orang, bukan partai, bukan ideologi dan bukan isu," kata Kunto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz