tirto.id - Institusi TNI kembali disorot di tengah pelaksanaan KTT ASEAN ke-42 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Musababnya, beredar kabar bahwa TNI tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kabar tersebut tidak lepas dari pemberitaan TNI bahwa Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono sudah mendengar kabar revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 oleh Kababinkum TNI Laksamana Muda TNI Kresno Bintoro bertempat di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (28/4/2023). Dalam pertemuan itu, Yudo menyinggung soal penanganan HAM.
Dalam dokumen yang diperoleh Tirto, ada sejumlah pasal yang diubah dalam rencana revisi UU TNI. Salah satu poin yang menjadi atensi adalah perubahan Pasal 47 yakni adanya penambahan lembaga yang menjadi lokasi penugasan TNI. Dalam salah satu klausul disebut soal pembolehan anggota TNI-Polri untuk ditempatkan di kementerian/lembaga berdasarkan permintaan instansi terkait.
Sontak, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan pun mengkritik upaya revisi UU TNI tersebut. Mereka meminta agar rencana revisi dikaji ulang. Alasannya, rencana revisi UU TNI justru memundurkan semangat reformasi.
“Kami memandang pemerintah sebaiknya meninjau ulang agenda revisi UU TNI, mengingat hal ini bukan merupakan agenda yang urgen untuk dilakukan saat ini. Ditambah lagi, substansi perubahan yang diusulkan oleh pemerintah bukannya memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak 1998, tapi justru malah sebaliknya. Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI,” kata M Isnur, salah satu perwakilan koalisi, Rabu (10/5/2023).
Isnur yang juga Ketua Umum YLBHI ini melihat dari beberapa faktor. Pertama, pencabutan kewenangan presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI dalam draf tersebut.
Isnur menilai, penghapusan tersebut membahayakan karena membuat pengerahan dan penggunaan TNI bisa di luar persetujuan dan kontrol presiden. TNI dikhawatirkan dapat bergerak dalam isu keamanan dengan dalih operasi militer tanpa keputusan presiden sebagai supremasi sipil.
Kedua, kata Isnur, koalisi khawatir dengan perluasan dan penambahan jenis-jenis operasi militer selain perang (OMSP) lewat perubahan Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 di UU TNI. Penambahan tersebut, dalam kacamata koalisi, tidak berkaitan dengan kompetensi militer seperti penanggulangan narkotika atau dorongan perluasan keterlibatan TNI di sipil seperti pengamanan proyek nasional.
Selain itu, kata Isnur, perubahan OMSP juga diikuti dengan kemudahan pelaksanaan OMSP karena tidak bisa dikontrol dan diawasi DPR.
Ketiga, mereka menyoal jabatan sipil yang diduduki oleh sipil dengan merevisi Pasal 47 ayat 2. Isnur khawatir penambahan ruang peran TNI akan memicu kembali dwifungsi era orde baru.
“Adanya usulan perubahan yang memberikan ruang bagi TNI untuk dapat menduduki jabatan sipil yang lebih banyak dan lebih luas sebagaimana tercantum dalam draf RUU Pasal 47 poin 2 dapat membuka ruang kembalinya dwifungsi ABRI seperti yang pernah dipraktikan di era rezim otoritarian Orde Baru," kata Isnur.
Isnur mengingatkan bahwa jabatan sipil yang diduduki TNI aktif sesuai draf RUU TNI membuka ruang TNI kembali berpolitik. Hal itu memundurkan semangat reformasi yang menempatkan TNI sebagai pertahanan negara.
Selain itu, perluasan juga membuka peluang TNI duduk di jabatan sipil, padahal Ombudsman mencatat sekitar 27 anggota TNI aktif menduduki kursi di BUMN. Hal ini belum termasuk TNI yang menduduki jabatan politis seperti Penjabat Bupati Kabupaten Seram maupun Penjabat Gubernur Aceh.
“Penting untuk dicatat, kehidupan demokrasi yang dicapai dan dinikmati hari ini adalah buah dari perjuangan politik berbagai kelompok pro-demokrasi pada 1998. Oleh karena itu, kalangan elite politik, terutama yang tengah menduduki jabatan strategis di pemerintahan, semestinya menjaga dan bahkan memajukan sistem dan dinamika politik demokrasi hari ini, dan bukan sebaliknya malah mengabaikan sejarah dan secara perlahan ingin mengembalikan model politik otoritarian Orde Baru," kata Isnur.
Mereka juga menyoroti soal perubahan kepatuhan TNI di mata hukum. Koalisi masyarakat sipil menilai revisi UU TNI semakin memperkuat impunitas anggota militer yang melakukan tindak pidana umum dengan merevisi Pasal 65 ayat 2 UU TNI.
Poin revisi menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan militer jika pelanggaran militer dan hukum pidana umum. Hal itu, dalam kacamata koalisi melanggar semangat agenda reformasi sesuai Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Terakhir, mereka mengkritik soal perubahan mekanisme pertahanan dan upaya melangkahi kewenangan Menteri Pertahanan dengan merevisi Pasal 66 ayat 1 dan Pasal 67 UU TNI. Berdasarkan temuan tersebut, mereka mendorong agar revisi UU TNI ditunda.
“Selain tidak urgen untuk dilakukan [revisi] saat ini, sejumlah substansi usulan perubahan juga membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan HAM. Adalah lebih baik jika pemerintah saat ini memfokuskan pada penyelesaian pekerjaan rumah reformasi TNI yang tertunda, seperti reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI," kata Isnur.
Alasan Mengapa Revisi UU TNI Dinilai Tak Perlu
Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas juga mengkritik wacana revisi UU TNI ini. Ia melihat gagasan revisi UU TNI dalam informasi yang beredar mengarah pada upaya memundurkan reformasi TNI.
“Secara umum, usulan tersebut cenderung problematik, menciptakan inefisiensi, bahkan berpotensi melemahkan capaian reformasi TNI termasuk mengganggu bangunan relasi Kementerian Pertahanan-TNI," kata Anton kepada reporter Tirto, Rabu (10/5/2023).
Pertama, Anton menilai, draf memicu masalah pada usul TNI sebagai alat pertahanan dan keamanan. Ia mengingatkan bahwa keberadaan TNI mengacu pada UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan yang tidak memuat soal pertahanan dan keamanan. UU tersebut hanya menegaskan bahwa TNI berperan sebagai alat pertahanan Indonesia.
“Penggunaan istilah keamanan negara juga berpotensi untuk menimbulkan wilayah abu-abu dan overlapping dengan tugas Polri,” kata Anton.
Kedua, kata Anton, narasi Pasal 3 ayat 1 UU TNI yang menyatakan posisi TNI di bawah presiden saat pengerahan dan penggunaan kekuatan militer berbahaya. Hal ini bisa membuka ruang insubordinasi militer terhadap pemimpin sipil.
Di sisi lain, pengaturan OMSP dalam draf revisi juga tidak membutuhkan kebijakan dan keputusan negara bisa membuka ruang prajurit untuk bergerak leluasa. TNI juga semakin otonom jika pengaturan dan pengelolaan anggaran dipegang oleh lembaga yang kini dipimpin Yudo Margono itu.
Ketiga adalah soal jabatan sipil yang bisa diduduki TNI. Ia mengingatkan Pasal 47 ayat 2 UU TNI yang hanya membolehkan ruang jabatan yang ada pada sembilan institusi sipil yang dapat diduduki prajurit aktif perlu direvisi. Akan tetapi, penambahan institusi yang sebelumnya tidak diwacanakan seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan jelas tidak perlu dilakukan.
“Adanya penunjukan perwira aktif TNI yang menduduki jabatan eselon 1 di KKP saat ini, misalnya, jelas tidak urgen untuk dijadikan ketentuan permanen. Selain semestinya bersifat ad hoc atau sementara, penempatan prajurit aktif di lembaga sipil dapat mengganggu moril ASN yang sudah meniti karier di instansi tersebut," kata Anton.
Anton juga melihat ada inefisiensi pengelolaan institusi Angkatan bersenjata. Pertama adalah ide pelembagaan wakil panglima TNI yang dinilai tidak urgen. Di sisi lain, penambahan usia jenderal jadi 60 tahun dan bintara-tamtama 58 tahun akan semakin membuka ruang non-job.
Terakhir, ide pemutakhiran UU TNI akan melemahkan capaian reformasi TNI, termasuk posisi Kementerian Pertahanan. Sebab, kata Anton, revisi UU TNI mengurangi garis koordinasi Kementerian Pertahanan. Ia mengingatkan penempatan TNI di bawah TNI adalah hasil reformasi TNI.
Selain itu, revisi UU TNI juga mundur dari sisi peradilan militer. Ia menilai UU TNI telah mengatur pembagian kekuasaan peradilan militer dan peradilan umum sesuai Pasal 65 UU TNI. Keberadaan pembagian kekuasaan justru dipersepsikan sebagai dinding penghambat profesionalisme TNI.
Anton juga menilai, narasi OMSP memang terlihat positif dengan perubahan diksi seperti penggantian diksi 'membantu' dengan diksi 'mendukung'. Akan tetapi, mandat pengaturan OMSP dalam sebuah PP adalah kekeliruan karena operasi militer perlu keputusan politik negara.
Berdasarkan temuan tersebut, Anton menyarankan agar revisi UU TNI dikaji ulang. Ia mengingatkan proyeksi keamanan global masa depan di era volatility, uncertainty, complexity and ambiguity perlu paying hukum kuat untuk menciptakan TNI profesional dengan orientasi situasi ke luar.
“Guna menghindari kegaduhan politik yang tidak perlu, ada baiknya keinginan merevisi UU TNI untuk dipertimbangkan ulang. Proses revisi UU TNI hendaknya dilakukan secara lebih partisipatif, hati-hati, cermat dan lebih banyak merespons perkembangan ancaman strategis negara di masa depan," kata Anton.
Sementara itu, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, upaya revisi UU TNI adalah mengakomodir poin yang belum masuk di undang-undang. Akan tetapi, ia mengakui bahwa masih ada sejumlah kritik.
Pada Pasal 3 di revisi UU TNI misalnya, perubahan ayat menjadi "TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah presiden" perlu penjelasan lebih detail agar tidak memicu polemik.
Ia menilai wajar jika TNI ingin menegaskan posisi kelembagaan. Akan tetapi, isi revisi seharusnya mengacu pada UUD 1945 sesuai Pasal 30 ayat 2 yang menyatakan usaha pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
“TNI dan Polri ini menurut konstitusi sebenarnya adalah dua perangkat dalam sebuah sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta atau Sishankamrata. TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sedangkan Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum," kata Fahmi.
Fahmi juga menjawab alasan TNI ditempatkan di bawah kementerian, sementara Polri tidak yang kemudian memicu TNI ingin 'sejajar' seperti Polri dengan langsung di bawah presiden. Fahmi menilai, Panglima TNI bukan pengguna anggaran, melainkan kuasa pengguna anggaran yang setara dengan KSAD, KSAL dan KSAU. Fahmi sebut, Kementerian Pertahanan yang justru harus diubah ke Kementerian Pertahanan dan Keamanan.
“Kementerian ini mengurus kebutuhan TNI untuk menegakkan kedaulatan. Juga mengurus kebutuhan Polri untuk menegakkan ketertiban, keamanan dan hukum. Menjalankan visi misi presiden dalam membangun sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, melalui dua perangkat kelembagaan yaitu TNI dan Polri," kata Fahmi.
Sorotan lain Fahmi ada pada penempatan prajurit TNI dalam revisi Pasal 47 UU TNI. Ia mengingatkan, kehadiran Pasal 47 UU TNI jelas untuk memberikan batasan penempatan prajurit pada jabatan sipil. Pasal 47 ayat 1 menegaskan TNI tidak boleh menduduki jabatan sipil, kecuali mengundurkan diri, sedangkan Pasal 47 ayat 2 memberikan afirmasi beberapa pos.
Beberapa waktu terakhir, pemerintah kemudian membentuk sejumlah lembaga baru yang bekerja beririsan dengan TNI. Ia melihat, penambahan lembaga dari 10 menjadi 18 lembaga adalah upaya mengakomodir prajurit yang kini sudah bertugas di 18 kementerian/lembaga. Namun, ia menyoalkan ada pasal karet dalam klausul Pasal 47 ayat 2 bahwa TNI bisa bertugas di kementerian/lembaga sesuai kebijakan presiden.
“Klausul itu membuka peluang masuknya prajurit aktif ke kementerian/lembaga yang urusannya tidak berkaitan atau beririsan langsung dengan tugas dan fungsi TNI. Maka hal itu sama saja dengan membuka jalan bagi kembalinya militer ke kancah politik, dan jelas bertentangan dengan amanat reformasi," kata Fahmi.
“Meski pemerintah maupun Mabes TNI selalu berupaya meyakinkan bahwa penempatan prajurit itu didasarkan pada kebutuhan dan tak akan mengembalikan dwifungsi, siapa bisa menggaransinya di masa depan?" kata Fahmi mempertanyakan.
Berdasarkan poin tersebut, Fahmi menilai rencana penempatan perwira TNI di kementerian/lembaga tidak tepat, tidak strategis, dan tidak menyelesaikan masalah TNI yang lebih membutuhkan pembinaan personel dan pembangunan pertahanan.
“Artinya Pasal 47 ayat 2 huruf s itu mestinya tidak perlu ada. Kalau pun tetap harus ada, bunyinya perlu ditambah dan dipertegas. Misalnya menjadi, ‘kementerian/lembaga lain yang karena urusan dan kewenangannya membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai kebijakan presiden,’” kata Fahmi.
Respons Mabes TNI
Kapuspen TNI Laksamana Muda Julius Widjojo menegaskan bahwa narasi revisi UU TNI yang muncul di publik belum final. Hal itu masih dalam pembahasan.
“Bahan usulan itu baru level Kababinkum TNI, bahan lama yang bahas ulang, belum maju ke Panglima TNI," kata Julius saat dikonfirmasi, Rabu (10/5/2023).
Julius mengakui ada tantangan dalam posisi TNI saat ini. TNI, kata Julius, bisa fokus penguatan kemampuan lewat latihan sementara ada kebutuhan pengerahan TNI untuk penanggulangan bencana, seperti penanganan ketahanan pangan, pandemi COVID maupun bencana alam. Di sisi lain, TNI mengalami tantangan keterbatasan gerak dalam birokrasi, operasi dan koordinasi di lapangan.
Oleh karena itu, Julius paham bahwa ada pro kontra dalam revisi UU TNI. Ia berharap publik mau duduk bersama dan mencari solusi untuk membangun bangsa.
“Hilangkan ego sektoral, lihat semua permasalahan secara objektif, terintegrasi dan holistik. Saya yakin dengan demikian bangsa ini akan lebih maju," kata Julius.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz