tirto.id - Budi Raharjo bersama Bima Saputra berusaha mematahkan stigma 'Jakarta Keras'. Kedua kakak beradik ini siap mengadu nasib ke Ibu Kota untuk bersaing mendapatkan pekerjaan usai Lebaran 2023. Selama di sana, keduanya akan tinggal sementara bersama sang paman di bilangan Jakarta Timur.
Budi dan Bima mencoba peruntungan di Jakarta setelah sang paman memberikan kabar baik. Tempat kerja sang paman membutuhkan puluhan pekerja untuk proyek pengerjaan infrastruktur. Kabar itu disambut positif. Keduanya lalu memilih meninggalkan rumahnya di Kecamatan Gombong, Kebumen, Jawa Tengah ke Jakarta.
“Kemarin sempat dikabarin suruh ke Jakarta ada peluang kerja di sana katanya. Sempat berdiskusi juga [kami] sebelum memutuskan ke sana," kata Budi kepada reporter Tirto, saat ditemui di Rest Area KM 130, Tol Cipali, Kamis (27/4/2023).
Kakak beradik itu mengaku optimistis bisa mendapatkan peluang pekerjaan tersebut. Berbekal pengalaman sebelumnya, keduanya sama-sama pernah mengerjakan beberapa proyek infrastrukur. Mulai dari jalan tol, gedung, hingga hotel. Pengalaman itu cukup membuatnya percaya diri bisa bersaing dengan para pencari kerja lainnya.
“Bekal pengalaman ada, jadi gak kosong-kosong banget," imbuhnya.
Budi dan Bima menjadi salah dua dari mayoritas orang yang ingin mengadu nasib di Jakarta. Banyaknya urbanasi ini menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira akibat ada kue ekonomi yang ditawarkan di kota-kota besar.
Sementara di pedesaan hanya bergantung dari sektor pertanian. Misalnya perkebunan yang semakin lama kurang diminati oleh para pekerja ataupun calon pekerja di usia muda. Sehinga mereka mencoba mencari pekerjaanya di kota besar seperti Jakarta.
“Selama pekerjaan di perkotaan itu tersedia tidak jadi masalah. Tapi kan pengangguran di perkotaan cukup tinggi," kata Bhima.
Berdasarkan data Badan Pusat statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,4 juta orang pada Agustus 2022, porsinya 5,86 persen dari total angkatan kerja nasional. Pengangguran paling banyak berasal dari kelompok usia 20-24 tahun, yakni 2,54 juta orang. Angka ini setara 30,12 persen dari total pengangguran nasional.
Kemudian penduduk usia 15-19 tahun yang menganggur ada 1,86 juta jiwa (22,03 persen), penganggur usia 25-29 tahun 1,17 juta jiwa (13,84 persen), usia 30-34 tahun 608,41 ribu jiwa (7,22 persen), dan usia 60 tahun ke atas 485,54 ribu jiwa (5,76 persen).
Ada juga penganggur dari kelompok usia 35-39 tahun 439,94 ribu jiwa (5,22 persen), usia 40-44 tahun 395,17 ribu jiwa (4,69 persen), usia 45-49 tahun 355,84 ribu jiwa (94,22 persen), usia 50-54 tahun 324,18 ribu jiwa (3,85 persen), dan usia 55-59 tahun 254,17 ribu jiwa (3,02 persen).
"Sehingga menjadi masalah ini beban anggaran perlinsos di kota-kota besar dan akan menambah angka kriminalitas dan angka kemiskinan juga," kata Bhima.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Sarman Simanjorang tak menampik bahwa setiap habis momentum Idulfitri banyak orang daerah justru berbondong ke Jakarta mengadu nasib. Kondisi ini bahkan sudah menjadi tradisi setiap tahun.
"Setiap momentum libur Idulfitri di mana orang kota banyak mudik ke daerah biasanya budayanya akan ada saudara-saudaranya yang akan ikut ke kota untuk mengadu nasib mencari pekerjaan. Dari dulu memang ini sudah tradisi," kata Sarman saat dihubungi Tirto.
Sarman mengatakan banyaknya urbanisasi dari daerah ke kota ini juga didasari karena kondisi selepas pandemi COVID-19. Di mana banyak masyarakat terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selama pandemi cukup banyak, sehingga jumlah pencari kerja dan pengangguran baik di daerah dan kota masih tinggi.
"Tentu orang orang daerah yang menjadi tujuan utamanya adalah ke kota untuk mencari pekerjaan baru dalam hal ini. Ini memang hal wajar-wajar saja menurut hemat kami," jelasnya.
Punya Daya Jual
Walaupun demikian, Sarman berharap orang daerah yang ingin mengadu nasib di kota seyogyanya memang harus memiliki pengalaman dan keahlian khusus atau skill. Sehingga ketika mereka melamar pekerjaan di kota sudah punya dasar dan nilai sendiri agar lebih mudah mendapatkan pekerjaan.
"Kalau cuma punya modal pas-pasan dan pendidikan juga mungkin SMA misalnya dan tidak memiliki keahlian, saya rasa ini perlu dipertimbangkan. Karena persaingan di kota juga cukup besar dan kita tahu yang cari pekerjaan cukup banyak sehingga diperlukan keahlian khusus ketika datang ke Jakarta atau kota," jelas dia.
Kemudian yang tak kalah penting, kata Sarman, adalah pastikan ketika datang ke Jakarta sudah memiliki tempat tinggal atau saudara yang dituju. Karena ini hal paling dan mendasar. Jangan sampai datang ke Jakarta tidak jelas arahnya sehingga ini menjadi masalah sosial bagi pemerintah daerah.
"Jadi ini sesuatu yang harus dicermati, kita berharap para pemuda yang ingin ke Jakarta perhatikan tadi," ujarnya.
Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Ajib Hamdani menambahkan, untuk masyarakat yang ingin mengadu nasib di Jakarta, hendaknya memang sudah punya bekal keahlian yang bisa memberikan nilai tambah. Selain itu juga harus mempunyai perencanaan yang matang ke depannya.
“Jadi, ibaratnya, masyarakat yang baru datang ke Ibu Kota bisa menjadi aset yang produktif, bukan menjadi liabilities atau beban," jelas Ajib kepada Tirto.
Ancaman Pemprov DKI
Pemprov DKI Jakarta sendiri memprediksi sebanyak 36.000 sampai dengan 40.000 penduduk yang akan datang ke Jakarta. Data ini ditentukan berdasarkan tren dari tahun ke tahun. Jika dibandingkan dengan 2022, diperkirakan terjadi kenaikan sebesar 20-30 persen.
“Pada tahun ini relatif lebih besar dari tahun sebelumnya, karena kondisi perekonomian nasional yang mulai membaik terlebih pandemik perlahan menuju endemik," ujar Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Budi Awaluddin kepada Tirto.
Banyaknya pendatang baru tersebut membuat Pemprov DKI mengambil langkah tegas untuk memitigasi. Ia mengancam tidak akan menerbitkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) jika pemudik pendatang baru ke Jakarta tak memiliki tempat tinggal.
“Jika tidak memiliki tempat tinggal atau jaminan tempat tinggal, maka kami tidak akan terbitkan kependudukan warga DKI," kata dia kepada Tirto.
Namun, ia mengatakan terkadang ada pula yang datang hanya berkunjung ke sanak keluarga karena liburan atau ada kepentingan lain. “Tentunya bisa lapor di kelurahan agar terbit penduduk non-permanen," ucapnya.
Dia menuturkan, Pemprov DKI tidak melakukan operasi yustisi terhadap pendatang baru pasca Hari Raya Idulfitri 1444 Hijriah/2023 M. Meski tak melakukan operasi yustisi, ia mengatakan Pemprov DKI telah melakukan upaya antisipasi kepada para pendatang.
Dinas Dukcapil DKI telah melakukan sosialisasi secara masif melalui berbagai kanal media terkait imbauan kepada calon para pendatang bahwa jika tidak memiliki jaminan tempat tinggal dan pekerjaan sebaiknya tidak datang ke Jakarta.
Selain itu, pihaknya juga bekerja sama dengan mengundang RT/ RW beserta jajaran tingkat kota yang di hadiri oleh wali kota, camat, hingga kelurahan serta melalui Dinas PPAPP dengan melibatkan Dasawisma dalam program ini yang nantinya secara paralel akan memberikan informasi kepada para pendatang.
“Mereka diimbau untuk segera lapor keberadaannya pada loket Dukcapil kelurahan yang selanjutnya memberikan hasil laporan tersebut kepada ketua lingkungan yang dalam hal ini adalah RT/RW," ujarnya.
Mitigasi Urbanisasi
Untuk mencegah terjadinya urbanisasi perlu adanya mitigasi. Salah satunya menurut Bhima Yudhistira yakni pembangunan di desa atau daerah harus lebih masif. Terutama yang bisa memunculkan sumber-sumber ekonomi baru.
“Kalau desa itu potensi wisatanya sebenarnya ada dan pada waktu mudik kemarin cukup ramai," katanya.
Tinggal bagaiamana, lanjut Bhima, tugas dari pemerintah daerah yakni memfasilitasi dan membawa investasi yang lebih besar lagi. Semisal di sektor perhotelan, restoran, pariwisata, infrastruktur pendukung, dibangun secara masif.
"Itu salah satu cara efektif menurunkan angka urbanisasi. Jadi pertumbuhan ekonomi dipedesaan harus lebih tinggi dibandingkan di kota besar," imbuhnya.
Selain itu, pemerintah daerah juga bisa memfasilitasi pelatihan-pelatihan kerja termasuk untuk mendorong rasio wirausaha. Menurutnya ini perlu lantaran rasio wirausaha di Indonesia kecil sekali baru kisaran 3-4 persen dari total penduduk.
“Rasio kewirausahaan ini harus didukung di desa dengan program pendampingan pembiayaan UMKM, sehingga banyak nih yang buka wirausaha di desa tanpa menggantungkan mata pencarian di kota kota besar," jelasnya.
Selanjutnya, kata Bhima, bagi mereka yang terlanjur untuk menjadi kaum urban di kota besar harus ada edukasi bahwa tinggal di kota besar itu bisa buat stres full, polusi udara tinggi, dan biaya hidup yang mahal.
“Meski secara gaji besar tapi biaya hidup tinggi itu juga bisa pengaruhi dari gaya hidup. Sama aja lebih bagus buka lapangan kerja di pedesaan," tuturnya.
Terakhir, tak kalah penting adalah peran serta tokoh masyarakat setempat desa untuk edukasi kepada para pencari kerja. “Bahwa tidak seindah itu bekerja di kota-kota besar ada banyak risiko juga dan belum tentu hasil di dapatkan setara dengan potensi yang bisa berkembang di desa," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz