tirto.id - Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) akan segera membuat tim satuan tugas (Satgas) untuk mengusut dugaan TPPU mencapai Rp349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan. Aliran dana tersebut merupakan hasil rekapitulasi sejak periode 2009 sampai 2023.
Tim Satgas akan melibatkan beberapa stakeholders. Di antaranya: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Bareskrim Polri, Pidsus Kejagung, Bidang Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Kemenko Polhukam.
Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan TPPU, Mahfud MD mengatakan, keputusan pembentukan satgas sudah didukung Komisi III DPR pada rapat dengar pendapat umum dengan Komite TPPU pada Senin, 11 April 2023. Rapat itu dihadiri juga Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dan Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana.
Mahfud menjelaskan, satgas ini nantinya menelusuri transaksi janggal senilai Rp349 triliun di Kemenkeu. Satgas bergerak mulai dari menangani seluruh laporan hasil analisis (LHA) dan atau laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang dikirimkan PPATK.
“Komite TPPU akan segera membentuk satgas yang nanti tugasnya melakukan supervisi penanganan dan penyelesaian seluruh LHA dan LHP yang berisi laporan transaksi keuangan mencurigakan,” ujar Mahfud lewat keterangan persnya di YouTube Kemenko Polhukam, Kamis (13/4/2023).
Mahfud mengatakan, dalam setiap surat yang dikirim oleh PPATK pasti terlampir LHA dan LHP. Oleh sebab itu, tidak bisa dikatakan misalnya dari PPATK hanya ada suratnya, tetapi tidak ada LHA atau LHP-nya.
“Jadi LHA atau LHP itu selalu ikut dengan suratnya,” kata Mahfud.
Satgas TPPU juga akan memprioritaskan meneliti LHP senilai Rp189 triliun, untuk memastikan apakah proses hukum pelaku tersebut berhubungan dengan LHP yang telah dikirimkan atau LHP lainnya.
“Satgas nantinya akan mendalami hal-hal yang dilaporkan bahwa masalahnya sudah ditindaklanjuti," ujar Mahfud yang juga sebagai Menkopolhukam itu.
Sementara terhadap LHP senilai Rp189 triliun, Mahfud mengatakan, telah dijelaskan oleh Sri Mulyani dan telah dilakukan proses hukum.
“Pelaku perseorangan sampai putusan di tingkat peninjauan kembali, di mana dinyatakan lepas dari tuntutan hukum. Sementara pelaku koorporasi dinyatakan bersalah dan sudah inkrah,” jelasnya.
Dukungan Komisi III DPR
Pembentukan Satgas TPPU telah mendapat lampu hijau dari DPR RI. Anggota Komisi III, Arsul Sani menyatakan, langkah pembentukan satgasus tersebut merupakan sesuatu yang baik untuk menindaklanjuti temuan Rp349 triliun.
“Kami di Komisi III akan memberikan dukungan yang diperlukan dalam konteks tugas dan fungsi DPR untuk menindaklanjuti soal ini, dan untuk itulah tentu penjelasan yang lebih mendalam diperlukan di forum rapat Komisi III," ujar Arsul dalam pernyataanya.
Arsul menegaskan, bagi Komisi III DPR sebagai komisi hukum, koordinasi dan tindak lanjut atas persoalan transaksi keuangan mencurigakan Rp349 triliun menjadi poin penting. Apalagi, kata dia, transaksi mencurigakan diduga terdapat tindak pidana asal (TPA) dan TPPU-nya.
"Tidak sekadar menjadi gimmick pemberantasan korupsi dari rumpun kekuasaan eksekutif atau malah menjadi alat untuk kepentingan dan posisi politik dalam rangka Pilpres 2024,” kata Arsul.
Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto dalam Rapat Kerja Komisi III juga turut mendukung Komite TPPU segera membentuk satgas yang melakukan supervisi untuk menindaklanjuti keseluruhan LHA/LHP dengan nilai keseluruhan sebesar Rp349 triliun. Dia juga meminta satgas bersama kepala PPATK melaporkan setiap progresnya dalam setiap periodisasi rapat Komisi III DPR.
“LHA berapa, LHP berapa, yang sekadar informasi berapa, itu kita list, dan itu tugasnya satgas yang menyelesaikan. Jadi, saya kira Komisi III mendukung penuh poin enam, untuk dibuatkan satgas dan setiap periodisasi rapat, selama lima kali ini, kita minta satgas bersama Kepala PPATK melaporkan progresnya,” kata pria yang akrab disapa Bambang Pacul.
Poin yang dimaksud Bambang ialah tujuh poin hasil rekonsiliasi pemerintah, di mana beberapa di antaranya adalah Komite TPPU akan segera membentuk Tim Gabungan/Satgas yang melakukan supervisi untuk menindaklanjuti keseluruhan LHA/LHP dengan nilai agregat sebesar Rp349 triliun.
Lalu, Komisi III mendorong dilakukannya case building (membangun kasus dari awal) dengan memprioritaskan LHP yang bernilai paling besar karena telah menjadi perhatian masyarakat. Ini bisa dimulai dengan LHP nilai agregat Rp189.273.872.395.172.
Kemudian, tim gabungan satgas akan melibatkan PPATK, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, Bareskrim Polri, Pidsus Kejagung, Bidang Pengawasan OJK, BIN, dan Kemenko Polhukam.
Perlunya Independensi Satgas
Dari banyaknya dukungan tersebut, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman justru tidak sepakat dengan pembentukan satgas untuk menelusuri transaksi mencurigakan Rp349 triliun yang terjadi di Kementerian Keuangan. Sebab, satgas diisi dengan orang-orang bermasalah yang terdiri dari pegawai dari Bea Cukai dan Ditjen Pajak.
"Satgas ketika saya baca, anggotanya itu-itu juga. Sumber masalah ini, kan, ada di kepabeanan, perpajakan, kok mereka lagi jadi anggotanya. Saya nggak habis pikir," ujar Benny.
Politikus Partai Demokrat itu lantas mempertanyakan keseriusan Mahfud MD dan Sri Mulyani Indrawati dalam menelusuri transaksi mencurigakan tersebut.
“Serius nggak Pak Mahfud, sungguh-sungguh enggak Ibu Menkeu? Kalau bisa satgas independen saja. Saya alergi dengan satgas, banyak satgas ujung-ujungnya masuk laut semua," tanya Benny.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menyatakan, memang sebaiknya satgas itu diisi oleh orang-orang luar dari pemerintahan. Ini perlu dilakukan agar tujuan daripada satgas dalam menelusuri transaksi mencurigakan dapat berjalan secara transparan tanpa intervensi.
“Akan lebih baik begitu agar benar-benar independen. Bisa dari akademisi dan praktisi keuangan," kata Piter saat dihubungi reporter Tirto.
Kendati demikan, Piter melihat rencana pembentukan satgas oleh Mahfud MD sudah tepat karena memiliki kewenangan sebagai Ketua Komite TPPU. Satgas ini penting karena dana yang dicurigai sebesar Rp349 triliun itu sudah memunculkan berbagai tanggapan masyarakat.
“Oleh karena itu untuk memberikan kejelasan, tidak memunculkan berbagai dugaan atau tudingan yang merusak nama baik pemerintah, perlu dilakukan penelusuran atas dana-dana tersebut dan kemudian bisa dilaporkan kepada publik. Untuk ini diperlukan satgas yang independen," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira juga mendukung agar satgas dibentuk dengan melibatkan aparat penegak hukum dan tim independen. Sehingga bisa cepat mengungkap transaksi janggal sekaligus menghindari konflik kepentingan dalam proses penyidikan.
"Satgas harus diberi target misalnya akhir Mei sudah ada tersangka yang dituntut ke pengadilan atau berkas tuntutan lengkap," katanya dihubungi terpisah.
Peran Kemenkeu, lanjut Bhima, hanya bersifat koordinasi dengan satgas bukan bagian dari satgas. Karena khawatir ada upaya menghalang-halangi penyidikan karena melibatkan kasus di internal Kemenkeu.
“Hasil satgas harus dilaporkan ke pansus DPR sehingga publik bisa mendapat transparansi penyelesaian kasus TPPU Kemenkeu," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz