Menuju konten utama
Anas Urbaningrum Keluar Lapas

Ketika Eks Napi Korupsi Disambut & Mengelukannya Bak Pahlawan

Wawan sebut ini merupakan tantangan bagi pendidikan antikorupsi yang berarti belum sepenuhnya berhasil.

Ketika Eks Napi Korupsi Disambut & Mengelukannya Bak Pahlawan
Header Anas Urbaningrum Bebas. tirto.id/Ecun

tirto.id - Anas Urbaningrum, eks Ketua Umum Partai Demokrat resmi menghirup udara bebas setelah menjalani hukuman kasus korupsi di Lapas Sukamiskin, Selasa (11/4/2023). Kebebasan Anas berbeda lantaran dia dijemput oleh ratusan orang dengan baju putih-putih.

Pria kelahiran 15 Juli 1969 tersebut juga disambut sejumlah politikus nasional, seperti Anggota DPR dari Fraksi Nasdem, Saan Mustopa hingga Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), I Gede Pasek Suardika.

Usai keluar dari Lapas Sukamiskin, Anas mengatakan, “Andai dalam perjuangan itu ada yang merasa termusuhi, itu konsekuensi perjalanan keadilan, sikap saya sikap persahabatan,” kata Anas saat keluar dari Lapas Sukamiskin, Bandung.

Dalam tradisi aktivis, kata Anas, kompetisi merupakan hal yang biasa terjadi. Namun, para aktivis hanya ingin berkompetisi dalam ajang yang jujur, objektif, dan terbuka.

“Pertandingan jujur tidak boleh pakai teknik nabok nyilih [memukul pinjam] tangan," kata Anas.

Kepala Lapas Sukamiskin, Kunrat Kasmiri mengatakan, Anas Urbaningrum masih berstatus cuti menjelang bebas atau belum bebas murni. Menurut dia, total hukuman bagi Anas adalah sekitar 8 tahun dan denda Rp500 juta.

Akan tetapi, denda tersebut tidak dibayar oleh Anas sehingga ada hukuman subsider yang perlu dijalani. “Pak Anas masih perlu lapor ke Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung. Mulai dari sekarang sampai 3 bulan ke depan (harus wajib lapor)," kata Kunrat.

Anas Urbaningrum Bebas dari Lapas Sukamiskin

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum usai bebas dari Lapas Sukamiskin, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (11/4/2023). (FOTO/Muhammad Dikdik R Aripianto)

Mengapa Masih Banyak yang Mengelukan?

Analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo tidak memungkiri ada masyarakat yang tetap mendukung seorang tokoh seperti Anas meski ia terjerat kasus korupsi. Hal ini tercermin dengan kehadiran kelompok Sahabat Anas.

Kunto mengatakan, masyarakat yang fanatik tidak peduli dengan status orang yang didukung meski mereka pernah bersalah.

“Kalau pendukung yang sudah sangat loyalitas membabi buta, sudah buta beneran, kasus korupsi itu hanya dimaknai sebagai jebakan lawan politik bahwa sebenarnya si tokoh yang melakukan korupsi tidak bersalah dan karena ada pihak-pihak yang menjebak si tokoh ini harus dihukum," kata Kunto.

Kunto menilai, persepsi pemilih yang berujung pada dukungan kadangkala menjadi irasional. Ia menilai, seorang tokoh yang merupakan eks napi korupsi bisa saja tetap didukung. Salah satu contohnya adalah eks koruptor bisa membuat narasi bahwa dia menjad korban politik.

“Menurut saya eks napi korupsi seperti ini maish tetap dipercaya karena ketika si eks napi ini bisa memberi isu yang sangat bagus, dia bisa spin doctor kondisinya, maka orang tetap percaya sama dia," kata Kunto.

Selain itu, Kunto melihat ada sejumlah faktor dalam kasus Anas Urbaningrum, sehingga dia tetap bertahan dari segi politik. Pertama adalah soal modal finansial.

Ia beralasan, modal politik saat ini adalah masalah finansial, sementara eks napi korupsi kerap tidak dimiskinkan ketika terbukti bersalah atau saat tertangkap. Ia tidak memungkiri ada kemungkinan pengerahan massa berdasarkan faktor finansial.

“Jadi kalau ada Sahabat Anas, sangat mungkin itu ada modal finansial yang besar, lalu wajar kenapa ini muncul dalam politik? Ya menurut saya tadi ada peluang modal finansial yang besar untuk kemudian dikonversi dengan cepat untuk menjadi modal politik. Kalau nggak ada peluang itu, ya susah kan gitu. Jadi menurut saya salah satu katalisatornya itu," kata Kunto.

Kedua, publik memperhatikan Anas karena menantikan sepak terjang eks Ketua Umum Partai Demokrat itu untuk terbuka ke publik. Ia menilai, publik akan meninggalkan Anas jika kejutan politik yang digaungkan tidak berhasil atau tidak jadi blak-blakan.

“Kalau soal mendapatkan perhatian publik, ya publik menunggu misalnya soal dia jadi whistleblower gak, buka-bukaannya seberapa terbuka dan apakah memang ada sesuatu yang mengejutkan statemennya? Itu ditunggu, tetapi begitu sekali keluar dan kejutan itu nggak ada, tentu publik perhatiannya akan semakin turun,” kata Kunto.

Anas Urbaningrum Bebas dari Lapas Sukamiskin

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum usai bebas dari Lapas Sukamiskin, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (11/4/2023). (FOTO/Muhammad Dikdik R Aripianto)

Tantangan bagi Pendidikan Antikorupsi

Wakil Koordinator Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko menilai, fenomena masyarakat yang mengelukan eks napi korupsi, seperti Anas banyak. Hal ini menjadi tantangan dalam pemberantasan korupsi, khususnya terkait pendidikan anti rasuah.

“Fenomena masyarakat yang masih mengelu-elukan koruptor ini bukan hanya terjadi pada AU saja. Sejumlah eks napi korupsi di daerah juga sama banyaknya, masih ada saja segelintir masyarakat yang menyambutnya bak pahlawan. Ini merupakan tantangan bagi pendidikan antikorupsi kita yang berarti belum sepenuhnya berhasil,” kata Wawan kepada reporter Tirto, Selasa (11/4/2023).

Ia mengatakan, sikap masyarakat yang seperti di atas, menandakan korupsi masih belum dianggap sebagai musuh bersama dan membahayakan, sehingga fenomena masyarakat yang menyambut eks napi korupsi bak pahlawan masih acapkali terjadi.

Wawan juga menilai, sanksi sosial masih belum dikenal di hukum positif Indonesia. Dengan demikian, eks napi korupsi masih merasa percaya diri dan didukung oleh sebagian kelompok masyarakat.

Menurut Wawan, penerapan sanksi sosial seperti beban biaya korupsi bisa menekan eks napi koruptor untuk kembali beraktivitas politik.

“Jika ada model sanksi sosial dengan menerapkan hukuman tambahan berupa pembebanan biaya sosial korupsi, maka ini diharapkan bisa memberikan efek pada masyarakat untuk tahu betapa kerugian akibat korupsi sangat mengerikan," kata Wawan.

Wawan mengatakan, eks napi korupsi yang menduduki posisi atau jabatan politik kembali sebagai pertanda bahwa hukuman bagi terpidana belum efektif. Ia mencontohkan, hukuman badan dan hukuman denda pengembalian uang negara yang belum memenuhi rasa keadilan masyarakat.

"Ditambah lagi belum semua terpidana korupsi dikenakan hukuman tambahan berupa moratorium atau larangan untuk berkontestasi kembali di ajang politik," kata Wawan.

Wawan juga beranggapan masalah lain yang membuat eks napi korupsi bisa kembali menduduki jabatan strategis, karena tidak terjadinya pemiskinan terhadap pelaku korupsi menyebabkan mereka masih terbuka untuk maju kembali berkontestasi.

“Kita tahu mahalnya biaya politik, tetapi karena mereka tidak dimiskinkan, ya mereka tetap saja bisa membeli suara lewat politik uang/money politic," kata Wawan.

Wawan mengatakan, kondisi seperti kasus Anas harusnya tidak boleh terjadi. Ia meyakini seorang yang sudah divonis sebagai pelaku kejahatan korupsi mestinya tidak ada ruang lagi untuk berkompetisi di ajang politik.

Cara mencegah kejadian seperti Anas, kata dia, adalah penegakan hukum yang konsisten dan progresif. Dalam UU Tipikor dan Perma Pemidanaan Korupsi sudah diatur, sehingga ditaati saja dua pedoman ini.

“Sementara itu di level kontestasi elektoral, sejumlah aturan yang melarang eks napi korupsi untuk berkontestasi kembali perlu diperbaiki sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi,” kata Wawan.

Baca juga artikel terkait NAPI KORUPSI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz