tirto.id - “Tahun ini masih puasa dan lebaran di sini, belum bisa bareng keluarga di rumah,” ucap perempuan berinisial AG mengawali curhat saat saya temui di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Semarang, Selasa (4/4/2023).
Sejak divonis bersalah karena terlibat kasus peredaran pil koplo, AG terpaksa harus menghabiskan hari-harinya di balik penjara. Kini ia sudah menjalani lebih dari sepertiga masa hukuman, sehingga sudah serba-biasa, termasuk soal berpuasa.
Menjalani aktivitas Ramadan di balik jeruji, kata dia, tak semenakutkan yang mungkin dibayangkan orang lain. Kegiatannya tidak jauh berbeda dibandingkan dengan tradisi saat puasa pada umumnya.
Perempuan berusia 27 tahun itu bercerita, setiap pukul 02.00 dini hari, makanan untuk sahur akan diantar ke masing-masing blok kamar hunian narapidana. Enak kalau sekamar ada beberapa orang yang beragama Islam, jadi bisa sahur ramai-ramai.
Selain sahur, ada kegiatan kajian jelang berbuka puasa, malamnya salat tarawih berjemaah, kultum, hingga tadarus Al-Qur'an yang dilangsungkan setiap hari di Musala Lapas. Pengisi kajian dan imam tarawih biasanya didatangkan dari luar.
Awal Ramadan lalu, narapidana atau warga binaan pemasyarakatan Lapas Perempuan Semarang menggelar fashion show untuk memeriahkan datangnya bulan suci. Peragaan busana muslimah di atas catwalk cukup menghibur penghuni Lapas.
Sesama warga binaan, perempuan berinisial YI merasakan sebegitu semarak Ramadan di Lapas Perempuan Semarang atau lebih dikenal dengan julukan Lapas Bulu.
Perempuan paruh baya yang dikurung sejak 2019 ini mengaku sudah terbiasa berpuasa di penjara. "Puasa ya biasa saja, nggak kerasa berat, alhamdulillah selain Ramadan sudah terbiasa puasa," tuturnya.
Usir Kebosanan dengan Beraktivitas
Masing-masing warga binaan memiliki cara tersendiri untuk mengusir kebosanan. Ada yang memilih berdiam diri di kamar hunian, ada yang sibuk membaca buku, ada pula yang duduk-duduk di gazebo sambil bertukar cerita dengan rekannya.
Pada siang hari, banyak di antara mereka yang memanfaatkan layanan kunjungan online untuk menghubungi sanak saudara di rumah. Selain itu, ada yang beraktivitas mengikuti program pembinaan kemandirian di bengkel kerja Lapas Perempuan Semarang.
AG termasuk yang sibuk berkegiatan di bengkel kerja. Selama ini ia bersama belasan warga binaan lainnya aktif di bagian garmen: menjahit bahan pakaian pesanan perusahaan yang bekerja sama dengan Lapas.
"Kalau ikut bengkel kerja, nggak bosen. Nggak kerasa, tahu-tahu udah sore, waktunya buka puasa," tutur AG sembari menyambung bahan potongan jaket menggunakan mesin jahit yang ada di depannya.
YI juga sama, mengisi waktu luang saat Ramadan di bengkel kerja. Hanya saja ia bertugas di bagian sablon. Dia bersyukur bisa menyalurkan hobi desainnya di Lapas untuk kegiatan menyablon dengan teknik direct transfer film (DTF) printing.
“Aku di sini bagian editing desain. Passion-ku sebenarnya akuntansi, cuma dari dulu hobi edit foto," kata perempuan yang dulunya --sebelum tersandung kasus-- bekerja sebagai accounting perusahaan.
Selama ini bengkel kerja Lapas Perempuan Semarang membina kemandirian narapidana dan memfasilitasi peralatan yang dibutuhkan. Ada yang fokus pada bidang jahit, garmen, membatik, sulam pita, salon, tata boga, pembuatan tahu-tempe, pembuatan gendar, hingga barista.
Tidak semua warga binaan mengikuti bengkel kerja, hanya yang berminat dan lolos assessment saja. "Dari 259 warga binaan, sekitar 140 orang di antaranya ikut bengkel kerja," jelas Kepala Seksi Bimbingan Kerja Lapas Perempuan Semarang, Rini Sulistyowati kepada kontributor Tirto.
Bimbingan kerja di Lapas ini bahkan sudah dinyatakan lolos verifikasi menjadi Lembaga Pelatihan Kerja (LPK). Pada 14 Maret 2023, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI meresmikan LPK Pramesti Maheswari di Lapas tersebut.
Setelah menjadi LPK, nantinya Lapas Perempuan Semarang bisa menerbitkan sertifikat keahlian untuk program pelatihan kerja yang diselenggarakan. Sehingga, ketika bebas, warga binaan mudah mendapatkan kerjaan.
Ikut Kegiatan sambil Cari Cuan
Kegiatan di bengkel kerja Lapas tidak hanya pelatihan, melainkan praktik bekerja secara langsung. Warga binaan bahkan diberi imbalan berupa premi yang diperhitungkan dari hasil produksi dikurangi biasa operasional.
Lapas Perempuan Semarang sudah banyak menggandeng pihak ketiga. Petugas Lapas, Rini mencontohkan kerja sama dengan CV Nuel Superjaya yang mempercayakan garapan tas kepada narapidana yang mengikuti bimbingan kerja menjahit di Lapas.
Biasanya barang masuk dalam bentuk lembaran kain beragam warna yang sudah disablon. Setelah itu, warga binaan akan melakukan cutting atau pemotongan kain, pengukuran, pembentukan pola, dan penjahitan.
Pada momen-momen tertentu seperti Ramadan, orderan mengalami peningkatan. Berdasarkan data, dalam tiga bulan terakhir warga binaan telah mengerjakan orderan kurang lebih 7.000 tas. Jelang lebaran juga ada pesanan ribuan tas bertuliskan “Selamat Hari Raya Idul Fitri.”
Orderan tas tersebut dikerjakan sekitar 20 orang. Dalam sehari, dengan jam kerja pukul 08.00--15.00, seorang warga binaan bisa menjahit 20--25 tas jinjing berbahan spunbond. Pihak perusahaan memberi upah jasa menjahit senilai Rp500 per tas.
"Semakin produktif, maka premi yang didapat akan semakin banyak. Premi bisa ditabung atau diambil setiap bulan, terserah yang punya," jelas Rini.
Seorang warga binaan berkebangsaan Filipina berinisial CR patut menjadi panutan. Dia yang mulanya tidak mempunyai keahlian apa pun, kini bisa mahir menjahit. Berkat kerja kerasnya, CR berhasil memperoleh premi bulanan yang terbilang banyak.
"Pas banyak orderan, pernah sebulan dapat (premi) Rp1 juta," cerita dia.
Narapidana kasus narkotika yang sudah menjalani 12 tahun masa hukuman di Lapas Perempuan Semarang itu tidak banyak pilihan. Daripada meratapi nasib, CR memilih terlibat aktif di bengkel kerja agar bisa mendapatkan cuan.
Ingin Bersua dengan Keluarga
CR mengakui penjara di Indonesia tidak membuat penghuninya menderita. Negara memberinya makan, fasilitas, hingga pelayanan yang sangat baik. Satu-satunya yang tak bisa ia dapatkan adalah keinginan untuk keluar dari penjara.
Perempuan yang kini berusia 24 tahun itu dinyatakan bersalah atas kepemilikan satu kilogram heroin di dalam kopernya saat sedang berlibur ke Nusantara. Meski divonis hukuman mati, tetapi sampai sekarang ia tidak mengaku bersalah.
"Saya hanya korban, dulu dititipi koper, tidak tahu apa isinya. Sekarang saya masih menunggu, semoga dapat pengurangan hukuman," harap CR yang sudah fasih berbahasa Indonesia.
Dia tidak ingin tua di kurungan, apalagi mati di negeri orang.
Narapidana kasus tindak pidana korupsi berinisial YI juga mengungkap keinginannya untuk menghirup udara bebas meski putusan majelis hakim kadasi menguhukumnya 10 tahun penjara.
Warga kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah itu meninggalkan suami dan kedua anaknya yang masih belia. Anak sulungnya berusia 10 tahun, sementara yang bontot baru berumur 4,5 tahun. Untuk melepas rindu biasanya ia memanfaatkan kunjungan online.
Tiga tahun terakhir ia menjalani puasa dan Hari Raya Idulfitri tanpa didampingi orang terkasih. Seenak-enaknya penjara tetap tidak seenak hidup di rumah sendiri. Ia ingin segera bebas, pulang, dan kembali bersua dengan keluarga.
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Abdul Aziz