tirto.id - Pasar Baru Bandung ikut menyemarakkan Ramadan dari tahun ke tahun di wilayah Priangan. Salah satunya dengan tradisi belanja sandang keperluan lebaran: baju, sarung, kerudung, sajadah, dan aneka busana muslim lainnya.
Lilis Suryani adalah salah seorang warga yang hampir tiap Ramadan mengaku biasa belanja di Pasar Baru. Perempuan 50 tahunan itu berangkat dari daerah Kecamatan Rongga, ujung Kabupaten Bandung Barat, berjarak sekitar 57 kilometer atau dua jam waktu tempuh. Ia mengaku biasa membeli pakaian baru untuk anak dalam menyambut lebaran.
Selain karena harga yang terbilang murah dan banyak pilihan, Lilis sebenarnya tak tahu alasan apa lagi yang membuatnya rela jauh-jauh, melewati entah berapa banyak pasar atau deretan toko baju di sepanjang perjalanannya, demi belanja di Pasar Baru.
“Udah biasa aja rasanya belanja pas puasa di sini,” cerita Lilis kepada kontributor Tirto di Bandung, Jawa Barat, Rabu, 5 April 2023.
Di samping Lilis, ada pula rombongan keluarga Agus dari Banjaran, Kabupaten Bandung. Saat ditemui, Agus tengah kerepotan menjinjing banyak kresek barang belian, sekaligus harus menuntun seorang anak kecil.
Ia datang ke Pasar Baru bersama istri, anak, mertua, dan beberapa keponakannya. Jumlah rombongan mereka belasan orang. Agus mengaku baru pertama kali belanja baju lebaran dan kebutuhan Ramadan di Pasar Baru. Sedari pagi mereka berangkat dari rumah, menyewa sebuah mobil angkot.
“Saya mudik cepat minggu ini, sengaja belanja ke sini bersama keluarga,” kata pria yang kini jadi buruh pemasangan instalasi listrik di Kalimantan.
Pengakuan Agus, selain harga di Pasar Baru yang relatif murah, hal lain yang juga membuatnya memilih belanja di sana adalah riwayat Pasar Baru yang ia ketahui sudah lama, tersiar sebagai pusat belanja yang menyediakan banyak pilihan.
“Dari kecil sebetulnya sudah tahu Pasar Baru, dari cerita orang tua. Tapi memang baru sekarang saja baru kesampaian belanja di sini. Alhamdulillah,” kata Agus.
Ilham Natsir (26) perantau asal Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, termasuk warga luar Bandung yang ikut menegaskan kelekatan antara Pasar Baru dan tradisi Ramadan. Hampir setiap mudik, dia mengaku kerap membingkis busana lebaran dari pasar yang berada di Jalan Otto Iskandardinata itu untuk sanak keluarga di tanah kelahiran.
Ilham mukim di Bandung sejak memulai studinya di salah satu perguruan tinggi pada 2014. Usai lulus, dia lanjut kerja mengadu nasib di kota tersebut. Semasa awal di Bandung, Ilham ingat, kakak seniornya di kampus, yang juga perantauan, pernah ikut menyarankan agar belanja di Pasar Baru.
“Saya membeli kerudung dan daster di Pasar Baru sebagai oleh-oleh mudik untuk keluarga. Orang tua, nenek, atau bibi, dapat kerudung dan daster. Sepupu perempuan saya biasanya dapat kerudung saja, tanpa daster. Harganya murah kalau dibanding di sana," aku Ilham.
Nama Pasar Baru, kata dia, tersiar dan cukup tenar di kalangan ibu-ibu Mamuju di tempat tinggalnya. Sewaktu ibunya berkunjung ke Bandung, Ilham bercerita, "ia pernah minta diantar ke Pasar Baru. Teman-teman ibu saya juga kalau ke Bandung biasa ke Pasar Baru. Di Mamaju, sebagian ibu-ibu buka usaha di rumah, jualan gamis, gaun, kerudung, atau mukena dari Pasar Baru.”
Keluarga Ilham diakui sangat lekat dengan tradisi baju baru kala lebaran. Bukan semata agul-agulan, melainkan didorong rasa keagamaan.
“Kata Ibu, ketika kita menyambut Hari Kemenangan itu berpakaianlah sebagus, selayak dan seindah mungkin, sebisanya.” “Dan bagi saya, ya, ada kenangan itu memang. Pasar Baru termasuk tempat yang identik dengan bulan Ramadan,” kata dia.
Kelekatan klasik antara Pasar Baru dan Ramadan juga tersimpan di ruang nostalgia Haryoto Kunto dalam bukunya Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe) yang kali pertama diterbitkan pada 1996 oleh PT Granesia, percetakan Harian Umum Pikiran Rakyat.
Haryoto yang lahir tahun 40-an itu berkisah, semasa kecil menjelang Ramadan di Kota Kembang ini ia lazim diajak orang tuanya melawat Pasar Baru, sekadar jalan-jalan dan jajan-jajan aneka macam kudapan. Plus yang terpenting diimingi suatu janji. Jika si kecil Haryoto itu sanggup menunaikan puasa, dia dijanjikan hadiah oleh orang tuanya dari mulai alat belajar, sepatu, tas, hingga baju anyar.
“Bila anak-anak tamat puasa 10 hari pertama" kata Haryoto Kunto, "dapat insentif dibelikan tas sekolah beserta alat tulis lengkap. Tamat puasa 10 hari berikutnya dapat bonus sepatu baru. Dan ganjaran puasa 10 hari terakhir berupa satu stel baju baru. Jadi kalau di hari lebaran di rumah ada anak yang mengenakan pakaian bubututan (jelek), jelas dia tidak tamat puasanya.”
Pengalaman yang disampaikan Haryoto bukan sesuatu yang membeku. Sejumlah warga saat ini nyatanya masih juga mengulang kebiasaan, atau janji semacam janji orang tua Haryoto. Dan, dalam menunaikan janjinya itu mereka masih juga melibatkan Pasar Baru yang sama. Keberadaan Pasar Baru turut menyisip ke ruang-ruang intim warga kota di tikungan zamannya masing-masing.
Yang Merentang dari Ramadan ke Ramadan
Luas total Pasar Baru Trade Center tercatat mencapai 10,4 hektare. Bangunannya 12 lantai, basement 1 dan 2 digunakan untuk pasar tradisional, sementara lantai dasar 1-10 ditempati ruang-ruang dagang yang terhitung mencapai 4.200 ruang dagang.
Menurut catatan pengelola pasar, mayoritas adalah pedagang pakaian atau industri mode dari mulai kategori pakaian anak hingga dewasa, termasuk busana muslim. Di samping itu, ada pula para pedagang sepatu, tas, kain, kain batik, kulit, pernak-pernik nikahan, sampai oleh-oleh haji.
Belum lagi, para pedagang kaki lima yang juga turut menjajakan ragam jualannya di area luar bangunan, dari mulai pedagang buah, kudapan ringan dan makanan berat, hingga pedagang aksesoris.
Para pedagang di Pasar Baru berasal dari beragam etnis. Tak hanya Sunda, ada juga warga keturunan China, India, Arab, Minang, Jawa, dan lainnya. Mereka sama-sama mencari nafkah di pasar tersebut. Pengunjungnya pun banyak dari luar Bandung, seperti Jakarta, Bogor, Sumedang, bahkan luar pulau Jawa dan luar negeri semisal Malaysia dan Thailand.
Yang datang tidak hanya membeli secara eceran, tapi juga berkodi-kodi untuk dijual lagi. Keragaman semacam demikian memiliki riwayat yang sangat lama. Pasar Baru selalu menjadi salah satu episentrum aktivitas ekonomi di Kota Bandung.
“Pasar Baru sudah jadi landmark Kota Bandung, selain Gedung Sate atau Alun-alun Masjid Agung. Memiliki ciri khas, jadi rasanya kurang kalau datang ke Bandung tapi tidak berbelanja di Pasar Baru, apalagi di bulan Ramadan seperti ini," kata M Widi Eka Pratama, Pengelola Pasar Baru Trade Center, Divisi Ritel kepada Tirto, Kamis, 6 April 2023.
Menjelang dan memasuki bulan Ramadan, sejumlah pedagang mengaku punya persiapan khusus, paling umum adalah menambah stok barang dagangan juga sengaja memperbanyak jenis pilihannya.
“Di toko ini mah biasanya hanya menjual kerudung. Pas bulan puasa, stoknya ditambah dan lebih bermacam-macam pilihan. Bahkan menambah barang lain seperti busana muslim untuk laki-laki atau wanita," kata Rachmat, salah satu kepala toko kerudung di Pasar Baru ini.
Pasar Baru yang biasa diwarnai orang tawar-menawar itu tentu tak hanya milik masa kini. Pasar itu telah lama merentang zaman, melewati Ramadan demi Ramadan. Dalam riwayatnya, Pasar Baru mulai dibangun semi permanen pada 1906 di Jalan Pangeran Sumedang-weg, kini Jalan Otto Iskandardinata.
Kehadiran Pasar Baru tak lepas dari ludesnya Pasar Ciguriang usai dilalap api pada suatu peristiwa huru-hara Munada di 1842. Pasar Baru dibangun setelah hampir separuh abad kota ini sama sekali tak punya pasar pasca-Pasar Ciguriang.
“Pasar itu kemudian musnah terbakar sewaktu terjadi ‘Huru-hara Munada’ di pertengahan abad XIX. Sejak masa itu, Bandung tidak memiliki pasar. Hingga para pedagang pada keluyuran, menjajakan dagangannya di sekitar alun-alun, Jalan Raya Pos, Cibadak, Pangeran Sumedang-weg, Jl. ABC, Suniaraja, dan kemudian juga mangkal di sekitar stasiun kereta api setelah kereta api masuk ke Bandung pada 1884.” Sejarah itu dicatat Haryoto Kunto lewat magnum opus berjudul Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986).
Dalam laporan Tirto berjudul “Sejarah Pasar Baru Bandung: Utang, Foya-foya, dan Pembunuhan,” yang rilis 11 September 2018, sejak mula disebutkan bahwa para pedagang Pasar Baru berasal dari ragam daerah seperti Sunda, Palembang, Jawa, India, China, hingga Arab.
Jejak mereka tertoreh menjadi sejumlah nama jalan dan gang seperti Jalan Alkateri, Gang Aljabri, dan Gang Bombai, selain itu Jalan Ence Azis, H. Pahrurodji, Dulatip, H. Durasyid, H. Sarif, Tamim, dan lain-lain. Sementara itu, peminat sejarah Bandung, Ridwan Hutagalung mencatat, orang-orang Jawa dan Tionghoa yang mula-mula mengadu nasib di sekitar Pasar Baru Bandung adalah mereka yang menyelamatkan diri dari Perang Jawa (1825-1830).
Dalam perkembangannya, nama Pasar Baru Bandung sempat semerbak se-Hindia Belanda, menyandang predikat pasar terbersih dan paling teratur pada 1935. Pasar Baru kini, tampak masih belum usai menjadi salah satu primadona tempat belanja di Bandung termasuk kala Ramadan tiba.
Jibaku Pasar Baru Kala Pagebluk
Perjalanan Pasar Baru tak selalu berlangsung mulus. Para pedagang merasakan itu kala Ramadan 2020 saat pandemi COVID-19 mulai memuncak. Mereka mesti berjuang memutar roda usahanya agar tak henti digulung pagebluk. Tak hanya terancam bangkrut, tapi juga tertular penyakit bahkan kehilangan nyawa bila ngotot dagang.
Pasar dinilai menjadi lokasi yang rentan, berpotensi memperluas penyebaran virus. Secara berangsur Pasar Baru pun terimbas aneka kebijakan pembatasan dari mulai pembatasan kapasitas pengunjung 30 persen hingga pembatasan waktu operasional.
Tercatat, pada 22 April 2020, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai berlaku di wilayah Bandung Raya. Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 30/2020 tentang pedoman PSBB serta Keputusan Gubernur Nomor 443/Kep-240-Hukham/2020 tentang Pemberlakuan PSBB di Bandung Raya. Merujuk Peraturan Wali Kota Bandung Nomor 14/2020 tentang PSBB, saat itu pasar hanya boleh buka sampai pukul 12.00 WIB.
Distribusi barang juga sempat terhalang buka-tutup jalan. Dengan dalih pembatasan mobilitas guna menekan kasus COVID-19, Pemerintah Kota Bandung melakukan rekayasa lalu lintas di ruas Jalan Otista-Suniaraja semasa Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB).
Diberlakukan pada 18 September 2020, buka-tutup jalan dibagi dalam tiga sesi yakni pukul 09.00 WIB-11.00 WIB, 14.00 WIB-16.00 WIB, dan 22.00 WIB-06.00 WIB. Sistem ini setidaknya berlaku pula di Jalan Asia Afrika-Jalan Tamblong, Jalan Purnawarman-Jalan Riau, Jalan Merdeka-Jalan Riau, dan Jalan Merdeka-Jalan Aceh.
Kebijakan itu menyulut protes para pedagang. Pada 28 September 2020, pedagang menggelar aksi demontrasi di badan Jalan Otista. Pedagang menuntut rekayasa lalu lintas itu segera dihentikan. Selain menghambat distribusi barang, jumlah pengunjung jadi terus jauh merosot.
Pemerintah Kota Bandung kemudian melunak. Tak lama berselang, Wali Kota Bandung kala itu, Oded Mohamad Danial, mengumumkan perubahan rekayasa lalu lintas di Jalan Otista. Buka tutup jalan jadi satu sesi saja pukul 17.00-06.00 WIB.
Di samping itu, dampak signifikan dirasakan pedagang saat pusat perbelanjaan tersebut harus tutup selama tiga bulan termasuk selama Ramadan dan lebaran, yakni pada rentang Maret, April hingga Mei 2020.
Larangan berjualan di antaranya disampaikan lewat Surat Edaran Nomor 511.2/300.PD.PB/2020 tentang PSBB dikeluarkan PD Pasar Bermartabat Kota Bandung. Semua toko dilarang buka kecuali toko sembako dan alat kesehatan. Penutupan pasar juga terjadi saat masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada Juli 2020.
Selain di Pasar Baru, aturan tersebut berlaku untuk 28 pasar lainnya seperti Pasar Andir, Astana Anyar, Balubur, Cicadas, Karapitan, Kiaracondong, Kosambi, Ujungberung, Cicaheum, Cihapit, Cihaurgeulis, Cijerah, Ciroyom, Ciwastra, Geger Kalong, Leuwipanjang, Mohamad Toha, Pagarsih, Palasari, Pamoyanan, Sadang Serang, Sederhana, Simpang Dago, Cikaso, Gang Saleh, Gempol, Puyuh, dan Sarijadi.
Pasar Baru di Ramadan 2023
Dalam catatan Perhimpunan Pedagang Pasar Baru (HP2B), saat pandemi 2020, banyak pedagang yang terpaksa tutup toko atau bangkrut. Dari sekitar 4.200 ruang dagang yang tersedia, keterisiannya merosot hingga hanya 20-30 persen saja. Bukan hanya dirasakan pemilik, ribuan pegawai pun terdampak, mereka terpaksa berhenti kerja setelah toko merugi kehilangan pelanggan.
Toko kerudung yang dipimpin Rachmat menjadi contohnya. Menurutnya, periode 2020-2021 adalah tahun sulit. Di toko itu ada sekitar 15 pegawai dan saat pandemi hanya tersisa 3 pegawai saja. Rachmat termasuk beruntung karena masih bisa bertahan.
"Saat 2020 lalu kami memang sempat tutup sama sekali," aku Rachmat.
Memasuki 2023 ini, kondisinya diakui membaik. Toko-toko sudah kembali buka, diperkirakan lebih dari 3.000 toko atau sekitar 70 persen dari jumlah ruang dagang telah kembali beroperasi.
Tirto belum mendapatkan angka pasti terkait jumlah keseluruhan pegawai yang mencari nafkah di Pasar Baru. Tapi sebagai gambaran umum, satu toko paling sedikit memiliki 1-3 orang pegawai. Sejumlah toko yang disambangi Tirto, seperti toko kerudung Rachmat, mempekerjakan 10 hingga 20 pegawai.
Kondisi pedagang Pasar Baru saat ini disebut sudah agak membaik dibandingkan tahun sebelumnya. Ketua Perhimpunan Pedagang Pasar Baru (HP2B), Iwan Suhermawan mengatakan, kunjungan pun mulai meningkat memasuki pertengahan Ramadan ini. Dalam sehari, bisa mencapai 5.000 kunjungan. Meski begitu, jumlah tersebut masih belum seperti masa sebelum pandemi. Sebelum pandemi, tingkat kunjungan bahkan diklaim bisa mencapai 10-15 ribu orang.
“Ada tren meningkat memang, terutama di 10 hari Ramadan. Sekarang memasuki minggu ketiga tingkatnya semakin naik, dan diperkirakan mencapai puncaknya seminggu sebelum lebaran,” kata Iwan sembari berharap Pasar Baru bisa kembali bergeliat.
Pasca pandemi, Pasar Baru masih harus mengikuti gerak zamannya. Menurut Iwan, tantangan saat ini di antaranya adalah pasar online serta persaingan pasar global. Bagaimanapun, kata dia, Pasar Baru sudah bukan hanya bicara sekrup segmen pasar lokal, tapi juga nasional dan bahkan internasional.
“Saya berpikir tantangan kita adalah bagaimana kita para pedagang bisa terus lebih baik dalam memenej diri dan bisa mengejar pergerakan zaman,” kata dia.
Iwan menyadari jika Pasar Baru adalah tempat yang menorehkan sejarah panjang. Pasar ini, katanya, "memang bukan pasar pertama di Bandung, ini pasar kedua setelah Pasar Ciguriang terbakar. Para pedagang zaman itu berpindah ke jalan Otista, mereka bertahan dan mampu berkembang. Saking makmurnya, para pedagang saat itu bisa membuat bank sendiri, yang kini jadi Bank Woori Saudara.”
Iwan melanjutkan, pada 1916 Pasar Baru menjadi pasar terlengkap dan terbersih se-Hindia Timur. Koperasinya jadi juara nasional pada 1992. “Kita sudah melalui tiga kali pembangunan besar, tahun 1960, 1972 dan hingga 2003, dan menjelmalah menjadi sekarang.”
Iwan menambahkan, “Bukan hanya tempat belanja, tapi juga destinasi wisata belanja. Ini catatan sejarah yang membanggakan.” “Bagi kami para pedagang, generasi kelima ini, Pasar Baru sudah seperti menjadi anugerah," tandas Iwan.
Penulis: Dikdik Ripaldi
Editor: Abdul Aziz