tirto.id - Jika Anda wisatawan yang baru datang ke Jogja kala bulan puasa, sesekali cobalah untuk berjalan-jalan di sekitar Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Anda tentu tahu titik itu, yang diapit Jalan Malioboro dan alun-alun utara. Di bagian timurnya, ada Taman Budaya atau Benteng Vredeburg yang bisa dikunjungi bila Anda penyuka wisata kebudayaan. Sedang ke arah Barat tampak tak ada apa-apa. Namun jika berkenan, berjalanlah sedikit ke sana, sekira 300 meter. Setiap bulan puasa, ada gang yang sesak dengan geliat kegiatan warga. Ia adalah Gang Tiban, tempat digelarnya Pasar Ramadan Kauman.
Saya sempat kesulitan mencari gang tersebut saat berkunjung pada Rabu sore (5/4/2023). Gang itu kecil belaka. Sementara kemacetan jalan raya di depan gang membikin hawa keberadaannya terasa tipis. Setelah mondar-mandir dua kali mengendarai motor di jalan raya itu, saya akhirnya menemukan gang tempat Pasar Ramadan Kauman digelar. Dan memasukinya membuat saya merasa melesap ke dunia lain.
Tak hanya disesaki pedagang dan warga, Gang Tiban dipenuhi pengunjung lokal dan mancanegara. Mereka berburu takjil dan kue tradisional yang menjadi signature Pasar Ramadan Kauman. Para pedagang pun tampaknya paham betul dengan itu. Meskipun kebanyakan pedagang menjual beragam jenis makanan, suara mereka lebih percaya diri ketika menawarkan kue tradisional, terkhusus kicak.
Kicak merupakan kue tradisional berbahan dasar ketan yang dicampur dengan gula aren, santan, dan parutan kelapa. Belakangan, ketika mencicipinya selepas buka puasa, ada aroma harum nangka yang terasa kuat di mulut.
"Kicak, Mas," kata salah seorang pedagang.
Saya menolak halus dan lanjut berjalan, penasaran dengan ujung pasar. Ujungnya baru terlihat setelah saya berjalan sekira 200 meter dari depan gang.
Setelah sampai di ujung pasar, saya mengobrol dengan salah satu pedagang. Ia adalah Rodhiyah. Perempuan paruh baya itu menjual berbagai macam makanan, mulai dari lauk-pauk, kolak, hingga kue tradisional. Saya lantas memilih kicak seharga Rp5.000.
Beberapa barang jualan Rodhiyah disuplai oleh warga setempat, termasuk kicak yang ia tawarkan ke saya. "Yang bikin namanya Bu Yono. Sama jadah manten, khas sini juga. Bikinnya di situ (Yono-pen), tapi sudah habis," kata Rodhiyah ramah.
Rodhiyah lahir dan tumbuh besar di gang Kauman itu. Meski kini tinggal di Sewon, Bantul, dan memiliki angkringan di sana, Rodhiyah tetap rutin berjualan Pasar Ramadan Kauman setiap tahun. Sebab bagi Rodhiyah, Pasar Ramadan Kauman bukan sekadar sumber penghidupan semata. Ada rasa keterikatan yang tak lekang oleh waktu antara Rodhiyah dan pasar Ramadan itu.
Rodhiyah sendiri mengaku sudah berjualan di sana Pasar Ramadan Kauman sejak 1981. Kegiatan itu hanya berhenti ketika pandemi merebak. Alhasil, kegiatan Pasar Ramadan Kauman terjeda tiga tahun.
"Kita tiga tahun berhenti, Mas, gara-gara Corona," sahut Yati.
Sama dengan Rodhiyah, Yati juga pedagang kue tradisional di Pasar Ramadan Kauman. Bedanya, Yati masih tinggal Gang Tiban hingga kini. Selain berjualan di Pasar Ramadan Kauman, setiap hari Yati juga membikin semar mendem dan menitipkannya di pasar dan warung-warung.
Kicak, jadah manten, dan semar mendem hanyalah sedikit dari sekian banyak kuliner khas yang dijajakan Pasar Ramadan Kauman. Ada banyak kue tradisional lain yang dijual di sana, katakanlah apem hingga klepon. Hanya saja, kicak, jadah manten, dan semar mendem adalah kue yang paling identik dengan Pasar Ramadan Kauman.
Ketiganya merupakan olahan ketan. Akan tetapi, berbeda dengan kicak yang manis, jadah manten dan semar mendem lebih terasa gurih. Ia merupakan olahan ketan yang dibalut dengan telur dadar.
"Ada yang bilang semar mendem itu makanan kesukaan Sultan Hamengkubuwono VIII," terang Chawari, Ketua Panitia Pasar Ramadan Kauman. "Pokoknya makanan khas Kauman kita eksplor di bulan Ramadan ini."
Sebagian jajanan itu diproduksi warga Kauman sendiri. Karenanya, di samping menjual olahan makanan daerah lain –katakanlah pempek atau lumpia– kue tradisional Jawa tetap mendapatkan tempat di pasar ramadan itu. Dengan demikian, Chawari berharap jajanan tradisional tetap lestari.
Selain bermaksud melestarikan jajanan tradisional Jawa, Pasar Ramadan Kauman, pada mulanya, dimaksudkan untuk memfasilitasi ekonomi warga. Dulu, jelas Chawari, pedagang di Kauman berjualan sendiri tanpa fasilitas apa pun. Mereka secara mandiri memproduksi barang jualannya, membuka-menutup lapak, dan mendirikan tenda.
Melihat kemandirian tersebut, Chawari yang kala itu menjabat sekretaris RW, bersama ketua RW merasa tergugah. "Itu pas tahun 1994. Kita lihat ibu-ibu pasang tenda, kok gak tega gitu ya," tutur Chawari. "Akhirnya setelah itu, entah tahun 95 atau 96 atau 97, itu kita koordinir."
Alhasil, RW setempat membuat panitia untuk memfasilitasi pedagang di Kauman. Mereka membantu pedagang mendirikan tenda dari bambu dan terpal. Para panitia itu juga mulai menyediakan meja untuk para pedagang.
Setelah itu, pedagang menjadi semakin ramai. Tenda pun dipermanenkan. Tak hanya warga Kauman, kini pedagang dari luar pun ada yang berjualan di pasar ramadan itu.
Saat ini, untuk membuka lapak di Pasar Ramadan Kauman, cukup merogoh kocek sebesar Rp200.000. Dengan harga demikian, pedagang sudah mendapat fasilitas tenda dan meja.
Namun, selain menyiapkan barang dagangan dan biaya sewa, perlu pula untuk meminta izin terhadap warga. Pasalnya, Gang Tiban merupakan lokasi yang padat akan warga.
Pendaftaran untuk berjualan di Pasar Ramadan Kauman sendiri, tutur Chawari, biasanya buka sekitar 2-3 minggu sebelum bulan puasa.
Penulis: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Editor: Abdul Aziz