tirto.id - Minggu, 5 Maret 2023. Malam itu, Malioboro cukup ramai. Di depan Teras Malioboro 2 banyak pengunjung menonton konser yang digelar di tempat itu juga. Saya ikut menyaksikan konser itu usai berjalan dari parkiran stasiun tugu karena Malioboro bebas kendaraan bermotor di malam hari.
Konser dan beragam acara kini kerap digelar dan meramaikan Teras Malioboro 2. Konon, acara itu ada untuk mendukung aktivitas ekonomi pedagang kaki lima atau PKL yang direlokasi setahun lalu dari area pedestrian Malioboro.
Saya lantas menyusuri lorong-lorong di Teras Malioboro 2. Di sana, ada banyak pedagang yang menjajakan dagangannya di lapak berukuran sekira 120 x 120 cm. Ada beberapa lapak yang lebih luas. Belakangan, saya tahu dari pedagang kalau itu merupakan dua lapak yang disatukan. Sebagian dari mereka mendapatkan dua lapak dengan cara menyewa ke pemilik lapak yang tak lagi berjualan. Ada juga yang mendapatkan satu lapak tambahan dari keluarga atau kerabat.
Lapak itu sempit. Beberapa pedagang pakaian yang hanya memiliki satu lapak terlihat mengaso di lorong. Sebab, ia tak bisa duduk di dalam lapaknya yang sudah penuh dengan pakaian yang digantung dan ditata. Ada juga pedagang pakaian yang memilih memaksa duduk di dalam lapak dan nyaris tak terlihat karena tertutup barang dagangannya sendiri.
Masalahnya, acara semacam konser yang kerap meramaikan Teras Malioboro itu pun ternyata tak berbanding lurus dengan penjualan.
“Mereka (pengunjung) cuma ramai nonton, enggak beli,” kata Udin, pedagang aksesoris.
***
Sudah setahun relokasi berlalu dan Udin mengaku dagangannya tak seramai ketika menjual di pinggir jalan Maliboro. Menurut dia, saat itu mendapatkan pembeli amat mudah. Namun sejak relokasi, pendapatan Udin turun hingga setengahnya.
“Separuhnya lah kalau sekarang,” tutur dia. “Kalau dulu ibaratnya nyari Rp100.000 itu mudahlah. Kalau sekarang ya pembeli ada, tapi nggak terlalu.”
Udin sendiri menyewa lapak dan mulai berjualan sejak lima tahun lalu. Sebelumnya ia bekerja sebagai pegawai hotel di Semarang, Jawa Tengah. Namun, karena merasa upah yang ia dapatkan tak cocok, akhirnya di pulang ke Yogyakarta.
Udin lantas mendapat info dari temannya bahwa ada pedagang kaki lima di Malioboro yang tak lagi menggunakan lapaknya di depan Ramayana Malioboro.
Seketika itu harapan muncul. Udin pun mulai berdagang. Ia menjajakan jeruk peras. “Kalau di sana orang lewat mesti nyantel,” kata Udin.
Hampir setiap hari ia berdagang di sana hingga pandemi datang. Tak berhenti di situ, ia mendapat kabar bahwa PKL di area pedestrian Malioboro hendak direlokasi oleh pemerintah daerah.
Udin pun memutar otak agar jualannya tetap laku dalam kondisi sulit itu. Alhasil, ia memilih ganti barang dagangan. Di Teras Malioboro kini ia menjajakan aksesoris dan mainan. Ia merasa tak memungkinkan lagi untuk berjualan jeruk di Teras Malioboro yang serupa pasar.
“Jeruk kan harus cepat-cepat habis. Kalau lama-lama ya busuk,” kata Udin.
“Terus sisa jeruknya bagaimana?” saya bertanya.
“Dibagi-bagiin,” kata dia.
***
Cerita senada juga dituturkan Johan: setelah setahun relokasi, Teras Malioboro masih sepi pembeli. “Entah karena daya belinya kurang, ekonomi turun, saya juga nggak tahu lah,” kata Johan kala saya temui Senin malam (6/3/2023).
Yang jelas, kata Johan, area pedestrian Malioboro jauh lebih ramai pembeli. Saat masih berdagang di sana, Johan bercerita, ia bisa kulakan batik seminggu sekali di Solo. Ia juga biasa membuka lapaknya tiap pagi atau siang setiap hari.
Johan kini hanya kulakan barang satu bulan sekali sejak berdagang di Teras Malioboro 2. Itu pun jumlah barang yang ia ambil jauh lebih sedikit.
“Saya sekarang dapat duit cuma buat bertahan, buat makan besok. Untungnya nggak ada,” kata Johan.
Selain itu, Teras Malioboro 2 memiliki atap yang rendah dan karena itu menjadi amat panas ketika siang hari.
Saya sempat menandangi Teras Malioboro 2 di siang hari sebelumnya dan merasakan sendiri udara panas itu. Maka dari itu, Johan biasa memilih membuka lapaknya setelah asar, ketika matahari sudah tak terlalu terik, dan pengunjung mulai ramai.
“Ini sampai ikut panas,” kata Johan sambil memegang manekin, alat peraga dari pakaian yang ia jual. “Sebenarnya kalau ramai, panas pun nggak masalah. Tapi ini kan sepi. Jadinya panas luar dalam.”
Selain hawa yang panas, lorong-lorong di lokasi tersebut terhitung sempit. Menurut cerita Johan, lorong F—lorong yang ia tempati berjualan kini—sebenarnya direncanakan khusus menjadi jalan utama dan tanpa pedagang. Tapi, karena infrastruktur Teras Malioboro tak muat. Alhasil, jalan utama itu dijadikan lapak juga.
Dengan situasi itu, Johan merasa sulit untuk berharap banyak. “Harapan kita ya … sulit juga ya. Kita cuma orang nunut ya manut,” tukas Johan.
***
Sementara pedagang mengeluhkan perihal infrastruktur Teras Malioboro dan pembeli yang sepi, pihak Pemerintah Kota Yogyakarta berkata sebaliknya. Mereka mengaku telah melakukan optimalisasi terhadap Teras Malioboro guna meningkatkan penghidupan para pedagang.
Sumadi, Plt Wali Kota Yogyakarta, mengungkapkan, sudah membantu melakukan promosi berupa acara-acara yang digelar di depan Teras Malioboro. “Memang belum optimal seperti dulu pendapatannya, tapi omzetnya mulai meningkat,” klaim Sumadi.
Perihal lapak yang sempit, Sumadi hanya mengatakan bahwa tempat yang tersedia untuk menampung pedagang sangat terbatas. Sumadi juga mengatakan, pemerintah daerah telah memberi kemudahan pada pedagang karena dibebaskan dari retribusi serta ongkos listrik dan air.
Pada 2022, pihak Pemrov DIY juga mengatakan kalau Teras Malioboro 2 hanya bersifat sementara. Para pedagang di sana dijanjikan untuk dipindah dalam waktu setahun dua tahun.
“Kami juga menyadari bangunan Teras Malioboro masih banyak kekurangan, terutama Teras Malioboro 2 masih belum layak karena sifatnya darurat. Oleh karenanya hanya ditempati selama sekitar satu atau dua tahun, nanti akan ditempatkan ke tempat baru yang lebih layak," terang Kepala Dinas Koperasi dan UKM DIY Srie Nurkyatsiwi kala itu.
Namun hingga kini, para pedagang mengaku belum mengetahui pasti ke mana mereka akan dipindah.
Penulis: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Editor: Abdul Aziz