tirto.id - Proyek jalan tol Solo-Jogja-Kulon Progo sudah di depan mata. Alat berat seperti ekskavator sudah di tempat di sejumlah sisi guna mengubah sawah menjadi aspal sepanjang 96,57 kilometer. Namun, sejumlah masalah masih menghantui, seperti pembebasan lahan yang belum juga terpenuhi.
Dalam temuan Tirto, setidaknya ada dua wilayah yang warganya masih belum mendapat hak secara utuh terkait uang ganti rugi yang dijanjikan, yaitu di Kalurahan Tirtoadi dan Tlogoadi, Kapanewon Mlati, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Keduanya memiliki problem yang berbeda: menunggu uang ganti rugi yang tak kunjung diberi dan jumlah ganti rugi yang tak sesuai dengan kehendak hati. Berikut liputannya:
Janji Sudah Ditandatangani, Namun Uang Tak Kunjung Diberi
“Kami sudah cukup sabar menunggu? Uangnya dikemanakan?”
Begitulah bunyi sejumlah spanduk yang terbentang di tembok warga Padukuhan Sanggrahan, RT 02/RW 15, Kalurahan Tirtoadi, Kapanewon Mlati, Sleman. Spanduk yang ditulis menggunakan cat pilox tersebut menggambarkan keresahan penduduk setempat yang terus menanti uang ganti rugi atas pembebasan lahan untuk dibangun menjadi jalan tol Solo-Jogja-Kulon Progo.
Sutarjo (60), warga setempat yang rumahnya terkena proyek strategis nasional (PSN) jalan tol ikut berkeluh kesah. Ia mengaku ganti rugi rumahnya tak kunjung dibayar.
Dia menceritakan, petugas baik dari proyek jalan tol dan pemerintah rutin mengumpulkan warga dari proses sosialisasi hingga penandatanganan kesepakatan pada 8 November 2022. Namun setelah itu, Sutarjo dan tetangganya seakan ditinggal pergi, dan tidak ada kabar kapan haknya akan diberikan.
“Masalahnya belum sama sekali dibayar. Padahal sudah tanda tangan setuju. Tapi kok sampai sekarang belum dibayar,” kata dia saat ditemui reporter Tirto di rumahnya pada Selasa (24/1/2023).
Sutarjo tak sendiri. Setidaknya di lingkungan dia tinggal, ada sekitar 30 kepala keluarga yang terkena imbas jalan tol. Sehingga harus angkat kaki segera karena akan diratakan dengan tanah. Bahkan karena keterbatasan informasi, dia tidak tahu bahwa ground breaking sudah akan dimulai pada Maret 2023.
“Tidak ada janji atau kepastian sama sekali,” kata dia.
Sebagai seorang tukang reparasi elektronik, Sutarjo tidak memiliki banyak pilihan untuk tinggal selain di rumahnya. Ia harus tetap sabar menunggu untuk membeli rumah baru, mengingat harga tanah dan properti di sekitar lingkungannya sudah kepalang mahal, akibat adanya jalan tol.
“Warga di sini belum ada yang mengosongkan rumah. Kalau mau mengosongkan memangnya mau tinggal di mana? Kita tidak punya biaya,” ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa pekarangan dihitung oleh pihak penilai seharga Rp4,2 juta. Sutarjo beruntung karena pekarangan rumahnya ada di pinggir jalan protokol sehingga memiliki nilai jual yang tinggi.
“Harga tanah milik saya dan tetangga macam-macam, sehingga kita tidak tahu satu sama lain. Berapa harga yang ditawarkan," ungkapnya.
Ketika Harga Tanah Tidak Dihargai Pemerintah
Di wilayah sebelahnya yang bertepatan di dua padukuhan, yaitu Nglarang dan Karang Bajang, Kalurahan Tlogoadi. Warga di dua padukuhan merasa tidak diperlakukan dengan adil karena tanah yang mereka miliki ditawar pemerintah dengan harga yang dianggap rendah.
Akibatnya, warga dua padukuhan melakukan aksi walk out saat berlangsungnya musyawarah penetapan bentuk ganti rugi di Gor Kalurahan Tlogoadi pada Senin (16/1/2023). Menurut salah seorang warga Nglarang, Sukriyadi, tanah yang ditetapkan oleh tim appraisal atau penentu harga terlampau rendah.
Sukriyadi menyebut tanah jenis pekarangan senilai Rp2,9 juta. Apabila berada di pinggir jalan naik menjadi Rp3,3 juta. Menurutnya, jumlah itu terlalu murah dan membuat warga sekitar kesulitan mencari tanah pengganti rumah yang hendak digusur.
“Kalau harga segitu tidak usah kita jual ke pemerintah, harga pasaran memang sekitar Rp2,9 juta karena kita dekat dengan akses kota," katanya.
Ia membandingkan bahwa di desa lain sekitar Tlogoadi, penawaran tanah bisa diberi harga lebih tinggi. Bahkan dia menuding ada pihak yang bermain dalam proses penilaian harga tanah sehingga tidak mau berlaku adil dengan warga di Padukuhan Nglarang dan Karang Bajang.
“Kalau mau adil di desa sebelah ada sawah yang berada di pelosok dan jauh dari akses jalan raya, tapi dinilai hingga Rp3,3 juta. Itu yang menjadi pertanyaan kami,” ujarnya.
Sukriyadi menuturkan, dia dan tetangganya tidak ingin mengganggu proses pembangunan PSN jalan tol. Namun, dia mengingatkan bahwa hak masyarakat jangan sampai diabaikan.
Dia memberi opsi kepada pemerintah agar membeli tanahnya dan warga sekitarnya dengan rentang harga Rp3,5 hingga Rp4,5 juta. Hal itu melihat letak dan kondisi lahan tersebut berdiri.
“Daripada kita repot, lebih [baik] kita jangan sampai kena jalan tol," terangnya.
Dia siap maju ke meja hijau, bila proses pembicaraan harga tanah menemui jalan buntu. Pihaknya siap iuran membayar pengacara agar hak mereka bisa tersampaikan.
“Kalau kami kalah di pengadilan sudah harus ke mana lagi," ujarnya.
Maret Sudah Konstruksi, tapi Kepastian Pembelian Masih Belum Diberi
General Manager Lahan dan Utilitas PT Jogjasolo Marga Makmur (JMM), Muhammad Tilawatil Amin menyebutkan, Maret 2023 proses konstruksi jalan tol Solo-Jogja-Kulon Progo sudah akan dimulai. Sehingga warga akan diminta untuk segera mengosongkan rumah sebelum tiba alat berat.
“Maret nanti kami sudah akan melakukan konstruksi pembangunan jalan tol. Oleh karena itu, sebelum waktu itu dilaksanakan, kami harap pembebasan lahan sudah diselesaikan," kata Amin saat dihubungi reporter Tirto pada Jumat (20/1/2023).
Amin menjelaskan, dalam proses ganti rugi ada sejumlah tahapan yang dilakukan. Dimulai dari musyawarah untuk menetapkan bentuk atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti rugi tersebut.
Hal itu dilakukan antara lembaga pertanahan dengan pihak yang berhak atas ganti rugi dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak hasil penilaian dari penilai disampaikan kepada lembaga pertanahan.
“Jika tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 hari setelah musyawarah penetapan ganti kerugian. Hal itu berdasarkan pada Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang nomor 2 Tahun 2012," ungkapnya.
Di sisi lain, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengadaan Tanah, Jalan tol Yogya-Solo, Dian Ardiansyah menyebut, pembebasan lahan saat ini sudah berlangsung hingga 80 persen. Sisanya yang mencakup wilayah di dua kalurahan yaitu Tirtoadi dan Tlogoadi akan segera dibereskan.
Dia meminta waktu agar seluruh komponen baik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Badan Pertanahan Nasional, dan kontraktor bisa duduk bersama memberikan penjelasan kepada warga.
“Besok kami akan ada musyawarah desa di Tamanmartani pukul 09.00 WIB," kata Dian.
Wakil Ketua DPRD DIY dari Fraksi PKS, Huda Tri Yudiana berjanji akan mengawal hak masyarakat yang terkena imbas pembebasan jalan tol dan mengawasi kinerja pemerintah yang terlibat langsung di dalamnya.
“Seharusnya pada Maret nanti maksimal pembayarannya. Kalau nanti sekiranya belum ada yang dibayarkan akan kami komunikasikan, insyaallah," terangnya.
Tanah Belum Dibayar, Masyarakat Harus Segera Bertindak
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika meminta masyarakat di Tlogoadi dan Tirtoadi yang belum mendapat hak imbas jalan tol untuk terus bersuara hingga haknya diberi. Menurut dia, pemerintah dari berbagai level harus tahu bahwa ada tanah yang belum dibayar karena jalan tol dan juga ada tanah yang tidak dihargai semestinya oleh pemerintah.
“Masyarakat harus berani vokal dan advokasi ke kementerian atau pejabat ATR/BPN dan kalau perlu lakukan public hearing," tegasnya.
Dewi mengkritik pemerintah selaku penanggung jawab PSN jalan tol yang kerap melakukan pembatasan informasi atas hak warga atas tanah. Seharusnya warga berhak untuk menolak atas pembebasan lahan, berhak untuk tahu atas informasi harga lahan dan berhak untuk memilih ganti rugi lahan yang akan digunakan.
“Semua itu sudah diatur oleh undang-undang dan masyarakat berhak untuk tahu," ungkapnya.
Menurutnya, semakin lama masalah agraria ini terjadi, maka kemungkinan masalah lain akan ikut muncul. Seperti pungutan liar dari petugas atau hak warga yang dipermainkan ke sana ke mari. Ketidaktahuan dan misinformasi kerap digunakan oleh sejumlah pihak untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
“Permasalahan yang terjadi seperti adanya pemotongan uang ganti rugi, sehingga warga semakin miskin dan tidak bisa membeli rumah pengganti hingga penundaan pemberian uang ganti rugi tanpa ada informasi yang pasti," jelasnya.
Dewi mengingatkan agar warga memilih cara-cara di luar hukum dalam menyelesaikan uang ganti rugi bila berhadapan dengan pemerintah. Dari pengalamannya dalam menangani masalah agraria, pengadilan bukan solusi terbaik untuk menyelesaikan sengketa tanah.
“Hakim kita dalam masalah agraria banyak yang tidak kompeten,” kata Dewi.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz