Menuju konten utama

Warga Terdampak Proyek Tol Solo-Jogja Desak Ganti Rugi yang Adil

Warga terdampak proyek tol Solo-Jogja di Padukuhan Nglarang dan Karang Bajang, Sleman menyayangkan nilai uang ganti rugi dari pemerintah jauh dari harapan.

Warga Terdampak Proyek Tol Solo-Jogja Desak Ganti Rugi yang Adil
Pekerja menggunakan alat berat saat mengerjakan pembangunan Jalan Tol Yogyakarta-Bawen Seksi-1 di Seyegan, Sleman, D.I Yogyakarta, Sabtu (14/1/2023). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/YU sepanjang 8,8 km Yogyakarta-SS Banyurejo dapat selesai pada tahun 2024

tirto.id - Sejumlah warga di Padukuhan Nglarang dan Karang Bajang, Kalurahan Tlogoadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman menolak pemberian uang ganti rugi atas tanah dan bangunan untuk pembangunan jalan tol Solo-Yogyakarta-Kulonprogo.

Warga merasa ada uang ganti rugi yang diberikan terlampau kecil dibandingkan kalurahan atau padukuhan lain yang ikut terdampak jalan tol.

Penolakan tersebut dilampiaskan warga dengan aksi walk out pada saat musyawarah bersama pemerintah melalui Tim Pengadaan Tanah/Kanwil BPN-Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengadaan Tanah Jalan Tol Solo-Jogja di GOR Kalurahan Tlogoadi pada Senin 16 Januari hingga Selasa 17 Januari 2023.

"Kami tidak terima karena uang ganti rugi yang kami terima tidak seberapa apabila dibandingkan dengan padukuhan atau kalurahan yang bernasib serupa dengan kami," kata Sukriyadi, seorang warga Nglarang yang ikut memprotes penetapan uang ganti rugi dari pemerintah pada saat ditemui Tirto di rumahnya pada Jumat (20/1/2022).

Sukriyadi mengatakan nilai uang ganti rugi yang ditawarkan oleh pemerintah jauh dari harapan. Dirinya merincikan nilai ganti rugi bagi tanah pekarangan jauh dari akses jalan sebesar Rp2,9 juta, kemudian pekarangan dekat dengan akses jalan sebesar Rp3,3 juta.

"Belum lagi perhitungan untuk ganti rugi sawah, kalau tidak ada tanamannya disebut sawah murni. Kalau ada tanamannya seperti pohon jati atau pepohonan besar disebut tegalan dan yang ada bangunannya disebut pekarangan. Masing-masing memiliki nilai yang berbeda," terangnya.

Sukriyadi membandingkan dengan padukuhan atau kalurahan lain yang bisa mendapat uang ganti rugi lebih besar daripada yang didapat di wilayahnya.

"Di tempat lain ada yang mendapat Rp3,3 juta padahal persawahan dengan kondisi blusuk [jauh dari akses jalan]," ungkapnya.

Oleh karenanya, Sukriyadi menuntut uang ganti rugi kisaran Rp3,5 sampai Rp4 juta per meter di setiap tanah di wilayahnya. Dengan catatan, melihat kondisi masing-masing tanah yang dimiliki warga.

"Harga Rp3 juta itu adalah pasaran yang ada di sini. Tanpa harus dibeli pemerintah untuk jalan tol memang segitu harganya. Padahal kalau dibeli untuk proyek strategis nasional harusnya lebih tinggi dari itu," terangnya.

Dia menyebut bila pemerintah tetap memaksa membeli dengan harga di bawah yang diminta maka hal itu serupa dengan pemaksaan. Sukriyadi tak segan untuk membawa masalah tersebut ke pengadilan dengan segala macam risiko.

"Kami siap membawa hal itu ke pengadilan apapun risikonya. Kami juga sudah membentuk paguyuban agar warga terdampak tol bisa bersatu dan jangan jalan sendiri-sendiri," terangnya.

Pihaknya menyadari bila warga akan mudah terpengaruh oleh janji pemerintah bila menghadapi masalah uang ganti rugi secara individual.

"Oleh karenanya kami membentuk paguyuban. Kami juga siap bila harus menyewa pengacara," jelasnya.

Baca juga artikel terkait PROYEK TOL SOLO-YOGYA atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Hukum
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Bayu Septianto