Menuju konten utama
DPR & Pemerintah Satu Suara

Ketika DPR Dukung Keinginan Kades, tapi Abai Aspirasi Rakyat

DPR dan pemerintah kompak mendukung perpanjangan masa jabatan kepala desa meski menuai kritik.

Ketika DPR Dukung Keinginan Kades, tapi Abai Aspirasi Rakyat
Gedung DPR. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - “Selamat tinggal Jakarta. 9 tahun saya tunggu kabarmu, kalau ndak, tak habisi 2024. Semangat?”

Kalimat tersebut adalah petikan pernyataan salah satu kepala desa atau kades yang viral di media sosial. Video berdurasi sekitar 34 detik itu berkaitan dengan aksi demonstrasi ribuan kepala desa ke DPR pada 17 Januari 2023.

Para kepala desa tersebut menuntut agar periode jabatan kades berubah dari 6 tahun menjadi 9 tahun masa jabatan. Mereka meminta DPR RI untuk merevisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Detailnya bisa baca di link ini.

Tak seperti demo-demo lainnya. Kali ini DPR langsung merespons tuntutan kepala desa dengan mengamini permintaan mereka. Dengan kata lain: legislatif siap merevisi UU Desa demi mengakomodir tuntutan para penguasa lokal ini agar lebih lama lagi menjabat.

Wakil Ketua DPR DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad bahkan langsung mengarahkan para kepala desa untuk bertemu Badan Legislasi (Baleg) DPR RI serta melobi pemerintah.

“Mereka (Badan Legislasi DPR) akan menerima perwakilan dari kepala desa untuk mendengarkan pointers dan aspirasi kepala desa mengenai revisi Undang-Undang Nomor 6 ini sehingga nanti bisa masuk ke Prolegnas 2023,” kata Dasco.

Wakil Ketua DPR RI, Muhaimin Iskandar juga mendorong agar permintaan para kepala desa dikabulkan. Hal itu disampaikan Muhaimin lewat akun sosialnya @cakiminnow. Fraksi PKB di DPR juga mendukung tuntutan para kepala desa ini dengan berjanji akan merevisi UU Desa.

Manuver DPR yang kompak tersebut mendapat sorotan publik, terutama dari Koalisi Masyarakat Sipil. Sebab, respons anggota legislatif terkait penambahan masa jabatan kepala desa berbeda dengan sejumlah aspirasi masyarakat yang disampaikan ke dewan selama ini.

Sebut saja Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang tidak ditangani cepat. Isu lain adalah soal revisi pasal karet di UU ITE maupun aksi DPR terkait isu strategis lainnya. DPR justru bergerak cepat mengesahkan regulasi yang ditolak publik seperti RKUHP, UU Cipta Kerja maupun aturan lain yang hanya menguntungkan elite.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menyebut, masalah penambahan jabatan kepala desa tidak lepas dari nuansa politik. Ia bahkan mengaitkan bagaimana Luhut Binsar Pandjaitan menyebut bahwa para perangkat desa ingin agar masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang.

Julius menilai, pemerintah dan DPR malah tidak fokus pada isu krusial seperti kondisi kemiskinan, kondisi pendidikan, kondisi kerusakan lingkungan akibat industri, kondisi pelanggaran HAM yang terjadi di berbagai macam aspek termasuk akses ekonomi yang masih dalam kondisi krisis di titik nadir utamanya pasca pandemi.

“Jadi kita bilang kalau kemudian ada perpanjangan masa jabatan kepala desa lagi, ada kumpul-kumpul demo lagi segala macam, ini kita dengan mudah menyimpulkan bahwa ini nuansanya politis lagi,” kata Julius kepada reporter Tirto.

Di sisi lain, kata Julius, DPR berani bekerja cepat karena melihat isu kepala desa lebih punya nilai politik elektoral daripada isu lain seperti masalah kehidupan pekerja rumah tangga yang tersandung kasus human trafficking.

“Jadi tidak heran kepentingan politik ini menjadi fokus utama dan komoditas utama, utamanya yang bisa menyangkut tentang perolehan suara di Pemilu 2024 nanti," kata Julius.

Julius juga menilai, kejadian kepala desa akan memperkuat label DPR sebagai perpanjangan tangan Jokowi. Hal ini tidak lepas dari aksi DPR yang lebih menyelesaikan regulasi untuk kepentingan elite daripada publik.

Ia menyebut, DPR kerap menyelesaikan regulasi secara cepat dalam kebijakan yang diajukan Jokowi mulai dari UU Minerba, RKUHP hingga UU Cipta Kerja tanpa kajian optimal demi kepentingan publik. Bahkan aspirasi masyarakat terkesan dikesampingkan.

Selain itu, kata dia, DPR kerap lambat dalam menyelesaikan isu penting yang diharapkan publik seperti masalah HAM, kehidupan buruh, dan masalah ekonomi.

Semestinya Fokus pada Tata Kelola Desa, bukan Masa Jabatan

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengritik manuver DPR terkait revisi UU Desa. Ia menolak gagasan perubahan masa jabatan kepala desa. Sebab, kata dia, semestinya fokus revisi bukan pada kekuasaan kepala desa, melainkan soal tata kelola desa yang lebih baik.

“Memperpanjang waktu masa jabatan itu selalu merupakan sebuah ancaman karena kekuasaan itu punya kecenderungan korup dan kekhawatiran ini beralasan karena ada dana desa setiap tahun yang digelontorkan ke desa-desa dan itu rasanya satu-satunya alasan para kades ingin menjabat semakin lama,” kata Lucius, Jumat kemarin.

Lucius juga menilai alasan kepala desa untuk mengubah ketentuan masa jabatan berbasis konflik pasca pilkades bukanlah alasan yang rasional. Ia menilai, perpanjangan durasi malah berpotensi memicu masalah baru di desa.

“Kalau durasi dibikin leibh lama lagi, ya akan semakin banyak yang mau jadi kades sehingga pilkades akan kian jadi biang konflik,” kata Lucius.

Lucius juga menyoal sambutan DPR. Ia khawatir sambutan cepat anggota dewan hanya sebagai upaya mendapatkan dukungan dari kepala desa di Pemilu 2024. Lucius mengatakan, yang lebih mengkhawatirkan lagi bila para kepala desa akan menjadi kaki tangan parpol demi meraup suara dan bukan demi kepentingan desa.

DPR, kata Lucius, tidak bisa langsung asal mengiyakan karena setiap undang-undang harus melewati pembahasan yang komprehensif demi membangun dan menyejahterakan warga.

“Pembahasan UU di tahun politik akan mudah menjadi ajang transaksi sehingga berpotensi merusak tatanan pemerintahan desa. DPR dan parpol membutuhkan suara, sementara kades butuh perpanjangan masa jabatan,” kata Lucius.

Lucius menambahkan, “Kalau DPR ngotot membahas di tahun politik, maka UU Desa hanya akan menyenangkan kades saja, bukan menyenangkan warga desa.”

Terkait Presiden Tiga Periode?

Sementara itu, analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo menduga, ada sejumlah faktor yang membuat DPR cepat dalam isu pilkades, tetapi tidak pada isu strategis lain yang diatensi publik. Pertama, ia menduga DPR bergerak cepat karena memahami pesan politik yang disampaikan sama-sama elite meskipun bentuknya berbeda.

Faktor kedua adalah penggunaan dalih yang sama demi perpanjangan periode jabatan selain kepala desa, yakni dalih 3 periode presiden. Meskipun tidak serta-merta linier, tetapi lolosnya gagasan perpanjangan kepala desa bisa membuka peluang perpanjangan jabatan presiden.

Ia beralasan, kepala desa meminta perpanjangan masa jabatan karena merasa waktu menjabat kurang. Padahal, pembangunan bukanlah bersifat singuler, tetapi bersifat linier.

“Mungkin ini prelude, prolog untuk kemudian 3 periode didengungkan lagi karena ya alasanya sama persis. Toh, alasan yang sama sudah dikabulkan oleh DPR untuk kepala desa, kenapa tidak untuk presiden. Jadi ya pikiran nakal saya bicara demikian, dan ini bisa dijadikan yurisprudensi untuk kemudian mendorong itu perpanjangan masa jabatan yang lain,” kata Kunto kepada reporter Tirto.

Menurut Kunto, solusi dari masalah kepala desa bukan dengan memperpanjang waktu masa jabatan. Ia menilai masa jabatan berbanding lurus dengan kinerja kepala desa. Dengan kata lain, masalah utama adalah pada kapasitas kepala desa yang layak memimpin daerah atau tidak.

Kunto menilai bahwa permintaan kepala desa soal perpanjangan masa jabatan sebaiknya tidak dikabulkan karena berpotensi menimbulkan masalah turunan.

“Kalau menurut saya juga mungkin ada kepentingan itu soal Pemilu 2024 yang semakin dekat karena kepala desa, kan, salah satu yang bisa menjadi motor mobilisasi masyarakat di grass root, di tingkat bawah sehingga bantuan kepala desa ke calon tertentu atau ke partai tertentu itu pasti sangat diharapkan, tapi kan nggak boleh seharusnya menurut undang-undang," kata Kunto.

Kunto juga menilai ancaman kepala desa kepada DPR sebagai tanda bahwa demokrasi Indonesia semakin terdegradasi. Ia tidak memungkiri para kades bisa mempengaruhi warga agar berpihak pada kepentingan mereka. Hal ini tidak lepas dari peran sentral kepala desa di daerah bagi warganya. Ia menilai, aksi ancaman kepala desa tidak baik untuk dilakukan.

Kunto menyarankan agar DPR tidak mengabulkan tuntutan para kepala desa. Ia khawatir publik akan mempersepsikan DPR tidak adil karena masih ada masalah lain yang belum selesai dan perlu mendapat perhatian serius seperti soal RUU PPRT hingga masalah honorer. Ia sebut akan ada kecemburuan sosial di masyarakat jika permintaan kepala desa itu dikabulkan.

“Justru konflik antara elite dan masyarakat di level grass root, di tingkat bawah, di tingkat desa ini menjadi meruncing ketika nanti tuntutan ini dikabulkan. Jelas kan kepala desa. Dan masyarakat desa sangat bergantung pada kadesnya untuk banyak urusan,” kata Kunto.

Respons Mendes Abdul Halim

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengaku telah mempersiapkan kajian akademik penambahan masa jabatan kades menjadi sembilan tahun dalam satu periode.

Sehingga bila sewaktu-waktu usulan tersebut direspons positif oleh DPR RI dan ada perintah dari Presiden Joko Widodo untuk dijalankan, maka Kemendes PDTT telah siap.

“Karena itu bagian dari tugas kita, ketika respons DPR siap dan presiden perintah, maka tidak perlu menunggu lama karena kita sudah siapkan naskah akademiknya, meskipun terus kita kembangkan,” kata menteri yang akrab disapa Gus Halim ini saat audiensi dengan kepala desa asal Kabupaten Probolinggo di kantornya, Kalibata, Jakarta, Senin (16/1/2023).

Halim menjelaskan, penambahan masa jabatan tersebut sengaja diusulkan karena selama ini kades dinilai kurang efektif bekerja membangun desa, karena disibukkan menyelesaikan konflik yang selalu muncul pascapemilihan.

“Wacana 9 tahun itu saya lontarkan sejak Mei 2022, saya sampaikan beberapa permasalahan penyelesaian konflik pasca pilkades,” ucap Halim.

Berdasar hasil beberapa kajian akademik menjelaskan bahwa penyelesaian konflik akibat pilkades membutuhkan waktu lebih dari satu tahun, begitu juga menyiapkan pilkades berikutnya butuh waktu satu tahun.

Harapannya, dengan penambahan masa jabatan itu, kepala desa akan lebih efektif karena waktunya tidak lagi dihabiskan menyelesaikan konflik akibat pilkades. Namun, mereka juga tetap dibatasi boleh memimpin desa hanya 18 tahun alias hanya dua periode.

“Nah, ketika masa jabatan hanya enam tahun, maka untuk menyelesaikan ketegangan pasca pilkades dua tahun berarti kepemimpinan yang kondusif efektif kurang lebih dua sampai tiga tahun, meskipun tiga periode,” kata Halim.

Ia meminta, masyarakat tidak perlu khawatir dengan gagasan periode sembilan tahun itu, karena pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) punya kewenangan memberhentikan kepala desa yang kinerjanya sangat buruk.

Dengan begitu, warga desa tidak perlu menunggu selama sembilan tahun untuk mengganti kepala desa yang kinerjanya sangat buruk, kata dia.

Baca juga artikel terkait JABATAN KEPALA DESA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz