Menuju konten utama
Kebijakan Energi

Larangan Penjualan LPG 3 Kg ke Pengecer, Subsidi Tak akan Bocor?

Pengawasan pembelian LPG 3 Kg di lapangan akan menjadi tantangan besar bagi pemerintah agar tepat sasaran.

Larangan Penjualan LPG 3 Kg ke Pengecer, Subsidi Tak akan Bocor?
Pekerja mengangkut tabung gas elpiji 3 kilogram bersubsidi di Pangkalan Gas di Cibubur, Jakarta Timur, Sabtu (25/4/2020). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/hp.

tirto.id - Setelah mewajibkan pembelian Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram (Kg) menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP), pemerintah kini berencana melarang penjualan 'gas melon' ke warung-warung kecil. Seakan tak ada habisnya, upaya tersebut ditempuh demi menekan terjadinya kebocoran subsidi energi dan penting agar lebih tepat sasaran.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, pemerintah hanya mengalokasikan anggaran untuk subsidi energi sebesar Rp339,6 triliun. Angka ini jauh lebih kecil dari realisasi subsidi dan kompensasi energi 2022 yang mencapai Rp551 triliun. Subsidi ini pun menyangkut biaya kompensasi untuk bahan bakar minyak (BBM), LPG, hingga listrik.

Uji coba pembatasan penjualan LPG 3 Kg ke warung-warung pengecer sendiri sudah mulai dilakukan di beberapa kecamatan oleh PT Pertamina (Persero) selaku regulator. Beberapa kecamatan tersebut di antaranya: Cipondoh, Ciputat, Ngalian, Batu Ampar, dan Mataram.

Corporate Secretary PT Pertamina, Irto Ginting mengatakan, uji coba tahap awal ini akan dilakukan dengan pencocokan data antara pembeli dengan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) dari pemerintah.

Perluasan wilayah uji coba nantinya masih akan dikoordinasikan dengan regulator. Sebab, uji coba ini harus dilakukan dalam skala kecil terlebih dahulu agar, hasil dari uji coba tersebut dapat dinilai pantas atau tidaknya penerapan kebijakan tersebut.

“Perluasan ini dilakukan dalam skala kecil dan guna tepat sasaran untuk para pembeli,” ucap Irto kepada reporter Tirto.

Agar menjangkau pembelian, Pertamina juga sudah menambah dan memperluas sub-sub penyalur LPG. Sejauh ini total sub penyalur yang Pertamina miliki bahkan sudah mencapai lebih dari 233 ribu pangkalan.

Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2023, pemerintah memang mengubah mekanisme penyaluran LPG 3 Kg pada tahun ini. Penyaluran akan dilakukan menjadi subsidi berbasis orang dan juga akan dikombinasikan dengan program bantuan sosial (bansos).

“Arah kebijakan subsidi energi pada 2023 akan melanjutkan transformasi subsidi LPG 3 Kg menjadi berbasis target penerima melalui integrasi dengan bantuan sosial,” tulis KEM PPKF yang diterbitkan Kemenkeu.

Transformasi subsidi LPG 3 Kg dilakukan untuk memperbaiki ketepatan sasaran dengan membatasi golongan masyarakat yang bisa mengonsumsinya, sehingga hanya masyarakat miskin yang menikmati. Hal ini sejalan dengan ketentuan pemberian subsidi dalam UU Energi Nomor 30 tahun 2007.

Selain masyarakat miskin, mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 tahun 2007, subsidi LPG 3 Kg juga diberikan pada golongan rumah tangga dan usaha mikro. Serta berdasarkan Perpres Nomor 38 Tahun 2019, LPG 3 Kg bersubsidi itu juga bisa dinikmati oleh nelayan dan petani kecil.

Namun, beleid yang mengatur penyaluran LPG 3 Kg tersebut perlu penyempurnaan agar bisa tepat sasaran. Seperti pada Perpres 104/2007, regulasi justru belum mengatur perihal pembatasan golongan rumah tangga baik miskin dan rentan.

“Untuk itu perlu dilakukan penyempurnaan atas kebijakan subsidi LPG tabung 3 Kg yang berlaku saat ini yang mengacu pada program konversi minyak tanah (mitan) ke LPG 3 kg pada 2007," tulis pemerintah dalam KEM PPKF.

Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi menilai, pembatasan pembelian LPG 3 Kg memang perlu dilakukan oleh pemerintah. Karena hampir 70 persen pembelian subsidi gas melon tidak tepat sasaran.

“Kenapa salah sasaran? Karena selama ini yang digunakan Pertamina sistem distribusi yang terbuka. Dijual secara terbuka ke warung kecil dan siapapun beli tanpa ada sanksi," ujarnya saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (18/1/2023).

PENERAPAN SUBSIDI TERTUTUP ELPIJI TIGA KILOGRAM

Pekerja menyusun tabung gas elpiji tiga kilogram yang akan disalurkan ke pangkalan-pangkalan penjualan disalah satu agen LPG di Jakarta, Senin (24/6/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/aww.

Efektif Bisa Tepat Sasaran?

Fahmy melihat upaya-upaya yang dilakukan pemerintah bersama Pertamina saat ini nampaknya sudah mengarah ke sistem distribusi pembelian secara tertutup. Dalam rangka itulah kemudian pemerintah mengatur agar yang bisa menjual hanya penyalur resmi, sedangkan warung-warung kecil tidak bisa lagi.

“Pertanyaanya apakah efektif tadi?” kata dia mempertanyakan.

Fahmy mengatakan jika pembelian hanya menggunakan KTP, maka itu tidak akan cukup efektif. Karena menurutnya KTP informasinya terbatas, dan dia tidak bisa menunjukan apakah orang itu memang memiliki penghasilan rendah, sehingga boleh membeli atau sebaliknya.

“Selama instrumen digunakan pemerintah tetap menggunakan KTP sebagai syarat pembelian tidak akan efektif. Artinya orang mampu sekalipun hanya berbekal KTP datang ke penyalur tetap bisa beli tidak menutup kemungkinan," jelasnya.

Di samping itu, tingginya disparitas harga LPG 3 Kg dengan yang nonsubsidi masih menjadi persoalan. Fahmy tak menampik kondisi disparitas harga tersebut membuat sebagian orang bermigrasi ke gas melon. Pada akhirnya masyarakat kecil lagi yang menjadi korban.

“Itu potensi cukup ada (migrasi), selama dia masih tetap akan menggunakan LPG 3 kg. Tapi kalau ada instrumen tepat misal untuk syarat beli LPG 3 Kg bisa kurangi migrasi tadi," jelasnya.

Sebagai solusi agar tepat sasaran dan warung bisa menjual, Fahmy menyarankan agar instrumen pembeliannya menggunakan data dari Kementerian Sosial (Kemensos). Menurutnya selama ini data di Kemensos seperti penyaluran BLT sudah cukup tepat.

“Nah data itulah yang kemudian digunakan untuk menyalurkan LPG 3 Kg kepada yang berhak. Berhak tadi berdasarkan data tadi diberi saja misal barcode digunakan untuk membeli," jelasnya.

"Misal dalam sebulan dia bisa beli empat tabung. Nah itu bisa dilakukan juga sampai ke warung kecil. Warung kecil ini juga bisa diberikan agar bisa scan barcode tadi," kata Fahmy menambahkan.

Fahmy melanjutkan jika konsumen tidak memiliki barcode artinya mereka tidak berhak beli dan harus migrasi ke LPG 12 Kg. Atau jika masih mau menggunakan LPG 3 Kg, mereka bisa tetap beli namun dengan harga keekonomian bukan subsidi.

“Hanya ini masalahnya akan timbul ada dua harga. Harga subsidi dan nonsubsidi itu akan timbulkan moral hazard. Tapi kalau dengan pengawasan ketat ini moral hazard bisa ditekan," jelasnya.

Elpiji Bright Gas 3 kg non subsidi

Produk Bright Gas elpiji tiga kilogram non subsidi. tirto.id/Andrey Gromico

Berpotensi Terjadinya Kelangkaan

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto justru mengkritisi langkah pemerintah membatasi pembelian LPG 3 Kg. Seharusnya, kata dia, pemerintah bisa proaktif jemput bola kepada orang-orang miskin untuk mendapatkan hak subsidinya, bukan sebaliknya mengatur pembelian khusus di agen resmi.

“Jika LPG bersubsidi hanya tersedia di agen tertentu, harus dilihat apakah bisa menjangkau daerah-daerah minim akses, kantong-kantong kemiskinan? Kalau tidak bisa menjangkau, maka akan tetap salah sasaran juga," jelas Eko dihubungi terpisah.

Selain perlu tepat sasaran, subsidi juga harus dapat diakses oleh semua masyarakat miskin yang membutuhkan bantuan, termasuk di sini adalah aspek kecepatan akses. Karena dengan keterbatasan agen penyalur masyarakat butuh biaya transportasi yang tidak sedikit.

“Dan karena kendala-kendala tersebut maka ketersediaan LPG 3 Kg jadi langka, maka upaya membuat subsidi tepat sasaran ini dapat saja memicu kelangkaan, akibatnya bisa ke inflasi yang naik," jelasnya.

Atas dasar itu, dia meminta pemerintah agar berpikir bagaimana upaya membuat tepat sasaran juga harus dibarengi degan kemampuan dan kepastian ketersediaan. Jangan sampai kebijakan ini justru berdampak pada kelangkaan akses LPG 3 Kg.

Direktur Eksekutif Segara Institut, Piter Abdullah menambahkan, pengawasan pembelian LPG 3 Kg di lapangan akan menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Karena selain hanya dijual melalui agen resmi, persyaratan pembelian juga harus diperketat, atau hanya mereka yang berhak bisa membeli di agen resmi.

“Tetapi upaya ini harus diiringi dengan kemudahan pembeli untuk membeli gas nonsubsidi. Mendorong mereka yang tidak berhak membeli gas subsidi untuk membeli gas nonsubsidi. Dengan demikian pembelian gas subsidi secara bertahap akan lebih tepat sasaran," kata Piter dihubungi terpisah.

Baca juga artikel terkait LPG 3 KG atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz