tirto.id - Mengenakan batik hitam bercorak kembang, Presiden Joko Widodo berdiri di atas podium hitam berlambang Burung Garuda. Kepala negara itu menunjukan ambisinya dalam melakukan proses industrialisasi dan hilirisasi di dalam negeri.
Jokowi mengatakan sejak zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) ratusan tahun sampai saat ini, Indonesia masih 'betah' mengirimkan ekspor barang mentahnya. Padahal, kata Jokowi, tidak ada untung dan nilai tambahnya bagi negara.
“Ini sering saya sampaikan bahwa pentingngnya industrialisasi dan hilirisasi,” kata Jokowi di hadapan ribuan kader PDI Perjuangan dalam acara peringatan HUT ke-50, di Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Sebagai gebrakan awal, pada 1 Januari 2020, Jokowi mulai memutuskan menyetop ekspor nikel. Dia ingin, perusahaan dalam negeri menahan diri dan fokus melakukan hilirisasi. Terbukti, setelah hampir beberapa tahun berjalan, nilai tambah dari komoditas itu melesat naik menjadi Rp360 triliun per tahun, dari sebelumnya hanya Rp17 triliun.
“Saya hanya ingin berikan bayangan bahwa tadi ekspor nikel sebuah angka lompatan besar sekali,” kata Jokowi mencontohkan.
Melihat potensi tersebut, Jokowi kembali memperluas penyetopan ekspor bahan mentah dari hasil tambang lainnya. Pada akhir Desember 2022, Jokowi resmi mengumumkan menyetop ekspor bijih bauksit. Kebijakan ini akan berlaku pada Juni 2023 mendatang.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu meyakini dari hasil industrialisasi bauksit di dalam negeri, maka pendapatan negara akan meningkat tajam. Dari semula Rp21 tiliun menjadi sekitar kurang lebih Rp62 triliun.
“Mungkin pertengahan tahun lagi kita setop tembaga. Kita harus berani seperti itu,” kata Jokowi.
Jokowi menyampaikan apa yang dilakukan dalam hal perdagangan kadang-kadang harus menekan sebuah negara agar mereka ikut aturan main yang dibuat oleh Indonesia. Karena jika ekspornya adalah bahan mentah terus, maka sampai kiamat pun Indonesia tetap menjadi negara berkembang dan tidak maju.
“Meskipun kita ditakut-takuti masalah nikel, kalah di WTO, kita juga tetap terus (larang ekspor)," imbuhnya.
Dia mengakui memang permasalahan Indonesia saat ini telah digugat dan kalah dalam sengketa dengan Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah nikel pada awal 2020.
Kebijakan Indonesia dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan WTO. Hal ini ada dalam sengketa yang didaftarkan di DS (Dispute Settlement) 592. Hasil kebijakan Indonesia disebut melanggar pasal XI.1 GATT 1994. Ini pun tak bisa dijustifikasi menggunakan pasal XI.2 (a) XX (d) GATT 1994.
“Tapi saya sampaikan ke menteri luar negeri jangan mundur. Karena ini yang jadi lompatan besar peradaban negara kita. Saya yakini terus dan kita banding!" tegas Jokowi.
Jokowi menambahkan, “Kita tidak boleh mundur dan tidak boleh takut karena kekayaan alam itu ada di Indonesia. Ini kedaulatan kita dan kita ingin dinikmati oleh rakyat dan masyarakat kita.”
Jokowi bahkan berpesan dan meminta kepada pemimpin selanjutnya untuk tetap berani melanjutkan proses hilirisasi. Jangan sampai nantinya negara justru didikte oleh negara lain.
“Saya ingin presiden ke depan juga berani melanjutkannya tidak gampang ciut nyali, tidak gentar demi kepentingan bangsa dan kepentingan negara," pesan Jokowi.
Langkah Berani Jokowi
Pengamat Ekonomi dan Energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi mengatakan, keberanian Jokowi melakukan larangan ekspor bahan tambang mentah patut diancungi jempol. Jokowi bahkan dinilai konsisten dan pantang mundur meski sempat menuai gugatan di WTO.
“Baru Jokowi di periode kedua ini punya keberanian menurut saya luar biasa,” kata Fahmy saat dihubungi reporter Tirto.
Dia menjelaskan sebetulnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara (Minerba) sudah mengamanahkan untuk melarang ekspor hasil tambang dan mineral tanpa dihilirisasi di dalam negeri paling lambat pada 2014.
Namun, adanya penentangan dahsyat dari perusahaan tambang, utamanya dari Freeport yang disertai acaman diadukan ke WTO, pemerintahan Presiden SBY mengundurkan berlakunya larangan ekspor tersebut.
“Waktu itu Presiden SBY belum berani melakukan implementasi karena penentangan dari pengusaha tambang sangat kuat sekali. Sehingga pemerintahan SBY mundur,” kata Fahmy.
Lebih lanjut, Fahmy melihat ada dua tujuan Jokowi dalam melarang hasil ekspor tambang. Pertama, meningkatkan nilai tambah, sehingga bermanfaat bagi negara ini. Kedua, Jokowi menginginkan terbentuknya ekosistem industri.
Di luar dari dua tujuan di atas, kata Fahmy, pelarangan ekspor tersebut sesungguhnya untuk mengoptimalkan hasil kekayaan alam sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sesuai amanah Pasal 33 UUD 1945.
“Seperti nikel itu ingin diciptakan ekosistem sendiri dari hulu dan hilir sampai mobil listrik misalnya. Hal sama akan dilakukan juga untuk bauksit dan tembaga," kata dia.
“Apakah sudah tepat? Menurut saya tepat. Inilah yang harus dilakukan seorang presiden mempunyai keberanian meski dikalahkaan di WTO, tapi Jokowi berkeningan tetap karena keyakinan kuat dan mencapai tujuan tadi,” kata Fahmy menambahkan.
Bagaimana Kesiapan Smelter di Indonesia?
Meski demikian, Fahmy merasa masih ada berbagai tantangan untuk mencapai beberapa tujuan Jokowi. Salah satu tantangan itu adalah kapasitas smelter masih sangat terbatas untuk hilirisasi seluruh hasil tambang baik bijih bauksit maupun tembaga.
Sampai saat ini, pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter terpasang untuk bijih bauksit baru sebanyak empat unit dengan kapasitas olahan alumina mencapai 4,3 juta ton setiap tahunnya. Kalaupun bertambah, kata dia, itu terlalu dipaksakan oleh pemerintah.
Sementara menurut data Kementerian ESDM hingga November 2022, baru ada dua smelter tembaga yang telah beroperasi, yakni PT Smelting dan smelter milik PT Batutua Tembaga Raya di Maluku dengan kapasitas output sekitar 25 ribu ton katode tembaga per tahun.
Selain itu, ada dua smelter lainnya yang dalam proses konstruksi, yakni milik PT Freeport Indonesia (PTFI) di Gresik, Jawa Timur, dan milik PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) di Benete, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB.
Proyek pembangunan smelter berkapasitas 1,7 dry metric ton (dmt) milik Freeport Indonesia di Gresik diproyeksikan baru tuntas pada Desember 2023, dilanjut dengan proses commissioning lalu pengoperasian komersial pada 2024.
Sedangkan proyek smelter tembaga Amman Mineral yang berlokasi di Benete, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) diproyeksikan baru beroperasi di akhir 2024 mendatang. Nantinya, smelter tersebut bakal memiliki kapasitas input sebesar 900.000 ton per tahun.
Dengan demikian, saat ini baru ada 1 perusahaan yang mampu mengolah konsentrat tembaga di dalam negeri, yakni PT Smelting Gresik yang memiliki kapasitas input 1 juta ton per tahun dengan rencana pengembangan kapasitas input tambahan sebesar 300.000 ton per tahun.
Meski baru sedikit, Fahmy meyakini, larangan ekspor hasil tambang akan memaksa pengusaha untuk membangun smelter, baik dilakukan oleh setiap perusahaan, maupun oleh kosorsium perusahaan dan joint venture dengan investor smelter.
“Kalau nunggu siap tidak akan pernah siap. Tetapi kalau dengan aturan yang jelas mereka tidak punya pilihan mau jual ke mana kalau tidak dieskpor. Maka mau tidak mau dia mengusahakan hilirisasi tadi. Apakah mendirikan perusahaan hilirisasi sendiri atau kedua dia konsorsium," jelasnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, justru meminta Jokowi agar tak buru-buru mengambil sikap dalam melarang ekspor tembaga. Karena sebelum melakukan itu, harus mengecek kesiapan smelter ada di dalam negeri.
“Kalau smelter belum siap, lalu disetop ekspor tembaga nanti efeknya akan mengurangi produksi tembaga dan kehilangan potensi ekspor yang rugikan neraca dagang," kata Bhima kepada Tirto.
Dia menyarankan sebaiknya pemerintah fokus mendorong pembangunan smelter lebih cepat. Sehingga menyiapkan dulu dari hilirisasinya baru kemudian lakukan pembatasan.
“Bentuk pembatasan ekspor juga tidak perlu lewat pelarangan ekspor, misalnya bisa naikkan pajak ekspor barang mentah, sehingga risiko digugat WTO jadi lebih rendah," kata dia.
Respons Pengusaha
Pelaksana Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), Ronald Sulistianto menegaskan, industri sama sekali belum sepenuhnya siap melakukan hilirisasi untuk pengolahan bauksit dalam negeri.
“Karena memang banyak masalah yang timbul. Itu kalau dilihat dari proses sekarang sampai dengan Juni (2023) saya yakin betul bahwa tidak akan ada smelter terbaru," kata dia saat dikonfirmasi.
Dari segi pendanaan, industri juga masih sulit. Menurut dia, untuk membangun smelter, capital expenditure (capex) atau modal belanjanya sendiri mencapai 1,2 miliar dolar AS untuk kapasitas 2 juta ton olahan per tahun. Sementara pemerintah sendiri tidak mau menerima proposal pembiayaan diberikan pelaku industri.
“Kecuali kalau kita seperti mau berkaca pada 2012. Pada saat itu membuat smelter kita serahkan saja kepada China, kita akan nonton saja. Untuk itu banyak persoalan yang harus kita diskusikan duduk dulu," katanya.
Ronald sendiri setuju jika tujuannya adalah hilrisasi dan mendatangkan nilai tambah. Akan tetapi, pemerintah tidak bisa memaksakan begitu saja dalam waktu dekat yang menurutnya tidak ada sama sekali hitung-hitungannya. Apalagi, kata dia, masalahnya sedemikian kompleks.
“Apalagi situasi dunia saat ini seperti diketahui juga tidak baik-baik amat. Kedua juga badan keuangan dunia juga tidak baik amat. Bagaimana mungkin kita menarik uang sebesar itu untuk menarik investasi di Indonesia dengan lancar,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Djoko Widajatno Soewanto menegaskan, pihaknya tinggal menunggu bagaimana kesiapan industri. Jika pemerintah menyetop atau melarang ekspor beberapa bahan mentah, maka Kementerian Perindustrian harus kerja keras menyediakan ekosistem industri dasar di Indonesia.
"Pada prinsipnya IMA mendukung. Gak boleh impor gak boleh ekspor 'oke'. Tinggal sekarang mau diapakan nih. Kami, kan, tunggu arahan presiden," ujarnya saat dikonfirmasi.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz