tirto.id - Transisi energi menjadi salah satu dari tiga agenda utama yang diusung pemerintah dalam Presidensi G20 Indonesia. Lewat KTT G20, Indonesia akan menjembatani serta mendorong negara-negara berkembang dan maju pada keanggotaan G20 untuk mempercepat proses transisi energi, memperkuat sistem energi global yang adil dan berkelanjutan, dalam suatu kesepakatan global.
Lead Co-Chairs Think 20 (T20) Indonesia, Bambang Brodjonegoro menekankan, isu transisi energi dan pembiayaan berkelanjutan harus mulai diangkat menjadi arus utama dalam pembahasan G20 baik di Indonesia maupun ke depannya. Sebab, selain pembiayaan investasi yang tinggi untuk masuk ke sana, ketergantungan batu bara sebagai penghantar listrik masih masif digunakan di berbagai negara tak terkecuali Indonesia.
“Menurut saya yang paling berat itu bukan pembiayaan langsung. Tetapi bagaimana Indonesia bisa yakin pindah dari batu bara yang kita sendiri cukup besar produksinya,” kata Bambang saat ditemui reporter Tirto, di Hotel Nusa Dua, Bali, Sabtu (12/11/2022).
Secara historis, Indonesia sudah bergantung dengan batu bara untuk pembangkit listrik sejak 1971. Persentase batu bara dalam bauran pembangkit listrik pun meningkat sejak 1971. Bahkan saat ini, sekitar 67 persen listrik di Indonesia masih diperoleh dari pembangkit batu bara.
Di tengah upaya menekan penggunaan batu bara, komoditas ini nyatanya tetap menjadi sumber pembangkit listrik terbesar di dunia di tengah upaya global dalam mengurangi penggunaan batu bara. Badan Energi Internasional atau IEA pada 2019 menyatakan, batu bara memegang 38 persen dari keseluruhan pangsa sumber pembangkit listrik global.
“Kalau kita misalkan negara yang harus impor batu bara, mungkin kita akan lebih cepat pindah, karena lebih bagus kita tidak ikut batu bara lagi supaya kita bisa langsung pakai energi seperti matahari, angin dan lain sebagainya," kata Bambang.
Kepada kami, mantan Menteri PPN/Kepala Bappenas itu juga membeberkan sejumlah tantangan lain bagi Indonesia menuju energi bersih. Mulai dari monopoli dilakukan PLN, hingga upaya 'pensiunkan dini' PLTU batu bara.
Berikut perbincangan lengkap reporter Tirto Andrian Pratama Taher dan Dwi Aditya Putra dengan Lead Co-Chairs T20 Indonesia, Bambang Brodjonegoro:
KTT G20 berlangsung pada 15-16 November, ada masukan khusus apa dari T20 yang diberikan atau ingin disampaikan kepada pemerintah?
Ya, yang paling penting adalah pertama sebagai presidensi dari G20 Indonesia harus tetap menjaga muruah G20. Muruah G20 sebenarnya adalah forum yang terkait ekonomi, keuangan, dan pembangunan kalau mau dibuat lebih luas. Nah, artinya hasil dari setiap KTT G20 meskipun barangkali akan dibumbui oleh nuansa politik, harus tetap mengedepankan solusi bagi ekonomi keuangan dan pembangunan tersebut.
Padahal saat ini isu yang mengemuka adalah kekhawatiran terjadinya resesi (global). Jadi artinya pertumbuhan ekonomi yang rendah, masih juga ada kekhawatiran mengenai inflasi tinggi di berbagai negara dan kombinasi dari dua-duanya, kekhawatiran terjadinya stagflasi dan inflasi.
Jadi menurut saya, Presidensi G20 Indonesia ini karena temanya Recover Together, Recover Stronger, maka penekanan harus kepada recovery (pemulihan) itu sendiri, di mana recovery yang diharapkan adalah upaya pemulihan yang bisa sekaligus menjawab tantangan-tantangan seperti pelemahan pertumbuhan, potensi inflasi tinggi, ataupun bahaya terjadinya stagflasi.
Lalu, Forum G20 ini paling penting dari sisi ekonomi karena mencakup 20 ekonomi terbesar di dunia, maka otomatis statement dari G20 ini harus bisa memberikan ketegasan. Poinnya ketegasan bahwa dunia ini sudah pulih dari pandemi dan saat yang sama dunia juga sekarang lebih siap apabila pandemi akan terjadi lagi suatu saat di masa depan.
Kenapa ini penting? Untuk menegaskan bahwa sekarang ini umat manusia tidak lagi lengah seperti pertama waktu kita kena pandemi. Umat manusia sekarang lebih siap, jadi recovery itu harus dilihat tidak hanya sekadar recovery ekonomi, tapi juga kemampuan kita untuk mengantisipasi terjadinya pandemi di masa depan.
Jadi mengkombinasikan masalah kesehatan global dengan masalah ekonomi dan keuangan tetap harus menjadi warna utama nantinya dari statement G20.
Selain itu, juga menjawab isu sustanability, yakni transisi energi pembiayaan berkelanjutan harus mulai diangkat menjadi arus utama dalam pembahasan G20. Supaya dia tidak lagi sifatnya pelengkap. Namun, sudah menjadi bagian utama yang nantinya ke depan presidensi India, Brasil dan ke depannya nanti tetap akan menjadi pembahasan G20. Sebab, G20 tetap diharapkan menjadi solusi bagi perekonomian global.
Untuk transisi energi, apakah Indonesia sendiri sudah siap? Karena secara pembiayaan masih mahal dan dari mana pembiayaannya nanti?
Kalau saya melihat sebenarnya kalau dari sisi kesiapan, apakah kita punya sumber energi terbarukan yang bersih? Kita punya, meskipun tidak optimal, misal potensi tenaga surya. Meskipun rata-rata per hari sinar matahari yang efektif bisa menghasilkan listrik tersebut cuma empat jam sebenarnya. Sisanya kita harus menyimpan listrik tersebut.
Tenaga angin ada di beberapa tempat, tapi tidak terlalu masif. Kemudian yang cukup banyak mungkin air dalam berbagai bentuk mulai dari bendungan besar sampai kepada yang dari mini hydro, yang skala kecil.
Ada juga panas bumi yang katanya Indonesia memiliki sumber daya terbesar di dunia. Satu lagi adalah biomassa yang juga potensial. Sebab, biomassa termasuk limbah sampah maupun sawit, semua itu ada di Indonesia dengan berbagai variasi.
Nah, jadi dari sisi suplainya ada, hanya bagaimana membawa potensi ini menjadi pembangkit listrik yang operasional? Sebab, untuk menjadi pembangkit listrik yang operasional dibutuhkan suatu modal untuk membangun, plus kegiatan operasional lainnya.
Kemudian kita juga melihat bahwa dengan energi transisi dari fosil ke energi terbarukan, praktis dibutuhkan jaringan listrik yang lebih masif. Sebab, kalau dulu mungkin jaringan itu bisa terputus-putus, sekarang ini mau tidak mau harus jadi satu.
Sebab, tadi yang renewable itu sifatnya variabel seperti matahari, angin itu tidak setiap saat ada. Jadi harus ada sistem yang menyimpannya dan kemudian mendistribusikan ketika dibutuhkan. Jadi harus ada sistem penyimpanannya, tapi sampai sekarang masih mahal.
Maka solusinya harus dikombinasi dengan pembangkit listrik yang menyala terus 24 jam, harus ada jaringan transmisinya. Jadi ini menurut saya pekerjaan rumah (PR) terbesar karena pemerintah harus investasi cukup besar untuk memperkuat dan memperluas jaringan. Kedua, harus berani memberikan insentif atau subsidi untuk yang terbarukan. Sebab, yang terbarukan itu secara natural masih tinggi harganya. Jadi memang harus ada pemilihan dalam bentuk subsidi kalau ini dijangkau.
Ketiga, yang paling berat itu bukan pembiayaan langsung. Namun, bagaimana Indonesia bisa yakin pindah dari batu bara yang kita sendiri cukup besar produksinya. Di sisi lain, masih banyak pembangkit batu bara yang operasional masih baru lagi operasionalnya berubah drastis energi terbarukan.
Jadi, tantangan terberat transisi energi di situ. Misalnya negara yang harus impor batu bara, mungkin kita akan lebih cepat pindah, karena lebih bagus kita tidak ikut batu bara lagi supaya kita bisa langsung pakai energi seperti matahari, angin dan lain sebagainya.
Namun, Indonesia memang banyak batu bara, jadi ini yang seringkali membuat PLN sebagai satu-satunya pembeli itu kadang-kadang tidak langsung bisa menyerap produksi listrik dari yang energi baru terbarukan (EBT). Sebab, energi fosil dari batu bara masih banyak.
Belum lagi kita ini karena jaringannya belum lengkap, banyak listrik yang harus dibangkitkan dengan diesel. Sebab, daerahnya tidak terkoneksi, jadi salah satu cara untuk menghidupkan listrik ke sana dengan diesel. Apalagi diesel itu sudah mahal, sama sifatnya fosil dan emisi tinggi.
Jadi saya melihat tantangannya lebih di situ, tidak hanya sekedar ada duitnya apa tidak. Kalau saya melihatnya kalau memang punya potensi ekonomi, pasti ada yang beli listriknya, pasti ada investor yang masuk. Jadi tidak usah khawatir dengan pendanaan. Pertanyaannya, pasarnya ada atau tidak, PLN mau beli atau tidak, kalau dua pertanyaan ini tidak bisa dijawab orang, nanti dulu deh.
Pembeli hanya PLN, dibolehkan tidak misal swasta membeli listrik dan didistribusikan?
Tidak boleh, ada undang-undangnya. Ini masalahnya undang-undang.
Misalnya, PLN ada indikasi pendanaan terbatas untuk beli, sementara fosil masih banyak, di sisi lain energi baru terbarukan diperlukan, bagaimana pendapat Anda?
PLN harus mulai punya visi yang berbeda. Artinya dia sekarang bertransformasi dari perusahaan listrik yang tadinya berbasis fosil menuju perusahaan listrik yang basis energi baru terbarukan. Ini bukan hanya sekadar mengganti istilahnya sumber energi primer ini mungkin juga harus mengubah bentuk perusahaannya sendiri.
Kenapa? Karena kalau kita masih pakai fosil batu bara, apa sih yang membuat batu bara dan diesel itu susah untuk ditinggalkan. Sebab, dia sistemnya sangat fleksibel dan efisien. Misalnya, kita mau bangun pembangkit listrik di tengah hutan Kalimantan, simpel kita datang ke lokasi sumber batu bara, di situ bikin PLTU. Kalau di situ tidak ada batu bara datangkan batu bara dari tempat terdekat, listrik sudah bisa nyala.
Kalau sumber energi baru terbarukan mataharinya kurang, angin misalnya tidak ada, air kurang, geotermal tidak ada, biomassa kecil. Sebab, kebutuhan listriknya besar misalnya untuk kebutuhan industri tidak bisa jalan. Akhirnya kenapa batu bara dan diesel itu selalu diinginkan? Karena sangat mudah dia tinggal pindah-pindahin saja batu bara ke sini, kirim diesel ke sana, pembangkit bisa jalan.
Jadi masalahnya di sini PLN harus mulai melihat bahwa ketika listrik berubah menjadi energi terbarukan, dia harus mau investasi lebih besar di jaringan tadi. Di samping dia juga harus mulai menerima pembangkit-pembangkit yang terbarukan skala menengah besar karena memang solusinya listrik 24 jam 7 hari atau seminggu tidak mungkin mengandalkan matahari yang tidak setiap saat tidak ada sinarnya.
Jadi otomatis dengan jaringan dia bisa kombinasikan antara pembangkit yang bisa menyala terus misalkan air hydro itu bisa nyala terus, kecuali misalnya air di pegunungan turun, kalau misal ada kekeringan panjang, tetapi dia jalan terus. Problemnya, waduk itu tidak ada di mana-mana, hanya di tempat tertentu padahal kebutuhan listrik di daerah yang tidak dekat bendungan. Caranya ada solar farm di situ untuk tenaga surya. Solar farm ini menyala ketika masih siang, ketika malam listriknya datang dari sini, jadi pasokan tidak terganggu tetapi syaratnya, kan, harus ada jaringan tadi, terutama di luar Jawa.
Menurut Anda, pembangunan infrastruktur itu bakal memakan waktu berapa lama? Apakah sudah ada kajian berapa lama kita bisa bertransisi?
Kalau rencana yang sekarang net zero itu 2060. Di 2060, sudah tidak ada batu bara dan emisinya itu net zero, itu artinya dia bukan zero dari awal, tetapi dia adalah ada yang plus, ada yang minus juga. Jadi ada karbon positif ditemukan dengan karbon negatif, hasilnya net zero.
Berarti kalau seperti itu, kita harus meminimalkan karbon yang positif dan mencoba mencari karbon negatif. Nah, karbon negatif itu bisa diciptakan melalui teknologi. Jadi dia mengambil dari pembangkit, dia bikin karbon negatif nanti bisa mengurangi kalau ada karbon positif yang muncul. Sehingga net zero tercapai dan hal itu yang harus kita capai.
Lalu pertanyaannya kenapa 2060? Sebab, pembangkit listrik batu bara yang ada sekarang itu rata-rata konsumsinya 25 tahun. Kalau tidak salah masih ada yang sedang dibangun, jadi belum beroperasi. Katakan dia beroperasi 2025, berarti 25 tahun [yaitu] 2050 atau 2055, yang saya tahu dari 2056 adalah tahun terakhir tambang batu bara beroperasi.
Jadi menurut saya pendekatannya adalah kita main di positif negatif tadi. Jadi kita harus mengandalkan teknologi untuk menciptakan karbon negatif, tetapi kita juga mulai mengganti karbon positifnya besar menjadi karbon positif yang lebih kecil.
Berarti tidak mungkin bisa dipercepat, misalnya izin-izin tambang batu bara yang sudah ada diberhentikan?
(Tambang-tambang batu bara) bisa pensiun dini, cuma perlu biaya. Artinya, pembangkit misalnya masih beroperasi, dia seharusnya beroperasi kontrak 25 tahun sekarang sudah 20 tahun umurnya. Sudah 20 tahun jalan, masih 5 tahun, ini bisa menjadi kandidat awal yang bisa dipensiunkan tinggal 5 tahun, 10 tahun. Caranya tapi pakai duit karena pemilik pembangkit yang tinggal 5 tahun, 10 tahun itu harus dikasih duit. Biayanya itu harus dia pakai untuk membuat proyek energi terbarukan.
Strategi Jokowi kira-kira bisa enggak untuk mempercepat transisi energi terbarukan?
Itu harus mengandalkan dukungan internasional. Makanya kita ada sesi di sini salah satunya supaya dana internasional itu bisa mendorong terjadinya transisi energi di negara yang sedang berkembang. Karena apa? Pembangkit listrik itu harus dibeli, supaya ada uang untuk membeli itulah yang dipakai untuk menganti energi terbarukan.
Terkait dengan pensiun dini PLTU batu bara, apakah pembiayaan tadi sifatnya kolaborasi?
Pembiayaan itu otomatis tidak bisa ditanggung hanya satu pihak saja, sekarang ini memang multilateral misal, Indonesia Asian Development Bank (ADB). Cuma kalau kita mau berbicara lebih banyak, ADB sendirian tidak sanggup juga, dari swasta bisa yang penting branded supaya jadi finance itu dibicarakan, supaya pembiayaan itu menjadi rendah harganya, bunganya lebih rendah.
Kalau ada sumber dana yang sifatnya kayak tiba-tiba itu yang kita harapkan dari filantropi seperti AVPN. Jadi kalau filantropi masuk, kita harapkan skema itu menjadi lebih mungkin dilakukan. Sehingga nanti tidak hanya model PLN, perusahaan swasta pun dengan rela melakukan pensiun dini kalau mereka mendapatkan funding low cost tadi di mana bagian dari funding low cost itu datangnya dari hibah atau dari dana sosial.
Butuh dana berapa bagi Indonesia untuk menuju energi terbarukan? Dan kira-kira bisa dikerjakan berapa lama?
Kalau untuk menghitung, pertama kita harus melihat dulu kita bisa kuat sampai berapa tahun. Jangan lupa bahwa permintaan listrik itu tumbuh terus seiring dengan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, pertumbuhan listrik pasti naik. Jadi di masa depan pun kebutuhan listrik akan sangat besar. Jadi kalau saya harus menghitung nilainya akan susah karena kebutuhannya bergerak terus.
Namun, yang paling penting adalah ketika kita tahu kebutuhan listrik bergerak terus, kita harus segera mencari komposisi yang renewable untuk memenuhi yang perkiraan 2060 tadi, komposisi ini yang menurut saya paling krusial. Kalau rencana yang sudah sementara ini tidak tahu apakah sudah rencana akhir atau belum, nomor satu itu tenaga surya memang. Jadi akan banyak solar farm di mana-mana. Namun, kan tadi dia variabel sifatnya, jadi perlu ada dua.
Harapannya, pada saat nanti solar farm di mana-mana, penyimpanan listrik itu sudah harganya lebih murah. Pasalnya, sekarang masih mahal sekali penyimpanan listrik solar panel itu, kita bikin pembangkit listrik tenaga surya, terus pakai baterai itu akan lebih mahal daripada PLTU batu bara, jauh perbandingannya. Kalau suaranya (isu publiknya) solar panel bisa lebih murah dari batu bara ya, tetapi baterainya itu yang mahal.
Insentif yang diberikan pemerintah sendiri sejauh ini seperti apa agar perusahaan-perusahaan mau menuju energi terbarukan?
Sebenarnya kalau mau jujur dari sisi investor, mereka tidak terlalu berharap insentif pajak atau segala macam yang terlalu berlebihan. Mereka cukup putus satu ketika mereka memasukkan investasi, ada yang beli listrik.
Problemnya, listrik itu hanya dibeli oleh PLN. Jadi kalau PLN belum mengatakan iya, atau PLN malah bilang enggak, investornya tidak berani masuk. Saya mau bikin pembangkit, tetapi siapa yang beli itu listrik dan bikin listrik mahal.
Jadi menurut saya masalah terbesar Indonesia bukan pada insentif, tetapi kepada kepastian penyerapan dari listrik yang dihasilkan. Makanya kalau PLN jual ke swasta satu pendekatannya take or pay. Sebab, swasta tidak mau sembarangan bikin pembangkit batu bara 2x100, ‘dia mau semua listrik diserap supaya itu hitungan dia kembali dengan biaya harga listrik sekian sen per KWH dikalikan listrik yang dihasilkan itu yang sebanyak-banyaknya take or pay, bisa hitung 20 tahun kembali uang saya.’ Tetapi kalau dari awal tidak jelas siapa yang mau beli, apakah akan dibeli, dia lebih baik tidak akan membangun.
Apakah ada kemungkinan monopoli PLN dipecah, bukan PLN yang menjual tetapi swasta bisa langsung ke pemasok, apakah memungkinkan?
Itu perubahan undang-undang yang sebenarnya sudah diinisiasi sejak 2005-2006. Namun, selalu gagal, selalu dikalahkan di Mahkamah Konstitusi sehingga PLN menjadi monopoli lagi. Artinya sekarang yang paling penting orang dapat listriknya tidak? Sekarang kita punya deadline untuk zero emission terkejar tidak?
Kalau menurut saya, sebelum ke arah radikal seperti itu, cukup PLN dapat insurance dari pemerintah. Solusi jangka pendek bisa jalan adalah saya tidak tahu sekarang subsidi listrik berapa per tahun, semua subsidi listrik diarahkan menjadi subsidi untuk energi baru terbarukan. Itu akan menolong langsung karena [kalua] PLN oke, kalau begitu saya beli, kalau saya dapat subsidi terus, PLN bisa jual dengan harga yang ditentukan pemerintah. Jadi itu jangka pendek subsidi energi baru terbarukan.
Jangka pendek itu berapa lama?
Kalau menurut saya, sepanjang kita melakukan transisi tadi, kembali ke transisi itu. Kan, masa transisi itu ada sampai akhirnya kita ketika harga electric storage sudah sesuai dengan harga terjangkau. Maka mungkin subsidinya bisa dikurangi atau diganti dalam bentuk lain.
Namun, menurut saya, begini yang bikin dulu kita disalahkan subsidi BBM itu kan karena kita mensubsidi yang fosil. Sekarang kita mau subsidi yang bersih, kok dan orang selalu bilang ending insentif untuk energi terbarukan itu bagus.
Nah, ini kita bicara insentif yang sudah jelas subsidi untuk energi hijau, jadi menurut saya jalankan saja, tinggal nanti bisa diketahui berapa kapasitas dari energi terbarukan. Kita hitung saja berapa megawatt yang dihasilkan, kita hitung subsidinya. Kalau perlu bagian dari subsidi LPG atau BBM kita pindahkan ke situ. Kitanya harus all out untuk energi terbarukan, kalau kita mau sesuai dengan batas waktu sesuai dengan deadline.
Anda sempat masuk kabinet, bagaimana melihat Pak Jokowi tentang gagasan energi baru terbarukan ini dieksekusi, atau memang ada tantangan?
Itu sebenarnya kembali lagi karena monopoli PLN yang susah. Sebab, PLN ketika melakukan penilaian, evaluasi, apakah dia mau pindah ke energi terbarukan dan berapa [dan] jenis apa, dia akan lihat dulu kondisi keuangan perusahaan. PLN klaim hari ini mereka kelebihan supply terutama di Pulau Jawa dan juga di beberapa pulau.
Nah, satu hal dia kelebihan karena mungkin dulu terlalu banyak memberikan konsesi kepada pembangkit batu bara, karena semua orang ingin bikin PLTU. Sebab, asumsinya Jawa akan tumbuh pesat, sekarang kelebihan. Kalau kelebihan take or pay listrik yang dibeli, tetapi tidak dijual, orang kelebihan berarti berat buat dia. Itu yang membuat dia sekarang saja kondisi keuangan lagi susah, ini lagi mau energi baru terbarukan yang harganya pasti mahal.
Pengalihan subsidi BBM dan elpiji dipindahkan ke EBT tadi menarik, apakah ini tidak akan menjadi bumerang ketika subsidi dialihkan, otomatis harga bensin dan LPG akan naik?
Menurut saya, sekarang tinggal pilihan komitmen karena toh kita juga tidak akan bisa subsidi 100 persen kalau harga BBM terus naik. Karena sampai batas berapa? Kalau saya menteri keuangan, saya ngeri membayangkan kita punya item pengeluaran yang tidak tahu keluarannya berapa. Sebab, tidak ada batasnya, tergantung bagaimana pergerakan harga, jadi pasti subsidi ada batasnya.
Kalau saya lebih senang karena subsidi itu jumlahnya besar, tapi bisa kontrol batasnya, lebih baik diarahkan kepada sesuatu yang memang sudah jadi prioritas kita. Pertanyaannya, sudahkah energi baru terbarukan jadi prioritas kita? Barangkali belum, lebih kepada pemenuhan dalam negeri dulu. Namun, kan sebenarnya kita bisa memenuhi dalam negeri mulai dari energi terbarukan tadi dan di situlah peran subsidi masuk.
Memang yang benar harga BBM itu tidak perlu disubsidi, yang perlu dibantu adalah rumah tangganya, kasih rumah tangga itu daya beli, maka pemerintah memberikan bantuan langsung baik dalam bentuk tunai maupun nontunai kepada rumah tangga kategori berpendapatan rendah dan menengah ke bawah.
Tujuannya untuk menjaga mereka supaya tidak terganggu dengan perubahan harga BBM. Karena harga BBM susah diprediksi kita tidak tahu ada perang harga naik, nanti tidak ada perang, ada apa lagi. Ada aja sesuatu yang kadang-kadang secara mengagetkan membuat harga BBM naik.
Terkait ekonomi, ada tidak langkah-langkah yang belum dilakukan Pak Jokowi untuk meningkatkan ekonomi?
Saya melihat dalam kondisi sekarang kuncinya dua untuk menghadapi tantangan ekonomi 2023. Pertama, benar-benar menjaga inflasi harga pangan, terutama yang namanya inflasi harga pangan bergejolak. Itu ada beras, cabai, bawang, semua ada di situ. Kedua, lebih dorong masuk ke investasi asing Foreign Direct Investment (FDI) terutama sektor manufaktur.
Kenapa? Karena pada saat ini, di satu sisi kita butuh pertumbuhan, pertumbuhan itu datangnya dari mana? Konsumsi dan investasi. Konsumsi itu dari mana? Dari daya beli. Jadi kalau inflasinya tidak dijaga, daya belinya berkurang, konsumsi juga akan tumbuhnya lebih rendah. Kalau kita ingin konsumsi tumbuh tetap stabil, jadi daya beli melalui penanganan inflasi harus dijaga.
Kedua, investasi bisa dalam negeri dan luar negeri, tapi di satu sisi kita juga melihat ini ada kenaikan tingkat bunga yang tinggi di luar negeri.
Akibatnya, akan terjadi capital outflow, itu sudah pasti duit keluar ke mana-mana. Berarti untuk mengimbangi yang keluar, kita perlu ada yang masuk karena yang keluar ini tidak bisa dihalangi. Caranya adalah kita coba sesuatu yang lain supaya ada yang masuk, masuknya itu bisa melalui pasar modal atau pasar obligasi negara bisa juga melalui FDI.
Jadi lebih baik kita fokus di investasi dan inflasi supaya kita tetap bisa menjaga pertumbuhan. Namun, tetap juga bisa menjaga ketahanan rupiahnya sendiri.
Bisa tidak dengan metode seperti itu bisa menjaga pertumbuhan ekonomi? Sementara belakangan isu PHK massal, masyarakat sudah banyak kehilangan pekerjaan sulit mendapat pendapatan?
Kalau yang pengurangan PHK, itu terjadi kebanyakan padat karya. Itu terjadi karena ada kemungkinan permintaan atau produk-produk seperti garmen, tekstil atau sepatu mungkin berkurang, sehingga ada potensi pertumbuhan ekonomi yang rendah secara global tadi, pasti permintaan dunia turun. Berarti satu hal dalam jangka menengah panjang, kita harus pastikan produk manufaktur kita yang masuk pasar ekspor harus yang punya value lebih tinggi, terutama yang berbasis mesin baja dan segala macam.
Untuk mengatasi ini, maksud saya, mengatasi potensi kemungkinan bisa meningkatkan kemiskinan akibat dari PHK, kita bisa tiru yang pemerintah lakukan waktu COVID-19. Ketika COVID-19, banyak perusahaan meliburkan karyawan atau bahkan merumahkan. Jadi apakah kita buat semacam subsidi upah dari pemerintah.
Pemerintah juga harus memberikan insentif pajak khusus untuk perusahaan-perusahaan padat karya supaya mereka tidak langsung memberhentikan karyawannya. Jadi bisa dua sisi, bisa karyawan yang diberikan subsidi upah supaya karyawannya tidak kehilangan daya beli atau diberikan lewat perusahaan supaya perusahaan tidak mengganggu karyawannya, tidak memberhentikan atau mengurangi upahnya.
Jadi dua cara itu, menurut saya, kalau memang harus dapat lakukan saja, toh itu sementara artinya tidak terus-terusan. Yang penting jaga sampai terus-terusan kalau bisa begitu kondisi sudah mulai pulih, bantuannya memang harus ditarik.
Berarti 2 tahun terakhir pemerintahan Jokowi harus ada semacam skenario penyelamatan juga?
Kalau soal PHK itu, kan, ada dua. Bisa kita cegah supaya dia tidak di-PHK. Atau yang memang akhirnya kena PHK dicarikan kemungkinan pekerjaan lain. Pekerjaan lain akan muncul kalau kita ada pertumbuhan ekonomi. Sebab, pertumbuhan ekonomi pasti menciptakan lapangan kerja baru, itu yang harus dimanfaatkan.
Pertanyaan berikutnya, apa yang harus dilakukan pemerintah? Menurut saya, model Kartu Pra Kerja waktu itu, ada pelatihan supaya yang biasa terjadi sektor A berhenti, tadinya dia hanya menjadi pekerja di tekstil, misalnya ya sudah dia belajar yang lain supaya dia bisa kerja di tempat lain.
Jadi kalau mereka mungkin bisa cari tempat kerja di tempat lain, tinggal bagaimana kemampuan mereka. Kalau mereka tidak punya keterampilan lain, mereka harus ada training, ada skilling, ada upskilling. Jadi harus ada itu intervensi pemerintah yang minimal yang harus dilakukan.
====================
Catatan: Wawancara khusus dengan Bambang Brodjonegoro akan ada dua naskah dengan isu yang berbeda. Artikel ini merupakan serial pertama dari naskah yang kami agendakan.
Penulis: Dwi Aditya Putra & Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz