tirto.id - Puncak Presidensi G20 Indonesia akan dilaksanakan pada pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-17 G20 di Nusa Dua, Bali pada 15-16 November 2022. Pertemuan tersebut akan dihadiri oleh kepala negara anggota G20 guna merumuskan Leaders Declaration sebagai hasil KTT.
Sejauh ini terdapat 2.500 orang yang sudah mendaftar dari 39 delegasi. Jumlah tersebut meliputi 20 negara anggota G20, sembilan negara undangan, dan 10 lembaga dunia.
Lewat G20, Indonesia membawa visi besar yakni pembangunan pandemi yang kuat, tangguh, dan berkelanjutan di seluruh dunia. Sementara misi Indonesia adalah memastikan agenda prioritas G20 sejalan dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara-negara berkembang di dunia.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengharapkan, pertemuan KTT G20 yang berlangsung di Bali bisa meredam dampak dari ketidakpastian ekonomi global atau terjadinya resesi pada 2023. Dengan begitu, diharapkan proses pemulihan ekonomi di sejumlah negara-negara G20 dapat berjalan baik.
“Sehingga pemulihan ekonomi dan ekonomi global yang memang masih sangat dihadapkan dengan ketidakpastian tinggi bisa jauh lebih menurun kalau kepastiannya jadi lebih kuat, karena tantangan ekonomi sendiri akan sangat kompleks," kata Sri Mulyani dalam Seminar Bincang APBN 2023, di kantornya, Jakarta Pusat.
Bendahara Negara itu juga berharap pertemuan kepala-kepala negara G20 bisa menghasilkan kesepakatan perjanjian-perjanjian yang sudah dipersiapkan dalam side event sebelumnya. Salah satunya yakni masalah finance track.
“Kalau di finance track ini kan banyak ya, pertama terkait masalah finansial arsitektur, bagaimana dunia memperkuat jaring pengamanan supaya potensi negara-negara yang menghadapi krisis entah pangan, keuangan bisa ada mekanisme untuk membantunya,” kata dia.
Persoalan lain juga perlu dikuatkan atau disepakati dalam forum berlangsung 15-16 November 2022 itu, yakni masalah infrastruktur, sustainable finance, transisi energi dan lainnya. “Jadi banyak agenda-agenda yang kita harapkan akan bisa diadopsi dan dideklarasikan,” kata dia.
Indonesia sendiri mengusung tiga agenda utama Presidensi G20. Tiga agenda tersebut mengarahkan kerja sama kelompok negara-negara besar untuk menciptakan hasil yang konkret. Ketiga agenda tersebut yakni reformasi arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi berbasis digital, dan transisi energi.
Agenda pertama yaitu reformasi arsitektur kesehatan global, dapat diwujudkan dengan penyelarasan standar protokol kesehatan global, serta pembentukan Joint Finance and Health Task Force guna mengembangkan mekanisme pembiayaan yang inovatif dan cepat. Tujuannya, untuk pencegahan dan kesiapsiagaan menghadapi penyakit menular di masa depan.
Agenda kedua yakni transformasi ekonomi berbasis digital, antara lain dengan pengembangan literasi dan keterampilan digital yang lebih inklusif dan produktif. Digitalisasi diumpamakan seperti dua sisi mata uang. Satu sisi, pertumbuhan yang cepat dapat membantu pemulihan ekonomi, sisi lainnya menyebabkan ketimpangan-ketimpangan antarnegara.
Ketiga adalah mencapai kesepakatan global dalam mempercepat transisi energi yang lebih bersih dan hijau melalui perluasan akses energi yang tidak hanya adil, tetapi juga terjangkau, baik dari sisi teknologi maupun pembiayaannya.
Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, Ajib Hamdani mengamini, Indonesia akan mampu lepas dari potensi resesi di 2023. Terlebih Indonesia saat ini mempunyai market yang sangat besar. Sedangkan konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang signifikan Produk Domestik Bruto (PDB) yang ada.
Presidensi G20, menurut Ajib, akan menjadi momentum bagi Indonesia untuk memainkan perannya dalam memperkuat perekonomian domestik dan global. Event ini sekaligus menjadi bukti bahwa Indonesia mempu menjadi tuan rumah yang baik.
“Sisi lain, kesuksesan penyelenggaraan KTT G20 investor akan memberi sentimen positif terhadap kepercayaan global dan bisa mendatangkan investasi. Target tahun 2022 sebesar Rp1.200 triliun investasi sangat mungkin tercapai," kata Ajib kepada Tirto, Kamis (10/11/2022).
Lebih jauh, Anggota Komisi XI DPR, Puteri Komarudin menilai, peran KTT G20 akan berkontribusi langsung dalam mendorong proses pemulihan ekonomi di Tanah Air. Kepemimpinan Indonesia dalam G20 selama setahun ini juga dirasa memberikan banyak manfaat bagi ekonomi domestik.
Misalnya, kontribusi pada PDB Indonesia diproyeksikan mencapai Rp7,4 triliun. Konsumsi domestik juga diperkirakan meningkat hingga Rp1,7 triliun. Dari sisi pariwisata, peningkatan wisatawan luar negeri hingga 3,6 juta orang. Bahkan, membuka 700 ribu lapangan kerja.
Anggota DPR dari Fraksi Golkar ini menjabarkan, peran KTT G20 untuk meningkatkan pengaruh Indonesia dalam penentuan arah kebijakan pemulihan ekonomi global. Menurutnya, melalui presidensi ini, Indonesia akan memimpin diskusi-diskusi tingkat tinggi di dua jalur kebijakan, yaitu Finance Track dan Sherpa Track. Tidak hanya isu di bidang keuangan dan ekonomi.
“Tetapi juga isu strategis lainnya seperti ekonomi digital, lapangan pekerjaan, lingkungan, pemberdayaan perempuan, hingga kesehatan. Yang hasilnya tidak hanya bermanfaat bagi kepentingan nasional, tapi juga regional dan internasional,” ujar Puteri.
Puteri berharap agar peran Presidensi G20 Indonesia dapat meninggalkan legacy yang baik sekaligus menjadi catatan sejarah bagi Indonesia. Indonesia, kata Puteri, harus mampu membuktikan bahwa negara berkembang pun dapat mempengaruhi kebijakan yang diambil G20.
Di sisi lain, Indonesia juga harus mampu menjembatani dan menyeimbangkan kepentingan negara berkembang, tidak hanya negara maju saja. “Leaders Declaration nanti juga saya harap selain bernilai normatif, tapi juga dapat dilaksanakan dan terukur. Agar memberikan kontribusi yang nyata bagi masyarakat luas,” jelas Puteri.
Hal yang Perlu Didorong Indonesia di KTT G20
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira turut mendorong pemerintah untuk mengangkat beberapa isu internasional. Salah satunya menguatkan koordinasi kebijakan moneter antara negara maju dan berkembang.
Menurut Bima hal ini penting. Sebab imbas naiknya suku bunga secara agresif di Amerika Serikat (AS) memicu pelemahan kurs di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia.
"Setidaknya jangan sampai mengulang taper tantrum 2013 lalu karena ego bank sentral negara maju," ujar Bhima dihubungi terpisah.
Selain itu, pemerintah bisa lebih mendorong agenda perpajakan internasional termasuk membatasi ruang penghindaran pajak lintas negara, dan penerapan pajak minimum global yang lebih tinggi. Karena pasca pandemi Indonesia butuh kenaikan rasio pajak di atas 11 persen untuk biayai pemulihan ekonomi.
Pemerintah juga bisa mendorong keterlibatan negara berkembang termasuk Indonesia sebagai penerima fasilitas Debt Service Suspension Initiative (DSSI) atau penundaan pembayaran pinjaman. Tahun depan diperkirakan beban bunga utang terhadap total belanja pemerintah mencapai 20 persen.
“Kalau negara berpendapatan menengah bawah seperti Indonesia bisa ikut DSSI akan sangat meringankan beban utang," ujarnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz