tirto.id - Perseteruan antara PDIP dengan Partai Demokrat kembali mengemuka. Kali ini, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Demokrat, Andi Arief melempar pernyataan bahwa partainya dan PDIP tidak bisa melaksanakan komunikasi akibat kehadiran Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.
Andi menyebut ada faksi Hasto yang tidak ingin Partai Demokrat bisa berkomunikasi dengan partai berlambang banteng moncong putih itu, padahal parpol berlambang mercy itu baik dengan kader PDIP.
“[Kader] PDIP sebagian besar mau berkomunikasi dengan Partai Demokrat, hanya kubu Pak Hasto yang tidak mau berkomunikasi. Kubu aliran yang sombong,” kata Andi dalam rilis tertulis pada Selasa (8/11/2022).
Andi lantas membandingkan upaya komunikasi Demokrat dengan partai lain dan PDIP. Demokrat, kata Andi, mampu membangun komunikasi dengan partai koalisi pemerintah lain meski tengah intens berkomunikasi dengan Partai Nasdem dan PKS.
“Pada prinsipnya Partai Golkar, PAN, PPP, Nasdem, PKS, dan Gerindra itu partai yang tidak sombong, partai yang mau berkomunikasi,” kata dia.
Andi masih berharap bisa membuka koalisi dengan sejumlah partai. Termasuk dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri atas Golkar, PPP, dan PAN.
“Kalaupun pada saat ini komunikasi tetap berjalan. Tapi tampaknya sampai saat ini tahap politik sedang berbeda jalan,” kata Andi.
Andi mengaku, Demokrat dan Golkar tengah membangun komunikasi setelah Pemilu 2019. Ia berharap Demokrat dan Golkar masih bisa berkomunikasi meski saat ini tengah dalam poros koalisi berbeda.
Hasto pun menanggapi soal tudingan Andi Arief dengan nada bercanda. Hasto justru menilai pernyataan Andi Arief cukup dikomentari oleh Ketua DPC PDIP Tangereang Selatan, Wanto Sugito.
“Kalau Andi, yang tanggapi biasanya ketua DPC Tangsel,” kata Hasto singkat kepada wartawan.
Berawal Seteru Megawati-SBY, Berujung 'Air dan Minyak'
Hubungan Demokrat dan PDIP memang pelik, terutama di tingkat pengurus pusat yang tidak begitu harmonis. Semua tidak lepas dari sejarah masa lalu antara Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Dalam laporan Tirto berjudul 'Jika Megawati-SBY masih memimpin, PDIP-Demokrat Mustahil Berkoalisi' pada 2018 mengulas bagaimana awal mula sikap dingin Megawati kepada SBY. Sikap dingin tersebut masih kerap muncul antara SBY-Mega lewat sejumlah simbol-simbol, salah satunya dengan ketiadaan antara SBY atau Megawati dalam setiap sidang tahunan DPR-MPR.
Pada sidang tahunan 2022, hanya Megawati yang hadir, sementara SBY yang juga Presiden RI ke-6 justru tidak hadir.
Hubungan personal Megawati-SBY kemudian berimbas pada sikap politik Demokrat dan PDIP di tingkat pengurus pusat. Setelah Demokrat menang Pemilu 2004, PDIP memposisikan diri berada di luar pemerintahan. Pada Pemilu 2014, PDIP memenangkan pemilu, sementara Demokrat memilih menjadi oposisi.
Jelang Pemilu 2019, Jokowi sempat membangun komunikasi dengan Partai Demokrat. Beberapa kader PDIP pun mengaku membuka tangan dengan kedatangan Demokrat.
Sinyal positif hubungan PDIP-Demokrat sempat mengemuka dengan bertemunya Megawati dengan SBY pada saat pemakaman Ani Yudhoyono pada Juni 2019. Lalu, Puan mendatangi langsung kediaman SBY saat peringatan 40 hari meninggalnya Ani Yudhoyono. Akan tetapi, Demokrat lagi-lagi tidak bisa berkoalisi dan merapat ke kubu Prabowo pada Pemilu 2019.
Dalam menghadapi Pemilu 2024, PDIP kembali menyatakan sikap mereka secara terbuka bahwa tidak akan berkomunikasi dengan PKS dan Demokrat. Hasto memastikan tidak bekerja sama dengan PKS. Sementara itu, kata Hasto, PDIP sulit bekerja sama dengan Demokrat akibat dinamika politik.
“Kalau saya pribadi sebagai sekjen memang tidak mudah untuk bekerja sama dengan Partai Demokrat karena dalam berbagai dinamika politik menunjukkan hal itu,” kata dia, Kamis (23/6/2022).
Dia menjelaskan kultur pendukung PDIP sangat berbeda dengan Demokrat. “Koalisi harus melihat emosional 'bonding' pendukung PDI, pendukung PDIP adalah rakyat wong cilik yang tidak suka berbagi bentuk kamuflase politik. Rakyat itu apa adanya, rakyat yang bicara dengan bahasa rakyat, sehingga aspek-aspek historis itu tetap dilakukan," kata Hasto.
Faktor Masa Lalu Masih Membekas
Analis politik dari Indostrategi, Arif Nurul Imam menilai, pernyataan Andi Arief masih bersifat spekulatif bahwa kubu Hasto yang tidak ingin Demokrat berkomunikasi dengan PDIP. Akan tetapi, Imam memaklumi PDIP enggan berkomunikasi karena faktor sejarah masa lalu. Hal itu yang membuat Demokrat dan PDIP sulit bersatu.
“Yang jelas PDIP dan Demokrat itu punya sejarah politik yang bertentangan karena ketika Pilpres 2004, Pak SBY dituduh berkhianat pada Ibu Mega. Saya kira itu faktor pentingnya. Kalau kemudian faktor apakah faksi Hasto menolak komunikasi dengan Partai Demokrat, itu saya kira bukan faktor utamanya,” kata Imam kepada reporter Tirto, Rabu (9/11/2022).
Imam mengatakan sejarah masa lalu lantas menjadi hambatan psikologis antara kedua pengurus pusat partai. Masalah tersebut menjadi konflik yang tidak kunjung berakhir karena masih ada ego politik antara salah satu atau kedua pihak.
Menurut Imam, masalah PDIP-Demokrat baru selesai jika kedua pihak menurunkan ego politik. Namun ia memastikan bahwa PDIP tidak akan mendapatkan keuntungan apa pun jika menutup komunikasi dengan Demokrat.
Sementara itu, dosen komunikasi politik Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo mengaku tidak paham dengan klaim Andi Arief soal ada kubu Hasto maupun kesulitan komunikasi antara PDIP-Demokrat akibat faksi Hasto. Namun ia menilai, permasalahan masa lalu Megawati dan SBY memang memicu sikap egoisme partai agar tidak berkoalisi.
“Mungkin itu (masa lalu hubungan Megawati-SBY) jadi lebih emosional bagi kader-kader PDIP yang lain gitu kan. Karena ada pride mungkin, ada urusan kebanggaan partai, yang itu menjadi menyulitkan dua partai ini untuk berkomunikasi walaupun secara ideologi sebenarnya, kan, enggak terlalu berseberangan gitu,” kata Kunto.
Kunto menilai, kader partai tidak memiliki masalah seperti Jokowi maupun Puan Maharani kepada gerbong Demokrat. Ia yakin para kader PDIP maupun Demokrat berteman dan main bareng, tetapi PDIP dan Demokrat memutuskan untuk berhadap-hadapan demi mengikat pemilih.
“Cuma, kan, secara panggung politik ini kan Demokrat sekarang di luar pemerintahan, sedangkan PDIP itu adalah partai pemerintah, kan, gitu. Jadi secara posisi politik di parlemen itu, jadi model identitas partai untuk mudah dikenali oleh pemilihnya nanti di 2024," kata Kunto.
Kunto menilai, positioning tersebut berharga bagi PDIP maupun Demokrat dalam menjaga pemilih. Sebagai contoh, Demokrat tentu tidak ingin suara anti pemerintah yang dikapitalisasi selama 10 tahun terakhir hilang karena berhubungan dengan PDIP. Di sisi lain, PDIP juga tidak ingin kehilangan basis pemilih yang sudah mendukung kepemimpinan Jokowi selama 10 tahun terakhir.
“Jadi menurut saya, masing-masing punya positioning sendiri-sendiri dan sebenarnya apakah mungkin itu dikompromikan? Ya sangat mungkin. Cuma, kan, problemnya batas dari kompromi itu apa akhirnya? Apakah dengan mengorbankan positioning yang sudah dibangun selama 10 tahun ini?” kata Kunto.
Kunto mengatakan, aksi Demokrat ingin mengajak PDIP berkoalisi tidak lepas dari strategi mereka dalam mengupayakan Agus Harimurti Yudhoyono selaku Ketua Umum Partai Demokrat saat ini sebagai capres maupun cawapres. Hal ini tidak lepas dari bagaimana masih alotnya calon koalisi Nasdem-Demokrat-PKS yang berencana mengusung Anies Baswedan.
Kunto menduga, upaya komunikasi tidak hanya untuk mencari alternatif menyukseskan AHY jadi bakal capres atau cawapres, tetapi juga opsi lain di luar narasi koalisi yang ada melekat di Partai Demokrat.
“Jadi komunikasi dengan semua partai menurut saya sangat penting untuk bisa ada kontijensi plan menuju 2024. Kalau koalisi yang sudah ada sekarang atau calon koalisi yang sudah terbayang sekarang ternyata bubar di tengah jalan gitu,” kata Kunto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz