Menuju konten utama

Jika Megawati-SBY Masih Memimpin, PDIP-Demokrat Mustahil Berkoalisi

Pertikaian kedua politikus itu didasari masalah personal dan bukan karena perbedaan ideologi.

Jika Megawati-SBY Masih Memimpin, PDIP-Demokrat Mustahil Berkoalisi
Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri bersama Menko PMK Puan Maharani berbincang dengan Ketua DPD Oesman Sapta (kedua kiri) saat menghadiri upacara peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/8). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Ketegangan antara Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diprediksi belum akan surut dalam waktu dekat. Sayangnya, ketegangan yang belum juga sudah itu didasari masalah personal saja.

Relasi antara kedua tokoh kembali menghangat setelah SBY menyinggung relasinya dengan Megawati selepas bertemu Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Rabu (25/7/2018) malam. Konflik ini dianggap Ketua Umum Partai Demokrat berpengaruh terhadap peta koalisi jelang pemilu.

SBY menyebut partainya kerap diajak Presiden Joko Widodo (Jokowi) bergabung ke koalisi dalam pemerintah. Akan tetapi, SBY mengaku selalu bertanya kesediaan partai koalisi pendukung Jokowi menerima kehadiran Demokrat jika bergabung dalam barisan pendukung Jokowi.

PDIP menjadi sasaran ujaran SBY karena Demokrat relatif tidak memiliki ketegangan yang akut dengan, misalnya, Golkar dan PKB, dua partai utama yang mendukung Jokowi. Golkar dan PKB, misalnya, pernah berkoalisi dengan Demokrat saat SBY menjabat sebagai presiden. Jika lebih dirinci lagi, problem bukan semata antara PDIP dan Demokrat, melainkan SBY dan Megawati.

“Itu [penerimaan partai koalisi pendukung Jokowi] terus terang merupakan pertanyaan saya, karena melihat realitas hubungan saya dengan Ibu Megawati belum pulih, jadi ada jarak. Masih ada hambatan di situ,” kata SBY.

Pernyataan itulah yang memantik komentar Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Hasto menyebut SBY kerap mengungkit masalah dengan Megawati setiap kali menjelang pemilihan umum.

Ia menganggap apa yang dilakukan SBY didasari niat untuk kepentingan anaknya. Ketimbang menyalahkan Megawati, ia meminta SBY melakukan introspeksi jika gagal berkoalisi dengan barisan koalisi pendukung Jokowi.

“Sebaiknya, pemimpin itu bijak. Kalau tidak bisa berkoalisi dengan Pak Jokowi karena sikapnya yang selalu ragu-ragu, ya, sebaiknya introspeksi dan jangan bawa nama Ibu Mega seolah sebagai penghalang koalisi tersebut,” ujar Hasto, Kamis (26/7/2018).

Berasal dari Masalah Pribadi

Menanggapi konflik dua presiden beda periode ini, peneliti politik dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Alfaraby, berkata konflik tak bisa selesai karena masih ada masalah pribadi. Kondisi itu diyakininya akan bertahan hingga Pilpres 2019 selesai diselenggarakan pada April tahun depan. Situasi ini mengakibatkan nyaris mustahil membangun rekonsiliasi guna menciptakan koalisi antara Demokrat dan PDIP.

“Kita akan sulit membayangkan dan mendapat kepastian kapan kedua tokoh ini akhirnya bisa menyatu dalam satu koalisi,” ujar Adjie kepada Tirto.

Adjie menilai konflik ini hanya akan terjadi di lingkaran elite politik dan tidak akan berimbas ke akar rumput. Konflik dinilainya baru akan reda jika kedua partai sudah tidak lagi berada di bawah pengaruh Megawati serta SBY.

“Ketika Demokrat dan PDIP dipimpin tokoh yang lain, bisa saja terjadi [koalisi kedua partai]. Tapi sampai sekarang, ketika orang yang berpengaruh di masing-masing partai masih mereka, itu sulit terjadi,” ujar Adjie.

Tak jauh berbeda dengan Adjie, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menilai konflik dua politikus senior ini dipicu pandangan terhadap masing-masing pihak. Konflik ini, kata dia, sebenarnya tak menjadi masalah selama tidak ada pelanggaran hukum. Ia juga tak ambil pusing dengan tafsir masing-masing kader atas konflik yang terjadi di antara dua pemimpin mereka. Hanya saja, Indria menyebut, kader partai sebaiknya memikirkan dan melakukan hal lain yang lebih produktif daripada terjebak dalam konflik yang tak produktif ini.

“Kalau berpikir [konflik ini bagian dari] tugas partai, mestinya [kader] partai itu memperjuangkan, misalnya, bagaimana agar rakyat Gunung Kidul tak kekeringan terus, agar orang Papua mengejar ketertinggalan. Tidak hanya sibuk dengan konflik antarelite,” ujar Indria kepada Tirto.

Infografik CI Megawati

Awal Mula Konflik

Jika dirunut lebih jauh, konflik Megawati dan SBY bermula pada 2004. Saat itu, SBY yang menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) merasa dikucilkan Megawati yang menjabat sebagai presiden. Perasaan itu muncul setelah SBY tidak dilibatkan dalam pembahasan PP Kampanye Pejabat Tinggi Negara.

Setelah itu, SBY sempat mengirim surat kepada Megawati pada 9 Maret 2004. Ia ingin berkonsultasi mengenai tugasnya sebagai Menko Polkam. Akan tetapi surat itu tak dibalas Megawati.

SBY akhirnya mengundurkan diri sebagai Menko Polhukam pada 11 Maret 2004. Setelah itu, ia menjadi calon presiden dan berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK). SBY kemudian berhadapan dengan Megawati yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi di Pemilu Presiden 2004.

Pada debat yang diselenggarakan 16 September 2004, Mega dikabarkan berpesan kepada panitia agar tidak ada jabat tangan antarcapres. Setelah itu, SBY-JK terpilih sebagai presiden dalam pemilu. Pada saat pelantikan SBY sebagai presiden, Megawati menolak menghadiri pelantikan dan hanya mengirim doa agar acara berjalan lancar.

Selama SBY menjadi presiden dari 2004-2014, PDIP menjadi partai oposisi. Posisi berubah saat PDIP menang pemilu 2014 dan capres yang diusungnya, Jokowi, menjadi pemenang pemilu presiden. Demokrat memilih bersikap netral selama pemilu 2014 dan sepanjang periode pemerintahan Jokowi.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Mufti Sholih

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi & Lalu Rahadian
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih