Menuju konten utama

Kawal Putusan Presidential Threshold Jangan Sampai Diakali Rezim

Belajar dari aksi Peringatan Darurat RUU Pilkada pada Agustus 2024, putusan MK soal penghapusan presidential threshold 20 persen juga harus dikawal.

Kawal Putusan Presidential Threshold Jangan Sampai Diakali Rezim
Suasana sidang putusan uji materi undang-undang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (2/1/2025). ANTARA FOTO/Fauzan/rwa.

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) melahirkan putusan penting di awal 2025 karena mencoret ketentuan presidential threshold 20 persen bagi pencalonan presiden dan wakil presiden. Kamis (2/1/2025), putusan ini dibacakan MK pada perkara 62/PUU-XXII/2024. Permohonan perkara dilayangkan sejumlah mahasiswa yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna.

Sikap MK yang mengabulkan seluruhnya gugatan pemohon yang menguji norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kali ini bisa disebut sebagai pemecah kebuntuan. Sebab dalam perkara-perkara sebelumnya yang menguji presidential threshold 20 persen, MK selalu konsisten menolak atau tidak menerima. Bahkan, dalam tiga perkara senada yang dilayangkan tiga pemohon lain dalam waktu yang bersamaan dengan perkara Nomor 62/2024, MK juga menolak ketiganya.

Sejak 2014 hingga awal 2025, MK sudah menolak 35 perkara berkaitan dengan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen. Sebelum UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu dilahirkan, pemohon menyasar Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur aturan yang sama soal ambang batas 20 persen bagi calon presiden dan wakil presiden.

Sejumlah partai politik (parpol) dan pengamat hukum konstitusi menilai putusan MK sebagai sebuah angin segar. Dalam amar putusan, MK menegaskan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam putusan perkara nomor 62/2024 ini, MK memberikan lima pedoman rekayasa konstitusional yang bisa dijalankan pembentuk UU – Pemerintah dan DPR RI – dalam menyusun revisi UU Pemilu.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, menyatakan DPR dan Pemerintah wajib mengakomodir putusan MK saat agenda revisi UU Pemilu. Hal yang harus diperhatikan pembentuk UU atas putusan MK adalah poin bahwa semua parpol peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dan bisa dilakukan tanpa terikat persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah nasional.

“Pengusulan pasangan calon dapat dilakukan secara gabungan antarpartai politik, sepanjang tidak menimbulkan dominasi partai tertentu,” kata Annisa kepada wartawan Tirto, Jumat (3/1/2025).

Pemungutan suara Pemilu 2024 di perbatasan RI-PNG

Seorang warga Papua Nugini yang telah memiliki KTP Indonesia memperlihatkan jari yang telah dicelup tinta usai menggunakan hak pilihnya di TPS 01 Pasar PLBN Skouw, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua, rabu (14/2/2024). ANTARA FOTO/Sakti Karuru/tom.

Partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat dikenakan sanksi berupa larangan mengikuti pemilu berikutnya. Selain itu, agenda revisi UU Pemilu wajib melibatkan partisipasi seluruh pihak yang memiliki perhatian penyelenggaraan pemilu. Termasuk partai-partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR.

Annisa menilai, putusan MK terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden ini memang sangat menguntungkan partai gurem atau partai yang tidak memiliki kursi di DPR. Mereka nantinya dapat mengusulkan capres-cawapres pada Pemilu 2029. Imbasnya, akan ada potensi banyak capres dan cawapres dalam pesta demokrasi berikutnya.

Berkaca pada efek dari Putusan MK Nomor 60/2024 yang telah mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah menjadi lebih rendah, dominasi koalisi parpol masih juga terjadi. Annisa melihat, pada realitanya cakada di daerah justru menunjukkan dominasi koalisi besar meskipun ambang batas pencalonan sudah diturunkan. Fenomena tersebut dapat menjadi pembelajaran untuk mengatur lebih lanjut terkait MK 62/2024 untuk kemudian menentukan ambang batas maksimal pencalonan.

“Perlu diatur lebih lanjut adalah terkait ambang batas maksimum pencalonan agar tidak didominasi oleh salah satu partai politik,” kata Annisa.

Pakar hukum kepemiluan dan pengajar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, mengingatkan untuk belajar dari aksi "Peringatan Darurat" RUU Pilkada pada Agustus 2024. Momen tersebut semestinya menjadi pembelajaran bagi seluruh pihak agar jangan ada upaya untuk mendistorsi atau menyimpangi Putusan MK No.62/PUU-XXII/2024.

Apalagi, kata Titi, pihak yang mencoba membuat tafsir untuk membengkokkan perintah atau judicial orders dari putusan MK. Rakyat sangat sensitif pada pembonsaian hak-hak mereka, seperti yang sempat dilakukan DPR saat berupaya menggagalkan keberlakuan Putusan MK Nomor 60/2024 dan Putusan MK Nomor 70/2024 terkait Pilkada 2024.

“Pilihan yang paling bijak dan tepat bagi pembentuk UU adalah melaksanakan Putusan MK dengan konsisten, utuh, dan sebaik-baiknya. Apalagi momentum itu sudah tersedia melalui revisi UU Pemilu yang masuk dalam Prolegnas Tahun 2025,” ucap Titi kepada reporter Tirto, Jumat (3/1/2025).

Titi menyarankan, pembentuk UU dapat mengatur lebih lanjut putusan MK yang berkaitan soal ketentuan dominasi koalisi parpol dalam pencalonan capres-cawapres. Sesuai putusan MK, parpol atau gabungan parpol tidak boleh menimbulkan terbatasnya paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

Menurut Titi, sejatinya melalui pernyataan itu, MK menghendaki agar tidak ada aksi borong parpol demi kepentingan dominasi pencalonan capres-cawapres. Sebab semangat putusan MK adalah keragaman pilihan bagi pemilih. Karena itu, pembentuk UU harus merumuskan formula agar keragaman pilihan dapat diwujudkan.

Pembentuk UU juga harus mengatur agar peserta pemilu tidak asal-asalan mengusulkan calon. Parpol harus memastikan bahwa calon yang diusung lahir dari proses rekrutmen yang demokratis. Misalnya, kata Titi, calon diputuskan melalui pemilihan atau keputusan internal partai yang inklusif. Bukan sebatas karena punya popularitas, isi tas, dan selera elite.

“Jangan sampai ada tafsir yang memutarbalikkan hukum bahwa putusan ini bisa ditunda keberlakuannya sepanjang diatur oleh pembentuk undang-undang. Semua pihak harus taat dan konsisten dalam berkonstitusi,” terang Titi.

Jangan Sampai Diakali Pembentuk UU

Sejumlah parpol menyambut baik putusan MK Nomor 62/2024 yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Komentar dari Sekjen Partai Golkar, Sarmuji, misalnya, yang terkejut dengan putusan MK itu. Ia beralasan, tidak sedikit gugatan di MK soal presidential threshold kerap berujung penolakan, tetapi kali ini malah dikabulkan.

Sementara Waketum PKB, Jazilul Fawaid, menanggapi penghapusan presidential threshold 20 persen sebagai “kado tahun baru” yang akan menuai berbagai pandangan, polemik dan kontroversi. Jazilul menilai pada akhirnya pembentuk UU yang harus bekerja menyesuaikan putusan MK dalam revisi UU Pemilu.

“Hemat saya, pasal ini tersebut termasuk dalam open legal policy, yang mestinya DPR dan pemerintah yang akan menyusun kembali norma dalam revisi UU Pemilu,” ucap dia.

Parpol non-parlemen atau yang tak lolos kursi di DPR juga bersuara. Sebagaimana respons dari Partai Perindo yang memandang ambang batas atau presidential threshold 20 persen, menghambat mereka selama dua pemilu terakhir. Wakil Ketua Umum Perindo, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, menyambut baik putusan MK nomor 62/PUU-XXII/2024. Putusan MK dinilai sudah selaras dengan Pasal 6A UUD 1945.

"Sebagai partai peserta pemilu, kami seharusnya memiliki hak setara untuk mencalonkan presiden. Presidential threshold justru menghambat proses demokrasi yang konstitusional," kata Ferry, dalam keterangannya, Kamis (2/1/2025).

Di sisi lain, Ketua DPP PDIP, Said Abdullah, mengatakan pihaknya akan mengedepankan rekayasa konstitusional yang diamanatkan MK dalam putusan Nomor 62/2024. PDIP bakal membahas aturan kerja sama parpol dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Dalam kacamata Said, MK meminta pembentuk undang-undang untuk mengatur agar tidak muncul banyak pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Said Abdullah

Ketua DPP PDIP, Said Abdullah, saat ditemui awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (14/10/204). (Tirto.id/Rahma Dwi Safitri)

Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, menyatakan MK meminta pembentuk undang-undang memang mengatur agar jumlah calon presiden dalam pemilu tidak terlalu banyak. Dalam putusan tersebut, terdapat lima panduan yang diberikan MK untuk pembentuk UU terkait mekanisme pencalonan.

Salah satu poin yang menarik, kata Felia, adalah panduan yang menyebutkan bahwa parpol peserta pemilu yang tidak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu, tidak diperbolehkan menjadi peserta pemilu pada pemilu berikutnya.

“Poin ini memiliki beberapa poin plus, seperti mendorong partai politik untuk berpartisipasi aktif dalam mencalonkan pasangan calon, karena partisipasi tersebut menjadi syarat untuk mengikuti pemilu selanjutnya,” kata Felia kepada reporter Tirto.

Maka parpol didorong tidak punya pilihan selain menyiapkan kader terbaiknya. Dengan kata lain, parpol harus melakukan reformasi lembaga agar dapat berfungsi semestinya sebagai tiang demokrasi. Felia menilai ketentuan tersebut akan membuat pemilu lebih efisien karena cuma parpol yang benar-benar terlibat dalam pencalonan, yang akan berkompetisi di pemilu berikutnya.

Kendati begitu, aturan tersebut juga membawa risiko, terutama bagi partai kecil yang punya keterbatasan sumber daya. Tanpa dukungan yang memadai, partai gurem berpotensi lebih mudah dikooptasi oleh partai besar atau koalisi dominan. Alhasil, tetap mempersempit ruang keberagaman politik dan opsi kandidat.

“Seharusnya aturan ini jangan sampai memaksakan parpol yang tidak kompeten maupun kandidat yang tidak mumpuni untuk ikut bertarung tanpa memenuhi kualifikasi,” kata Felia kepada reporter Tirto.

Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, mengatakan legislatif akan menindaklanjuti putusan 62/PUU-XXII/2024. Putusan MK dinilai menjadi babak baru bagi keberlangsungan demokrasi konstitusional Indonesia.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa pemerintah menghormati putusan MK Nomor 62/2024.

Yusril mengatakan setelah ada keberadaan putusan yang menghapus aturan ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden, pemerintah secara internal membahas implikasinya terhadap pengaturan pelaksanaan pilpres 2029. Yusril memastikan bahwa seluruh pihak, termasuk pemerintah, tidak dapat melakukan upaya hukum apapun terhadap putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

"Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan Presidential Threshold, maka Pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR," kata Yusril dalam keterangan tertulis, Jumat (3/1/2025).

Baca juga artikel terkait PRESIDENTIAL THRESHOLD atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang