tirto.id - Penilaian Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, yang merasa khawatir terlalu banyak partai politik di DPR bisa mengganggu kerja legislasi dan pemerintahan, dinilai keliru. Dasco menilai jika DPR terlalu banyak diisi parpol, maka susah melakukan konsolidasi antarfraksi. Hal ini disampaikan Dasco dalam merespons peluang dihapusnya ambang batas parlemen atau parliamentary threshold oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Diskursus untuk merombak ambang batas presiden kembali mengemuka usai pendiri Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa ia mendukung dihapusnya ambang batas parlemen. Hal ini Yusril sampaikan, mengacu preseden putusan MK yang sudah bisa menghapus ambang batas pencalonan presiden 20 persen. Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan tersebut menilai harapan menghapus ambang batas parlemen terbuka karena MK menghapus ambang batas presiden.
Sebelumnya, MK sudah menghapus ambang batas presiden 20 persen, dan meminta agar pembentuk undang-undang mengatur ulang ketentuan itu dengan partisipatif. Sementara itu, MK sebetulnya juga sudah pernah meminta pembentuk undang-undang – pemerintah dan DPR – mengubah ambang batas parlemen sebelum Pemilu 2029. Hal ini disampaikan MK lewat putusan perkara 116/PUU-XXI/2023 yang diajukan Perludem.
MK menyatakan bahwa ambang batas parlemen 4 persen cuma berlaku untuk Pemilu 2024. Dalam putusannya, perbaikan ambang batas parlemen untuk Pemilu 2029 didesain untuk berkelanjutan, menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional, dan tetap ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyederhanaan partai politik. Maka pembentuk undang-undang harus melibatkan semua pihak, dan perubahan dilakukan sebelum Pemilu 2029.
Pakar hukum kepemiluan dan pengajar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menyatakan bahwa Komisi di DPR berjumlah 13 Komisi. Dengan ilustrasi itu, ia menilai seharusnya partai politik bisa membentuk fraksi hanya jika memperoleh sebanyak 13 kursi. Dengan demikian, kata Titi, tidak perlu ada pemberlakuan ambang batas parlemen melainkan cukup dengan pemberlakuan ambang batas pembentukan fraksi.
“Sebab, yang dibutuhkan itu konsentrasi kekuatan politik di DPR yang tidak terfragmentasi secara ekstrim dan hal itu bisa dilakukan dengan pemberlakuan ambang batas pembentukan fraksi,” ucap Titi kepada wartawan Tirto, Kamis (16/1/2024)
Titi menilai, pembentuk undang-undang seharusnya tidak menghambat partai politik peserta pemilu untuk memperoleh kursi di DPR karena ambang batas parlemen. Penyederhanaan parpol di DPR bisa dilakukan tanpa harus menggunakan ambang batas parlemen. Maka hal itu selain dilakukan lewat ambang batas pembentukan fraksi, juga dapat dilakukan melalui penyederhanaan besaran daerah pemilihan.
Sistem ini bisa dilakukan dengan pengecilan atau pengurangan jumlah kursi yang berlaku di daerah pemilihan. Titi menambahkan, pemilihan sistem pemilu juga bisa berkontribusi dalam penyederhanaan sistem kepartaian. Misalnya, dengan menerapkan sistem pemilu campuran (mixed system) dengan mengkombinasikan pluralitas/mayoritas first past the post (FPTP) dengan dapil berkursi tunggal (single-member district). Sistem proporsional daftar tertutup dengan dapil berkursi banyak/jamak (multi-member district).
“Praktik sistem pemilu di dunia membuktikan sistem pemilu campuran lebih mampu menyederhanakan sistem kepartaian dengan tetap menjaga proporsionalitas hasil pemilu,” ucap Titi.
Titi melihat, apabila penghapusan ambang batas parlemen disertai upaya rekayasa elektoral (electoral engineering) secara tepat, maka tidak akan membuat fragmentasi ekstrim di DPR. Argumen ini membantah pendapat Dasco, karena rekayasa elektoral yang tepat tidak akan berdampak pada fungsi legislasi maupun fungsi lainnya dari pemerintahan dan parlemen.
Justru, tercapai inklusivitas politik di DPR. Maka ini adalah terobosan yang baik bagi praktik demokrasi dan sistem presidensial di Indonesia untuk mencegah tirani mayoritas parpol.
“Dan memastikan kontrol parlemen sebagai kekuatan penyeimbang tetap bekerja baik,” sambung Titi.
Sementara peneliti senior dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, merasa idealnya apabila ingin konsisten dengan sistem presidensial, memang jumlah parpol di parlemen seharusnya tidak perlu banyak-banyak. Namun, kata dia, selama ini, jumlah delapan hingga belasan parpol per periode, sudah pernah menghuni parlemen sejak ambang batas diberlakukan di Pemilu 2009. Menurutnya, jumlah itu juga tampak tidak mengganggu pemerintahan secara signifikan.
“Artinya ketakutan banyaknya partai di parlemen bisa mengganggu pemerintahan tak cukup punya alasan dari sisi pengalaman di era reformasi ini,” ucap Lucius kepada wartawan Tirto.
Selama ini, nilai Lucius, masalah utama DPR bukan pada jumlah parpol, tetapi lebih kepada kualitas parpol dan kadernya di parlemen. Kualitas parpol tiap periode DPR tidak mengalami perbaikan yang signifikan untuk pantas disebut sebagai pilar demokrasi. Parpol cenderung menjadi kendaraan politik, sehingga kepentingan elite lebih dominan diperjuangkan di DPR.
Dengan kualitas parpol seperti itu, jumlah partai yang semakin banyak di parlemen memang mengganggu. Bayangkan, kata Lucius, jika masing-masing parpol sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri di parlemen. Otomatis rakyat dilupakan, berganti kepentingan kelompok.
Sebaliknya, akan beda cerita jika parpol menjadi institusi yang demokratis dan bermartabat. Jika demikian, mudah membayangkan kerja parpol mempersiapkan kader menjadi anggota parlemen. Sehingga parlemen berjalan dengan ideal, yakni tempat wakil parpol memikirkan kepentingan publik.
“Jadi kerusakan utama itu tetap saja di partai politik kalau bicara soal kondisi parlemen, bukan terutama pada jumlah parpol yang ada,” ucap Lucius.
Menimbang Dalih Efektivitas
Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, justru memandang bertambahnya parpol DPR justru akan menambah nilai dan usulan dari produk legislasi. Pernyataan Dasco, ungkap Musfi, lebih terasa semacam kekhawatiran atas kerumitan orkestrasi suara fraksi-fraksi di parlemen apabila jumlah parpol semakin banyak.
“Jika parpol bertambah, otomatis fraksi yang perlu dilobi untuk memuluskan UU juga akan bertambah. Ini yang dimaksud Dasco mengganggu legislasi,” ucap Musfi kepada wartawan Tirto.
Dalam konteks berdemokrasi, pernyataan Dasco ini tentu saja tidak tepat. Demokrasi adalah wadah untuk menampung dan berdialog dengan keberagaman. Bila Dasco cuma khawatir pada pada persoalan teknis seperti orkestrasi politik dan lobi fraksi, dalih itu sama sekali tak mencerminkan nilai-nilai demokrasi.
Musfi membenarkan bahwa pernyataan Dasco lebih terasa seperti kekhawatiran akan status quo segelintir parpol di DPR akan terancam. Dengan bertambahnya parpol, maka upaya lobi politik juga bertambah. Memang akan ada potensi untuk tidak selaras dan seirama.
Pasalnya, saat ini posisi antarparpol terbilang mapan dan stabil di DPR. Peta orkestrasi dan lobi fraksi sudah terbentuk. Maka jika jumlah parpol bertambah, peta politik akan berubah.
“Ini yang dikhawatirkan.Apalagi jika ambang batas parlemen dihapuskan, khawatir banyak parpol-parpol baru yang belum tentu akan mendukung agenda status quo,” ujar Musfi.
Maka, dalam konteks nilai demokrasi, penghapusan ambang batas parlemen adalah sinyal positif. Langkah itu memberi kesempatan pada parpol kecil yang menyuarakan suara marjinal untuk masuk di Senayan. Namun dalam persoalan teknis di politik, berpotensi akan membuat lobi parpol dalam membuat perumusan UU akan lebih lama. Bertambahnya parpol berarti bertambahnya waktu dan ruang lobi.
“Contohnya UU yang mengatur tambang. Jika parpol yang menyuarakan isu lingkungan masuk, UU yang mengatur tambang atau segala aktivitas yang berpotensi merusak alam pasti selalu dibantah dan terus ditolak,” terang Musfi.
Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Kholil Pasaribu, juga menganggap pernyataan Dasco keliru. Kholil menilai banyaknya parpol di DPR bukan mengganggu fungsi legislasi, tetapi lebih pantas disebut mengganggu ‘negosiasi politik’ dalam proses legislasi. Kedua hal ini berbeda secara prinsip.
Jika DPR mendasarkan kepentingannya murni pada kepentingan rakyat, pasti tak akan ada negosiasi sulit dalam pembentukan undang-undang. Namun jika terlalu banyak kepentingan di luar manfaat publik, pasti prosesnya akan rumit.
Menurut Kholil, selama ini alasan utama yang digunakan untuk menjustifikasi pasal ambang batas parlemen adalah menyederhanakan parpol. Namun faktanya, secara akademik hal ini tidak pernah tercapai jika mengacu pada indeks ENPP (Effective Number of Parliamentary Parties). Ingat, kata Kholil, menyederhanakan parpol tidak sama dengan mengurangi jumlah parpol.
Dengan hilangnya ambang batas parlemen, akan lebih banyak parpol duduk di Senayan. Cara-cara yang menggunakan jalan pintas, seperti mengorkestrasi kebijakan yang memberi keuntungan pragmatis bagi penguasa dan koalisi partai, tidak akan mudah dilakukan.
Sebab, belum tentu parpol kecil mau diajak sepakat untuk kebijakan bertentangan dengan keinginan rakyat. Terutama jika partai kecil ingin memanfaatkan momentum seperti itu untuk mendongkrak dukungan publik. Sikap kritis DPR akan tercipta kembali, tak seperti beberapa tahun ini, dimana DPR seperti tidak memiliki fungsi pengawasan.
Secara prinsip, kata Kholil, penghapusan ambang batas parlemen akan mengembalikan esensi sistem pemilu Indonesia yang proporsional. Selama ini, terlalu banyak suara pemilih yang terbuang dan dialihkan tanpa persetujuan pemilih kepada parpol lain.
Maka, bila ternyata tujuan dan capaian dari ambang batas parlemen tidak sejalan, tidak ada alasan yang kuat untuk mempertahankannya. Setiap parpol peraih kursi terbanyak di DPR, dari dulu memang cenderung menolak ide penghapusan ambang batas parlemen.
“Karena pasti khawatir akan kehilangan status quo sebagai partai besar dan berpengaruh. Apalagi jika itu partai penguasa,” ucap Kholil.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang