tirto.id - Pernyataan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko menjadi sorotan. Saat menerima Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) di Gedung Bina Graha, Jakarta Pusat, Kamis (3/11/2022), Moeldoko menegaskan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tetap berlaku meski Mahkamah Konstitusional menyatakan inkonstitusional bersyarat.
“Sebab putusan Mahkamah Konstitusi lebih pada persoalan formil belum ke substansi,” kata Moeldoko saat menerima audensi APINDO tersebut.
Moeldoko memastikan, perbaikan UU Cipta Kerja mengacu penuh pada UU No 13/2022 tentang perubahan kedua atas UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Regulasi tersebut mengatur tentang metode omnibus dalam pembentukan perundang-undangan, memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna, pembuatan perundang-undangan secara elektronik, hingga kemudahan akses bagi penyandang disabilitas.
“Terkait partisipasi publik, kita akan dorong dan lakukan. Supaya masyarakat tidak lagi skeptis terhadap UU CK [Cipta Kerja]” terang Moeldoko.
Pada kesempatan itu, Panglima TNI periode 2013-2015 ini juga memastikan, pemerintah telah bekerja keras untuk mendatangkan investor yang besar dan memberikan manfaat kepada masyarakat, terutama dalam penyerapan tenaga kerja. Untuk itu, dibutuhkan stabilitas politik, efisiensi, dan kepastian dalam berbagai hal.
Pernyataan Moeldoko merupakan respons dari keluhan APINDO soal tafsir putusan MK tentang UU Cipta Kerja. Sebagai catatan, Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. UU Cipta Kerja tidak punya kekuatan mengikat jika tidak ada perbaikan dalam kurun waktu dua tahun.
Dalam pertemuan dengan Moeldoko dan pihak Istana, Ketua Umum APINDO, Hariyadi B. Sukamdani menilai, UU Cipta Kerja banyak mengatur hal positif. Ia mencontohkan soal pengupahan, yang formulanya membuat kesenjangan upah antardaerah mengecil karena menyesuaikan dengan tingkat konsumsi daerah.
“Formula pengupahan UU CK dan PP 36/2021 adalah rumusan yang baik, sehingga pekerja di masing-masing daerah dibayar dengan layak dan sesuai,” kata Hariyadi dalam pertemuan dengan Kantor Staf Kepresidenan.
Ia juga menyebut soal aturan waktu kerja di dalam UU Cipta Kerja yang lebih fleksibel dan sesuai dengan konteks ketenagakerjaan Indonesia saat ini.
“Sayang sekali kalau sesuatu yang baik dan dibuat bersama ini kemudian diganti. Sebab dengan status Inkonstitusional Bersyarat dari MK itu menuntun opini bahwa UU CK tidak berlaku. Saya harap pemerintah meluruskan hal ini,” ujar Hariyadi.
Dinilai Membohongi Publik
Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Ilhamsyah menyoal klaim Moeldoko tentang tafsir putusan MK terkait UU Cipta Kerja. Ia menyayangkan sikap pemerintah yang membohongi publik dengan menyatakan UU Cipta Kerja tetap berlaku.
“Pemerintah dan pengusaha menginterpretasikan bahwa substansinya itu tidak ada yang berubah. MK cuma hanya menjelaskan pada persoalan cacat formil, tetapi mereka tidak pernah mau jujur, mengakui bahwa dalam putusan MK juga memuat keputusan tentang pasal-pasal yang istilahnya berdampak luas terhadap masyarakat itu harus ditangguhkan,” kata pria yang karib disapa Boing itu kepada Tirto.
Boing menambahkan, “Ada poin yang dijelaskan oleh MK untuk tidak memberlakukan pasal-pasal yang mempunyai dampak luas [...] jadi apa yang disampaikan Moeldoko, MK tidak hanya memutuskan persoalan cacat formil, tapi juga ada yang substansinya yang diputuskan oleh MK untuk tidak diberlakukan.”
Boing juga menyesalkan sikap APINDO yang mendorong pengupahan berdasarkan PP No. 36 tahun 2021 tentang Pengupahan. Ia menilai, pengusaha tidak menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi ditopang dari konsumsi yang notabene berkaitan dengan upah. Perubahan upah akan memengaruhi daya beli yang berujung pada pelambatan ekonomi bila tidak mengalami kenaikan upah.
Selain itu, Boing menilai pemerintah bermasalah dalam penentuan upah. Seingat Boing, Indonesia adalah satu-satunya negara yang menetapkan upah di bawah inflasi.
“Ini tidak pernah masuk akal. Sangat-sangat tidak masuk akal. Tidak ada negara setahu saya di dunia ini yang menetapkan upah di bawah inflasi. Ini kan aneh. Bagaimana logikanya satu negara menetapkan keputusan resmi yang dibuat oleh negara, dia menetapkan upah di bawah inflasi," kata Boing.
Boing mengingatkan, kemiskinan berada di depan mata karena upah berada di bawah inflasi. Ia pun mengingatkan, kelas menengah bisa menjadi kelas bawah dan angka kemiskinan bisa semakin tinggi.
Dari temuan-temuan di atas, Boing menilai, era Jokowi saat ini sangat mencerminkan sebagai pemerintahan yang dekat dengan pengusaha. Hal ini diperburuk dengan tidak ada anggota parlemen yang bersuara soal nasib kelas kerja. Pemerintah, baik legislatif maupun eksekutif jusru mengamini upah kerja. Ia sebut, ada daerah yang tidak naik upah setelah UU Cipta Kerja berlaku di tengah kenaikan inflasi.
“Indonesia ini semenjak Undang-Undang Cipta Kerja disahkan, itu kenaikan upah sudah menggunakan UU Cipta Kerja, kenaikannya 0,9 persen setiap tahun. Tahun kemarin 1,09, ada yang 0,9, ada yang tidak naik upah sama sekali sedangkan inflasi terus tinggi akibat Covid, akibat krisis global yang ada pada hari ini dan ini jelas akan menambah kesenjangan sosial, ini terus akan memiskinkan kelas pekerja mayoritas yang ada di negeri ini,” kata Boing.
Boing mendesak pemerintah tidak asal dalam menafsirkan UU Cipta Kerja. Ia mendorong agar pemerintah mengembalikan aturan pengupahan pada UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan daripada ngotot menerapkan UU Cipta Kerja. Ia beralasan, putusan MK mengamanatkan tetap kembali mengacu kepada UU 13/2003.
Dengan kata lain, penetapan UMP atau UMR 2023 harus kembali ke sistem UU 13/2003 atau setidaknya kembali mengacu pada PP 78/2015 tanpa menerapkan UU Cipta Kerja. Penerapan UU 13/2003 akan membuat penilaian upah secara objektif dengan rumus yang jelas, yakni berdasarkan komponen hidup layak, daripada mekanisme penghitungan upah saat ini yang tidak jelas.
“Kalau seandainya penetapan upah, kan, kebutuhan hidup. Tanya dong harga pasarnya berapa. Itu yang paling objektif. Nah, makanya kami menolak penetapan upah berdasarkan PP 36 dan Undang-Undang Cipta Kerja,” kata pria yang juga Ketua Bappilu Partai Buruh itu.
Salah Secara Hukum
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari juga mengkritik pemahaman Moeldoko soal UU Cipta Kerja tetap berlaku. Ia menilai, Moeldoko tidak memahami konsep persidangan MK. Feri menegaskan, UU Cipta Kerja inkonstitusional menyeluruh dan tetap bisa tidak berlaku jika tidak ada perbaikan dalam dua tahun.
“Mahkamah Konstitusi tidak menyatakan pasal per pasal yang inkonstitusional, tapi seluruh undang-undangan dinyatakan inkonstitusional," tegas Feri saat dikonfirmasi reporter Tirto terkait pernyataan Moeldoko.
Feri menambahkan, “Jadi yang dinyatakan Pak Moeldoko bahwa tidak ada pasal-pasal yang diubah itu tidak tepat karena seluruh undang-undangnya dibatalkan oleh MK walaupun sementara dibutuhkan perbaikan selama 2 tahun, kalau tidak ada perbaikan maka baru inkonstitusional permanen selama-lamanya.”
Feri menegaskan bahwa MK tidak memberikan ruang kosong dalam masalah pengupahan. Penentuan UMP 2023 tetap harus dilakukan, tetapi dengan menggunakan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan bukan dengan UU Cipta Kerja.
Sebab, kata Feri, UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional dan aturan yang berlaku adalah peraturan yang lama. Dalam kasus ketenagakerjaan dan penentuan upah, pengaturan upah kembali pada UU Ketenagakerjaan.
“Jadi ketentuan Undang-Undang 13 tentang Tenaga Kerja diberlakukan kembali, terkait dengan UMP. Jadi Apindo dan Istana tidak boleh mengada-ada. Jadi yang sesuai dengan aturan hukum saja berpedoman tidak memaknai aneh-aneh atau menyimpang," kata Feri.
Ia menilai, upaya tafsir sendiri tidak hanya dilakukan Moeldoko. Mendagri Tito Karnavian juga menerobos putusan MK dengan menyatakan UU Cipta Kerja tetap berlaku.
Selain omongan Moeldoko, Istana juga pernah menabrak aturan dengan membentuk bank tanah dengan dasar Undang-Undang Cipta Kerja, padahal MK meminta agar UU Cipta Kerja diperbaiki atau inkonstitusional permanen.
Ke depan, ia berharap, para pejabat tidak sembarang dalam berbicara putusan MK tentang UU Cipta Kerja. “Mohon penyelenggara negara tidak bicara serampangan, tidak memahami hukum, lalu hanya untuk kepentingan pengusaha menafsirkan sesuka hati karena tidak pahamnya dengan konsep hukum yang ada," kata Feri.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz