tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional dan harus diperbaiki. Namun MK dinilai setengah hati sebab dalam masa perbaikan itu UU Ciptaker atau yang dikenal dengan omnibus law Ciptaker itu tetap dinyatakan berlaku.
Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Zainal Arifin Mochtar mengatakan putusan MK terhadap uji materi UU Ciptaker inkonstitusional sudah tepat. Namun terdapat poin-poin yang tidak jelas dan menurutnya akan membawa implikasi buruk.
“Bahwa harus diperbaiki, dikasih kesempatan waktu 2 tahun untuk melakukan perbaikan. Saya pikir itu clear. Yang tidak jelas itu adalah soal konsepsi putusan MK dan bagaimana UU ini sekarang,” kata Zainal melalui sambungan telepon, Jumat (26/11/2021).
Dalam amar putusan perkara 91/PUU-XVIII/2020, poin 3 menyebutkan UU Ciptaker “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan’”.
Namun kemudian pada poin 4 berbunyi bahwa UU Ciptaker “masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.”
Kemudian di poin 7 “menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru” terkait UU Ciptaker.
“Parameter menangguhkan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas itu apa? Misalnya bank tanah. Itu strategis menurut saya. Apakah berarti bank tanah diberhentikan, padahal Peraturan Pemerintah (PP) menyatakan terus dilanjutkan. Itu enggak jelas,” kata Zainal.
Batasan yang tidak jelas ini, menurut Zainal, akan membuat pemerintah tak menghiraukan poin tersebut, sehingga tetap saja UU Ciptaker dan turunanya akan berlaku maksimal 2 tahun dalam masa perbaikan.
PP turunan UU Ciptaker sudah banyak dikeluarkan dan itu merupakan peraturan yang strategis dan berdampak luas. Maka Zainal menilai putusan MK tersebut menjadi tidak jelas mana yang hendak ditangguhkan.
Selain itu, Zainal juga menyoroti amar putusan lainnya yang juga melakukan uji materi terhadap UU Ciptaker, dalam amar putusan Nomor 55/PUU-XIX/2021 dinyatakan bahwa mengenai substansi UU Ciptaker telah diputus dan dinyatakan tidak inkonstitusional. Oleh karena itu, kemudian tidak lagi bisa dilakukan pengujian secara materiil.
“Karena sudah diputus inkonstitusional di sebelah, maka di sebelah sini tidak boleh lagi dilakukan pengujian materiil. Jadi yang masih berlaku itu malah mendapatkan perlindungan, tidak bisa diuji materiil. Padahal di sebelah alasan dikatakan inkonstitusional tapi masih berlaku. Bagaimana maksudnya? Itu membingungkan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, menurut Zainal, seharusnya selama belum diperbaiki maka UU Cipta Kerja ditangguhkan sepenuhnya atau tidak berlaku. Dan apabila dalam 2 tahun tidak dilakukan perbaikan yang layak maka, UU Cipta Kerja tersebut tidak berlaku sepenuhnya.
“Harusnya itu yang dilakukan. Tentu ada pertanyaan, bagaimana implikasinya. Ya harus diperbaiki. Pemerintahlah yang harus memperbaiki karena bikin UU secara ugal-ugalan dan berantakan,” kata Zainal.
Putusan MK Tak Tegas & Setengah Hati
Plt Ketua Umum lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Violla Reininda mengatakan MK tidak dengan membiarkan UU Ciptaker tetap berlaku hingga setidaknya dua tahun ke depan. Belum lagi, dalam amar putusan, MK lebih menitikberatkan pada aspek pembentukan dan aspek materiil bahkan belum tersentuh. Hal ini sangat berpotensi mengakibatkan perubahan hanya terjadi secara parsial di aspek pembentukan saja.
“MK setengah hati dalam menegakkan supremasi konstitusi di tengah carut-marut proses pembentukan undang-undang di Indonesia sepanjang dua tahun ke belakang,” kata Violla dalam keterangan tertulis, Kamis (25/11/2021).
Meskipun MK melarang pembentukan peraturan pelaksana baru, tetapi menurut Violla setidaknya terdapat 51 (lima puluh satu) peraturan pelaksana UU Ciptaker yang sudah disahkan dan tetap akan berlaku serta berdampak pada kehidupan masyarakat, termasuk pula aturan turunan yang ditentang publik.
Menurutnya konsekuensi hukum dari adanya cacat formil suatu undang-undang adalah batalnya undang-undang secara keseluruhan. Oleh karena itu, mengingat pelanggaran formil UU Ciptaker berkenaan dengan aspek fundamental pembentukan undang-undang (aspek partisipasi publik yang bermakna, aspek transparansi, aspek bentuk hukum, asas kejelasan tujuan, asas kejelasan rumusan, dan metode pembentukan), MK seharusnya tidak berdalih dengan amar “inkonstitusional bersyarat” dan secara tegas membatalkan keseluruhan undang-undang.
Di sisi lain, ia menilai putusan MK tidak memulihkan hak konstitusional para pemohon, sebab pelanggaran prosedur yang terjadi tidak lantas diinvalidasi. MK tidak menarik korelasi antara proses pembentukan undang-undang yang buruk dapat berimplikasi pada substansi yang buruk pula.
Pemerintah Ngotot Tetap Berlakukan UU Ciptaker
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan pers, Kamis (25/11/2021) mengatakan pemerintah akan mematuhi putusan MK yakni melakukan perbaikan terhadap UU Ciptaker. Namun ia menegaskan dalam masa perbaikan itu UU Ciptaker tetap berlaku.
“Putusan MK telah menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku secara konstitusional sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukannya sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan oleh MK yaitu harus dilakukan perbaikan paling lama 2 tahun sejak putusan dibacakan," kata Airlangga.
Airlangga juga menegaskan pemerintah akan mematuhi putusan MK bahwa tidak boleh ada aturan baru yang bersifat strategis hingga proses perbaikan UU Cipta Kerja selesai. Namun kata dia aturan turunan UU Ciptaker tetap berlaku.
"Dengan demikian peraturan perundangan yang telah diberlakukan untuk melaksanakan UU Cipta Kerja tetap berlaku," tegas Airlangga.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, pemerintah telah keliru memaknai putusan MK terkait bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.
“Frasa MK yang memerintahkan melakukan perbaikan selama 2 tahun diperbaiki (dan juga dijelaskan dalam putusan uji materiil) sudah sangat terang benderang bahwa pemerintah tidak boleh melakukan tindakan/kebijakan sampai diperbaiki UU aquo. Jadi 2 tahun itu bukan untuk diterapkan, tetapi 2 tahun itu untuk memperbaiki UU Ciptaker,” kata Feri dalam keterangan tertulis.
Perbaikan UU Ciptaker kata MK harus sesuai UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), maka menurut Feri pembentuk UU harus memulai dari tahapan awal pembentukan, terutama soal partisipasi publik yang lemah dan ketidaksesuaian dengan format pembentukan UU yang baik.
“Putusan harus dijalankan oleh pemerintah dan DPR dengan benar. Bukan ditafsirkan dapat dilaksanakan 2 tahun, sekali lagi diperbaiki dalam 2 tahun. Jika dipaksakan pelaksanaan seluruh tindakan/kebijakan maka akan batal demi hukum bahkan dapat berkonsekuensi pidana korupsi jika merugikan keuangan negara, cacat administratif dan dapat digugat perdata,” kata Feri.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz