tirto.id - Eks penyidik KPK AKP Stepanus Robin Pattuju berbicara banyak soal perkara yang menyeret eks Wali Kota Tanjung Balai M. Syahrial. Salah satunya, Robin mengungkapkan bagaimana Syahrial sempat berkomunikasi dengan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam perkara korupsi di Tanjung Balai.
Hal itu ia ungkap saat bersaksi untuk terdakwa advokat Maskur Husain di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (22/11/2021).
“Pada awal kami hanya memantau apakah benar ini ada perkaranya di KPK dan itu semua yang mencari informasi Pak Maskur. Kemudian setelah komunikasi berjalan seminggu, saya dihubungi lagi oleh Syahrial lewat telepon, dia mengatakan 'Bang, sudah dapat informasi belum? Soalnya saya barusan dihubungi sama Bu Lili,’" kata Robin.
Robin menambahkan, “Bu Lili yang menyatakan 'Rial, ini bagaimana berkasmu ada di meja saya?' Terus dijawab sama Syahrial, 'terus bagaimana, Bu? Dibantulah Bu'.”
Robin lantas mendengar cerita dari Syahrial agar Syahrial sebaiknya ke Medan dan bertemu dengan pengacara bernama Arief Aceh. Syahrial lantas bercerita bahwa Lili yang dimaksud adalah Lili Pintauli Siregar yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua KPK.
Syahrial sempat bertanya kepada Robin siapa Arief Aceh, tetapi Robin mengaku tidak kenal. Namun Robin mengetahui bahwa Arief Aceh adalah pemain kasus di KPK berdasarkan keterangan Maskur.
Akhirnya, Robin bertanya kepada Syahrial ingin menggunakan jasanya atau lewat jalur Lili. Robin mengklaim Syahrial akhirnya memilih jalurnya dan menyiapkan fee Rp1,5 miliar. “Jadi, setelah dia memilih, saya katakan 'Ya sudah kalau memang seperti itu, permintaan dari tim kami yang kemarin 'fee' Rp1,5 miliar," ungkap Robin.
Selain membeberkan soal komunikasi Lili dan Syahrial, Robin juga berbicara soal pengaruh Maskur. Ia menyebut bahwa ada kenalan di dalam KPK dengan nama Ali dan Aldi.
“Saya hanya menjelaskan kalau dia (Maskur) punya kenalan banyak di KPK. Saat itu Maskur mengatakan kenal orang KPK yang namanya Ali yang punya jabatan. Saya tidak tahu Ali siapa, kemudian Aldi,” kata Robin.
Robin juga bercerita soal upaya pengurusan kasus dengan eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin dan kader Partai Golkar Aliza Gunado. Ia mengakui ada penyerahan uang hingga Rp3,613 miliar untuk kasus korupsi Lampung Tengah. Namun ia mengakui bahwa ada beberapa keterangan yang berubah saat bersaksi dalam kasus yang melibatkan Azis.
Usai persidangan pun Robin mengajukan permohonan sebagai Justice Collaborator (JC). Dalam surat yang ditandatangani Robin dan kuasa hukumnya, Tito Hananta, Robin melampirkan informasi soal Arief Aceh, pengacara yang berhubungan dengan Lili dan membuka peran Lili dalam kasus Syahrial.
Pernyataan Robin soal Lili Dinilai Tak Cukup Jadi Syarat JC
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM Yogyakarta Zaenur Rohman justru menilai keterangan Robin tidak berdampak apa-apa dalam kasus Lili. Ia menilai pernyataan Robin tidak memenuhi kualifikasi sebagai keterangan saksi dalam perkara dan tidak membawa dampak bagi perkara.
“Robin ini tidak punya kesaksian apa pun soal Lili. Kenapa? Namanya saksi itu melihat, mendengar, mengetahui sendiri. Kalau dia diceritakan orang namanya testimonium de auditu," kata Zaenur kepada reporter Tirto, Selasa (23/11/2021).
Dalam proses pidana, keterangan yang termasuk testimonium de auditu adalah keterangan saksi berdasarkan keterangan orang lain. Hal itu tidak membawa dampak bagi perkara, kata Zaenur. Hal tersebut juga berlaku pada pernyataan Robin yang pernah mendengar dari Syahrial bahwa eks Wali Kota Tanjung Balai itu pernah berkomunikasi dengan Lili.
“Itu tidak bernilai kesaksian, tidak bernilai pembuktian," tegas Zaenur.
Zaenur justru melihat upaya Robin itu hanya demi memperoleh status Justice Collaborator. Akan tetapi, Zaenur memandang JC tidak perlu diberikan kepada Robin karena keterangan Robin belum memenuhi untuk JC. Ia mengingatkan JC diberikan kepada seseorang yang mau mengungkapkan pelaku utama suatu perkara.
“Nah, kalau si Robin mengajukan JC, keterangan untuk menjerat siapa? Harus menjerat pelaku utama dan itu ada syarat JC," kata Zaenur.
Zaenur mengingatkan bahwa syarat JC ada 3. Pertama, harus mengungkap pelaku utama; kedua keterangan yang dimiliki hanya dari saksi pengaju JC; dan ketiga keterangan konsisten. Hal tersebut sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung 4 tahun 2011 soal JC. Ia melihat unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi dalam keterangan Robin.
Hal yang sama juga terjadi pada Robin dalam mengungkap peran Azis Syamsuddin. Robin baru bisa menerima JC jika Azis tidak bisa dijerat tanpa keterangan Robin. Dalam pandangan Zaenur, ia yakin KPK sudah punya banyak bukti dalam menjerat Azis tanpa keterangan Robin.
Akan tetapi, Zaenur mengatakan masalah upaya Robin membuka keterlibatan Lili tidak bisa disamakan dengan kasus Lili. Menurut Zaenur, kasus Lili yang menawarkan bantuan penanganan perkara harus diproses secara hukum.
Ia menilai, aksi Lili dengan Syahrial telah melanggar Pasal 36 UU KPK yang menyebut bahwa adanya larangan insan KPK untuk berkomunikasi dengan pihak berkaitan perkara. Pengusutan kasus Lili menjadi semakin penting karena Dewan Pengawas (Dewas) KPK membenarkan adanya pertemuan tersebut. Keterangan dalam perkara Syahrial seharusnya sudah membuat KPK bertindak.
“Komunikasinya, kan, juga terbukti oleh Dewas. Dewas yang bukan penegak hukum saja dapat informasi sampai pada membuktikan telah terjadi komunikasi, apalagi kalau KPK secara pro-justitia membuka penyidikan. Itu pasti lebih besar lagi kewenangan yang dimiliki KPK untuk melakukan pembuktian itu," kata Zaenur.
Zaenur menambahkan, “Tanpa keterangan Robin pun, KPK sudah seharusnya menjerat Lili Pintauli Siregar karena melakukan pelanggaran pidana sebagai seorang Wakil Ketua KPK.”
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana juga mengkritik keterangan-keterangan Robin jika ingin menjadi Justice Collaborator. Kurnia memandang Robin harus membuka keterangan lebih jauh, tidak sebatas komunikasi Lili dan Syahrial yang ia dengar dari eks Wali Kota Tanjung Balai itu.
Kurnia mengingatkan JC layak diberikan jika keterangan berkontribusi untuk penanganan perkara dan bukan pelaku utama. Soal hubungan Lili-Syahrial yang diungkap Robin tidak ada yang baru sehingga tidak layak jadi syarat dapat JC.
“Itu dari awal dia katakan komunikasi dan sudah dikonfirmasi oleh Dewan Pengawas. Jadi dalam hal itu, bagi ICW, belum ada sesuatu yang worth it untuk ditawarkan untuk sebagai balas jasa untuk mendapatkan JC,” kata Kurnia kepada reporter Tirto.
Menurut Kurnia, “mestinya dia [Robin] bisa membongkar lebih besar lagi terhadap pengetahuan-pengetahuan selama dia terlibat dalam perkara itu.”
Ia lantas melihat korelasi kasus Robin-Syahrial dalam dugaan kasus korupsi penghentian kasus korupsi Tanjung Balai. Ia menilai Robin tidak layak dapat JC karena ia adalah tokoh intelektual dan subjek penghentian perkara Syahrial.
“Itu juga menjadi batu sandungan untuk dia [Robin] mendapatkan JC. Kalau Azis penghubung," kata Kurnia.
“Makanya dia harus membongkar lebih jauh soal pihak lain atau mungkin hal-hal misalnya tindak pidana suap atau pemufakatan jahat yang dilakukan oleh Azis itu lebih clear lagi. Namun di waktu yang sama sebenarnya perbuatan pihak-pihak sudah mulai kelihatan," tutur Kurnia.
Oleh karena itu, Kurnia menyarankan agar JC Robin tidak diterima bila mengacu pada kasus Azis. "Keterangannya masih setengah-setengah," tegas Kurnia.
Di sisi lain, Kurnia mendesak agar KPK melakukan pendalaman perkara Syahrial dan Robin. KPK harus melakukan pendalaman tentang keterlibatan Lili dalam kasus Syahrial. Namun ia meminta agar KPK tidak melibatkan Lili karena khawatir ada konflik kepentingan.
“Setiap keputusan penindakan dalam kasus Syahrial Lili Pintauli tidak boleh terlibat di dalamnya karena ada konflik kepentingan," tegas Kurnia.
Respons KPK
Sementara itu, KPK mengatakan pihaknya akan mempertimbangkan JC yang diajukan Robin tersebut.
“Tim akan menganalisis apakah permohonan ini sudah sesuai dengan syarat dan ketentuan pemberian status JC terhadap terdakwa, sebagaimana ketentuan yang berlaku atau belum,” kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, Selasa (23/11/2021).
Ali mengatakan JC merupakan hak setiap terdakwa dan patut dihormati. Hal ini tertuang dalam SE Mahkamah Agung (MA) Nomor 4 Tahun 2011.
Ali juga menyebut jaksa KPK akan mempertimbangkan JC yang diajukan Robin sesuai dengan fakta persidangan yang tengah berjalan. Sikap Robin selama persidangan juga menjadi pertimbangan pemberian status JC tersebut.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz