tirto.id - 'Ana Dina, Ana Upa'. Sebuah ungkapan lawas Jawa yang memiliki arti: setiap perjuangan selalu ada hasil nyata. Pepatah Jawa tersebut tepat menggambarkan sosok Rohim Afifuddin (38 tahun). Semangat, kerja keras, dan kegigihannya kini mampu mengubah keadaan ekonominya.
Sadar bukan berasal dari keluarga berkecukupan, Rohim harus memutar otak untuk bisa bertahan hidup dengan bermodal ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia memang sempat kuliah di Jogja, tapi terhenti di semester III karena faktor ekonomi.
Selama kuliah, Rohim tak hanya mencukupkan diri belajar di kelas. Ia tidak mau dilabeli mahasiswa “kupu-kupu,” istilah yang disematkan bagi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang hanya kuliah pulang-kuliah pulang (aktivitasnya hanya sebatas kampus dan kos-kosan).
Karena itu, Rohim bergabung dengan Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KeMPeD), basis dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI). Di organisasi pergerakan inilah Rohim banyak bersentuhan dengan persoalan hidup masyarakat yang ia tidak dapat di bangku kuliah, seperti pedagang kaki lima, petani, hingga buruh.
Saat orang tuanya jatuh sakit, Rohim sempat membuka angkringan, khas kaki lima di Yogyakarta. Harapannya, ia bisa tetap melanjutkan kuliah setelah orang tuanya tak sanggup lagi membiayainya. Namun, usahanya itu tutup karena banyak faktor, salah satunya persoalan waktu.
Akhirnya ia harus mengalah dengan keadaan. Pilihan mulia, agar sang adik tetap bisa melanjutkan sekolah.
“Lebih baik adik-adik saya sekolah, saya ngalah. Saya di Cikarang dulu sempat jual kopi di pasar malam, yang penting hidup. Gitu awalnya," ujar Rohim membuka perbincangan dengan reporter Tirto.
Bermodal mesin pencarian Google, ia mulai aktif mencari-cari pekerjaan lain. Satu per satu disisir. Melihat kecocokan dan persyaratan dibutuhkan perusahaan. Hingga akhirnya menemukan lowongan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) untuk penempatan di Korea Selatan. Syaratnya mudah. Kebetulan cukup ijazah SMA dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) saja.
“Dari situ saya coba kursus Bahasa Korea dan alhamdulillah setahun kemudian saya berangkat,” kata Rohim.
Selama tiga tahun berada di Negeri Gingseng, banyak pelajaran diambil. Budaya kerja dari orang Korea yang dikenal ritme kerja cepat, tuntas, dengan hasil terbaik, sedikit banyaknya diserap oleh Rohim. Mental 'pekerja keras' ia lekatkan. Mencoba diadopsi ke dalam negeri untuk bekal kemudian hari.
“Saya mendapat mental pekerja kerasnya sejak dari Korea, dari bos (saya) karena sering ngobrol," imbuhnya.
Sepulang dari Korea, pria kelahiran 6 Oktober 1984 itu sempat kembali menganggur selama kurang lebih satu tahun. Uang hasil kerja kerasnya ludes untuk membayar seluruh utang-utang orang tuanya. Sebagian digunakan bertahan hidup dan dialokasikan untuk biayai adik-adiknya sekolah.
Hampir setahun tidak memiliki pekerjaan, Rohim kembali dihubungi bos tempatnya dulu bekerja di Korea. Ia dipercayai kerja di salah satu perusahaan rekanan yang ada di Indonesia.
Tak berpikir panjang, tawaran tersebut diambil. Namun, dalam perjalanannya ternyata tidak sesuai harapan. Situasi memaksa dirinya untuk keluar dan berhenti dari pekerjaan itu.
“Karena orang Korea, kan, komitmennya tinggi. Jadi segala sesuatunya sesuai planning. Apa yang dia inginkan, ya sesuai. Berbagai hal mungkin tidak nyaman," ujarnya.
Tidak berhenti di situ. Usai memutuskan berhenti bekerja, selang lama kemudian Rohim sempat bekerja lagi. Namun kali ini menjadi mandor di salah satu proyek. Ia bertanggujawab memegang ratusan orang pekerja di bawahnya. Mengelola keuangan hingga manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) perusahaan.
“Jadi akumulasi ilmu pengetahuannya tuh di situ. Saya bisa komputer, bisa ngurus uang, orang dari sana," imbuhnya.
Setelah melewati proses perjalanan panjang, Rohim akhirnya memutuskan untuk berdagang buah. Itu pun awalnya tidak sengaja. Karena ketika bekerja di proyek, singkat cerita salah satu sopir di perusahaan tersebut ingin membuka usaha buah dan butuh modal. Saat itu, ia memberikan sedikit uangnya.
Namun seperti kacang lupa kulitnya. Setelah usaha buahnya berkembang sukses, uang dipinjam sang supir proyeknya tak kunjung dibalikan.
“Saya melihat dia sebetulnya pas. (Usaha) dia maju, dia lupa sama saya. Dia seolah-olah kaya takut diminta. Akhirnya saya coba. Dia saja bisa, masa saya tidak bisa," pikirnya saat itu.
Modal Rp12 Juta jadi Miliaran Rupiah
Dari situ, pada awal 2018, Rohim memilih untuk memantapkan diri untuk konsisten terjun berdagang buah. Nama 'Alviena' Buah Segar dipakai. Alviena sendiri berasal dari bahasa Turki yang berarti bijaksana. Secara kebetulan anak perempuannya juga bernama Alvina. Nama itu menjadi titik balik membawa usahanya kini tinggal memetik hasil dari jerih payahnya selama proses perjalanan hidup.
“Kita ngambil nama itu sebetulnya lebih ke artinya. Kita harus bijaksana untuk menjalani hidup dan melihat orang harus bijaksana gitu lah. Ngurus orang harus bijaksana. Kalau kata orang-orang memanusiakan manusia itu," jelasnya.
Rohim masih ingat betul. Modal awal terjun untuk berdagang buah saat itu hanya sekitar Rp12 juta. Uang tersebut cukup untuk sewa dan bikin tempat atau lapak Rp6 juta. Sisanya Rp5 juta digunakan buat modal belanja buah-buahan.
Ia sendiri mengaku lebih senang mencari tanah kosong kemudian dibangun lapak. Ketimbang harus sewa pertokoan atau ruko. Karena pikirnya, orang akan segan ketika membeli buah di ruko. Sebab mindset atau pola pikirnya pasti mahal.
“Kalau saya sistemnya beda dari lain. Kalau orang, kan, cari pasar, kalau saya bikin pasar. Jadi saya bikin lapak. Jadi ya barang penyuplai itu masuk ke saya, saya bagikan ke pasar saya sendiri," imbuhnya.
Ia tak pernah membayangkan hasil usahanya kini bisa berkembang. Saat ini, Alviena Buah Segar sudah memiliki 13 lapak tersebar di daerah Karawang, Cikarang, dan Tangerang. Dari total 13 lapak tersebut, Rohim menciptakan sedikitnya lapangan kerja untuk 50 orang.
Masalah pendapatan jangan ditanya. Dari 13 lapak miliknya secara akumulasi bisa mengantongi Rp3 miliar dalam sebulan. “Rp3 miliar itu, kan, kita ambil marginnya juga tipis sebenarnya," ujarnya.
Namun terlepas dari keuntungan yang didapat, bukan berarti ia tidak pernah mengalami kerugian. Selama empat tahun lebih berjalan berdagang buah, selalau ada saja yang membuatnya rugi. Kerugian tersebut terjadi ketika harga sedang mahal, sementara kualitas buah juga tidak bagus. Kondisi itu membuat permintaan otomatis berkurang.
“Kalau buah ini, kan, tidak semua orang bisa. Karena gini kalau dagang buah itu misalkan modal Rp10 juta, kita belanjakan Rp10 juta. Ini lagi sepi misalkan. Ini kalau sepi kerugiannya dobel, satu bayar karyawan, kedua buahnya dibuang, ketiga harus bayar tempat, belum lagi biaya operasional makan. Jujur banyak banget kerugiannya," kata dia.
Sebelum puasa 2022, bahkan ia mengaku sempat tekor Rp300 juta. Namun hal itu tidak membuat mentalnya kendur. Dari kerugian itu, ia mengevaluasi ternyata atas kesalahan pribadinya karena terlalu nafsu membelanjakan barang cukup banyak.
"Tapi kita lihat selama tiga bulan berjalan, waktu balik lagi. Cuma kalau dilihat saya rugi Rp300 juta setiap tahun, saya untung berapa juta? Bisa bikin rumah dan lain-lain, ngapain saya berhenti kalau sudah jalan," tegasnya.
"Kalau di buah gitu agak keras. Cuma kalau dilihat keuntungannya lumayan. Saya ngalamin sebulan untung Rp500 juta pernah," kata Rohim menambahkan.
Di balik pencapaiannya, kata Rohim, orang hanya akan melihat hasil keuntungannya saja, tapi tidak mengetahui proses di belakangnya. Akibatnya banyak yang terjun mengikuti jejaknya berjualan buah dengan cara jor-joran menjual sawah dan aset miliknya sebagai modal utama. Namun tidak berlangsung lama kemudian rugi.
“Orang-orang tidak melihat perjalanan sebelumnya. Kalau saya di buah, kan, karena pengalaman saya pernah alami, saya pakai. Ngurus orang bagaimana dan lain-lainnya," katanya.
Rohim mengaku bersyukur selama empat tahun hasil kerja kerasnya bisa dinikmati dan tercapai. Ke depan bahkan ia berencana untuk ekspansi untuk mengembangkan ternak sapi dengan kapasitas 50 ekor.
"Saya sekarang sudah capai, alhamdulillah selama empat tahun. Saya posisinya tidak dagang, posisinya cari tempat terus. Ke depan sambil jalan saja kalau lihat posisi bagus, saya ambil," ujarnya.
Terakhir, ia juga membagikan tips kepada anak muda yang ingin memulai usaha. Pertama, jangan pernah merasa takut. Ketika sudah niat memutuskan untuk usaha A, maka jalankan saja terus. Jika pun gagal jangan merasa putus asa. Karena masih ada pintu-pintu lain yang bisa dicoba.
“Kalau pengalaman saya pribadi, ya jalan saja. Maksudnya jalan aja misal mau usaha ini, hajar dulu, untung rugi belakangan. Karena saya rasakan sebelum di buah itu saya berapa kali coba. Jalan aja terus misalkan sekiranya tidak memungkinkan untung, mundur coba lain. Zaman sekarang kalau seribu kali mencoba, masa satu tidak ada yang nyangkut," pesannya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz