tirto.id - Anies Baswedan jelang akhir masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta melakukan swastanisasi dan komersialisasi air. Ia memfasilitasi BUMD PAM JAYA dengan perusahaan swasta PT Moya Indonesia melakukan Perjanjian Kerja Sama (PKS).
Kerja sama tersebut mengenai Sistem Penyelenggaraan Air Minum (SPAM) melalui Optimalisasi Aset Eksisting dan Penyediaan Aset Baru dengan Skema Pembiayaan Bundling di Balai Kota, Jumat (14/10/2022). Kerja sama itu diharapkan agar dapat mencapai target cakupan layanan 100% air bersih pada 2030.
“Kami percaya ini merupakan babak bersejarah yang menjadikan keluarga di Jakarta mendapat air minum dengan mudah dan murah. Karena kita ingin memenuhi hak dasar warga, maka negara harus menghadirkan rasa,” kata Anies.
Ketua Fraksi PDIP di DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono menyatakan, tindakan Anies itu sama saja melimpahkan permasalahan swastanisasi dan komersialisasi air kepada Penjabat Gubernur DKI terpilih, Heru Budi Hartono.
“Iya melimpahkan ke Pak Heru, sudah pasti. Karena kita begitu komit untuk tidak ada swastanisasi air,” kata Gembong kepada reporter Tirto, Rabu (19/10/2022).
PAM Jaya telah mulai melakukan swastanisasi air dengan bermitra dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) sejak 6 Juni 1997. Akhirnya Palyja mulai beroperasi pada 1 Februari 1998 dan bertanggung jawab atas seluruh pengoperasian, pemeliharaan seluruh infrastruktur dan pelayanan pelanggan (mulai pencatatan meter air, penagihan dan penyambungan baru).
Sementara itu, PAM Jaya bekerja sama dengan perusahaan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) pada 28 Januari 1998 dengan jangka waktu 25 tahun.
Seiring berjalannya waktu, 14 warga Jakarta mengajukan gugatan warga negara alias citizen law suit atas swastanisasi air pada 21 November 2012 kepada Presiden RI, Kementerian Keuangan, Gubernur DKI, DPRD DKI, dan PAM Jaya.
Akhirnya Mahkamah Agung (MA) memutuskan penghentian swastanisasi air di Jakarta melalui surat keputusan MA nomor 31 K/Pdt/2017 tanggal 10 April 2017.
“Pemprov tidak mematuhi putusan MA. Kerja sama sama dengan swasta baru lagi jangan sampai keluar dari mulut buaya [PALYJA & AETRA], masuk ke mulut harimau [Moya]," kata Gembong.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pun mengkritisi langkah Anies yang memfasilitasi PDAM membuat MoU pengelolaan sistem air minum dengan PT Moya Indonesia selama 25 tahun ke depan.
Padahal, konsesi antara PDAM dengan Palyja dan Aetra belum juga berakhir. Kerja sama PAM Jaya dengan Aetra dan Palyja akan berakhir pada 31 Januari 2023 mendatang.
Bahkan selama melakukan kerja sama, belum ada evaluasi secara menyeluruh terhadap kegagalan, juga kerugian besar akibat swastanisasi air yang berlangsung sejak 1998.
“Hal ini menunjukkan bahwa PDAM telah mengingkari mandat konstitusi dengan membuat perjanjian baru dengan Perusahaan Air Minum yang merupakan anak perusahaan Aetra,” kata Pengacara Publik LBH, Jihan Fauziah Hamdi melalui keterangan tertulis, Selasa (18/10/2022).
Faktanya, kata Jihan, selama ini konsesi tersebut hanya mengakibatkan kerugian negara dan terlanggarnya pemenuhan hak atas air masyarakat karena hilangnya hak penguasaan negara serta buruknya pengelolaan air yang dikomersialisasi dan menyebabkan sulitnya akses masyarakat miskin dan rentan terhadap air bersih.
Selain itu, kata dia, MoU ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013) yang telah menegaskan bahwa pengelolaan air semestinya dilakukan oleh negara melalui pemerintah, dalam Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Alam yang menempatkan air sebagai res commune atau hak (barang) publik.
“Artinya, pengelolaan sistem air minum yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dilakukan oleh PAM Jaya sendiri sebagai perusahaan negara, yakni pemerintah daerah yang dibentuk untuk memastikan bahwa tanggung jawab negara untuk pemenuhan hak atas air warga diberikan,” kata Jihan.
LBH Jakarta pun menilai bahwa langkah ini nampak tergesa-gesa, sembunyi-sembunyi, dan tidak melibatkan partisipasi dari masyarakat.
Desak Swastanisasi Dibatalkan
LBH Jakarta menilai Anies Baswedan di ujung masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta justru mengingkari janjinya. Padahal Anies menyatakan akan menghentikan swastanisasi air di Jakarta.
Namun ia justru melanjutkan praktik swastanisasi air terselubung melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 7 Tahun 2022 tentang Penugasan Kepada Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya Untuk Melakukan Percepatan Peningkatan Cakupan layanan Air Minum di provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Pergub DKI 7/2022).
Melihat langkah mundur yang dilakukan Pemprov DKI tersebut, LBH Jakarta menilai bahwa Pemprov DKI dan PDAM tidak belajar dari kesalahan swastanisasi air Jakarta yang mengakibatkan negara justru kehilangan hak penguasaan negara atas sumber daya air untuk kemakmuran rakyat dan kehilangan kontrol atas pengelolaan air untuk kemakmuran rakyat.
“Padahal, pasca selesainya konsesi dengan Palyja dan Aetra, PAM Jaya dapat secara mandiri menjalankan mandat konstitusi untuk pengelolaan air termasuk produksi air secara mandiri," tuturnya.
Oleh karena itu, ia mendesak Penjabat Gubernur DKI, Heru Budi Hartono untuk membatalkan swastanisasi dan komersialisasi air dengan PT Moya Indonesia yang telah difasilitasi oleh Anies sebelum lengser sebagai orang nomor satu di ibu kota.
“LBH Jakarta mendesak Gubernur DKI Jakarta dan PDAM membatalkan MoU pengelolaan sistem air minum dengan PT Moya Indonesia yang merupakan praktik swastanisasi dan komersialisasi air terselubung dengan membatalkan segera Pergub DKI 7/2022," ucap Jihan.
Kemudian, LBH Jakarta juga meminta kepada DPRD DKI untuk tidak hanya diam melihat praktik inkonstitusional swastanisasi air di Jakarta.
Selanjutnya, LBH Jakarta mengajak publik untuk mendesak Pemprov DKI dan PDAM melakukan remunisipalisasi pengelolaan air Jakarta sebagaimana mandat Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013.
“Dan memastikan pemenuhan hak atas air untuk seluruh masyarakat tanpa kecuali khususnya untuk masyarakat miskin dan rentan,” kata dia.
Menanggapi desakan LBH Jakarta di atas, Gembong Warsono mengatakan akan menindaklanjuti kembalinya swastanisasi air di Jakarta melalui kerja sama PAM JAYA dengan PT Moya.
“Pasti anggota dewan tindaklanjuti. Kedaulatan air bersih itu keharusan. Tidak boleh swastanisasi," ujar Gembong.
Respons PAM Jaya
Reporter Tirto telah coba menghubungi Public Relations Officer PAM JAYA, Raditya Nugi perihal adanya dugaan swastanisasi air melalui kerja sama dengan Moya. Ia pun meminta untuk mengirimkan daftar pertanyaan. Namun hingga artikel ini dirilis, PAM JAYA belum juga merespons.
Sementara itu, Direktur Utama PAM JAYA, Arief Nasrudin mengatakan, kerja sama ini sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh PAM JAYA dengan dua mitra sebelumnya PALYJA dan AETRA pada 1998.
Dalam perjanjian sebelumnya, mitra melakukan pengelolaan dari hulu ke hilir. Sementara kerja sama kali ini hanya dilakukan pada bagian produksi. Untuk distribusi dan pelayanan pelanggan, sepenuhnya dilakukan oleh PAM JAYA. Kerja sama ini umum dilakukan oleh perusahaan air minum di Indonesia.
“Dengan penambahan pasokan air dan pelayanan yang dilakukan oleh PAM JAYA, diharapkan dapat meningkatkan pelayanan warga Jakarta,” kata Arief di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Jumat (14/10/2022).
Kerja sama ini mengacu pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air. Arief melanjutkan, dalam perjanjian kerja sama ini, PAM JAYA punya hak untuk menghentikan dengan mitranya.
Menurut dia, kerja sama ini merupakan solusi dari upaya peningkatan 100% cakupan pelayanan air minum perpipaan di DKI Jakarta oleh pemerintah pusat, Pemprov DKI Jakarta, dan PAM JAYA.
Saat ini, cakupan pelayanan PAM JAYA baru sebesar 66%, dan untuk mencapai 100% cakupan pelayanan, PAM JAYA membutuhkan suplai air baru sebesar sekitar 11.000 liter per detik serta pipa sepanjang 4.000 km.
“Dengan kerja sama ini, kami berharap menjadi salah satu solusi efektif untuk percepatan menuju 100% cakupan pelayanan air minum perpipaan untuk warga Jakarta,” kata dia.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz