tirto.id - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono untuk membatalkan nota kesepakatan (MoU) kerja sama pengelolaan air antara BUMD PAM Jaya dengan mitra swasta.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada akhir masa jabatannya, 14 Oktober lalu, memfasilitasi kerja sama antara BUMD PAM JAYA dengan PT Moya Indonesia mengenai Sistem Penyelenggaraan Air Minum (SPAM) melalui Optimalisasi Aset Eksisting dan Penyediaan Aset Baru dengan Skema Pembiayaan Bundling.
"LBH Jakarta mendesak Gubernur DKIJakarta dan PDAM membatalkan MoU pengelolaan sistem air minum dengan PT. Moya Indonesia yang merupakan praktik swastanisasi dan komersialisasi air terselubung dengan membatalkan segera Pergub DKI 7/2022," kata Pengacara Publik LBH Jakarta, Jihan Fauziah Hamdi melalui keterangan tertulis, Selasa (18/10/2022).
LBH Jakarta menyayangkan langkah PDAM membuat MoU pengelolaan sistem air minum dengan PT Moya Indonesia selama 25 tahun ke depan.
Padahal, kata Jihan, konsesi antara PDAM dengan Palyja dan Aetra belum berakhir. Bahkan, lanjut dia, belum ada evaluasi secara menyeluruh terhadap kegagalan juga kerugian besar akibat swastanisasi air yang berlangsung sejak 1998.
"Hal ini menunjukkan bahwa PDAM telah mengingkari mandat konstitusi dengan membuat perjanjian baru dengan Perusahaan Air Minum yang merupakananak perusahaan Aetra," ucapnya.
Jihan melihat selama ini konsesi tersebut hanya mengakibatkan kerugian negara dan menyebabkan sulitnya akses masyarakat miskin dan rentan terhadap air bersih.
LBH Jakarta menilai swastanisasi air di Jakarta ini tampak tergesa-gesa, sembunyi-sembunyi, dan tidak melibatkan partisipasi dari masyarakat.
Menurut Jihan, Mou ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013). Putusan itu menegaskan pengelolaan air semestinya dilakukan oleh Negara melalui pemerintah, dalam hak menguasai Negara atas sumber daya alam yang menempatkan air sebagai res commune atau hak (barang) publik.
"Artinya, pengelolaan sistem air minum yang berkaitan dengan hajat hidup orangbanyak dilakukan oleh PAM Jaya sendiri sebagai perusahaan Negara, yakni pemerintah daerah yang dibentuk untuk memastikan bahwa tanggung jawab negara untuk pemenuhan hak atas air warga diberikan," ujarnya.
Kemudian, LBH Jakarta menilai Anies Baswedan di ujung masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta melakukan langkah memalukan dengan "menjilat ludah sendiri" atau ingkar janji.
Padahal Anies menyatakan bahwa akan menghentikan swastanisasi air di Jakarta. Namun, Jihan menilai Anies justru melanjutkan praktik swastanisasi air terselubung melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penugasan Kepada Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya Untuk Melakukan Percepatan Peningkatan Cakupan layanan Air Minum di provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Pergub DKI 7/2022).
Melihat langkah mundur tersebut, LBH Jakarta menilai bahwa Pemprov DKI Jakarta dan PDAM tidak belajar dari kesalahan swastanisasi air Jakarta. Hal itu mengakibatkan negara justru kehilangan hak penguasaan negara atas sumber daya air untuk kemakmuran rakyat dan kehilangan kontrol atas pengelolaan air untuk kemakmuran rakyat.
"Padahal, pasca selesainya konsesi dengan Palyja dan Aetra, PAM Jaya dapat secara mandiri menjalankan mandat konstitusi untuk pengelolaan air termasuk produksi air secara mandiri," kata Jihan.
Oleh karena itu, LBH Jakarta juga meminta kepada DPRD DKI Jakarta untuk tidak hanya diam melihat praktik inkonstitusional swastanisasi air di Jakarta.
Kemudian, LBH Jakarta mengajak publik mendesak Pemprov DKI dan PDAM untuk melakukan remunisipalisasi pengelolaan air Jakarta sebagaimana mandat Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013.
"Dan memastikan pemenuhan hak atas air untuk seluruh masyarakat tanpa kecuali khususnya untuk masyarakat miskin dan rentan," pungkas Jihan.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan