tirto.id -
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahyu A Perdana menilai RUU SDA masih memandang air sebatas komoditas sementara pengaturan soal ekosistem air belum disinggung menyeluruh.
Padahal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menyatakan air merupakan hak masyarakat dengan pertimbangan kelestarian hayati.
"Kami mengusulkan RUU ini disebut sebagai RUU Air, yang mengatur pengelolaannya secara komprehensif tidak parsial, dan memandang air dari segi komoditas dan pengusahaannya saja," ujar Wahyu di kantornya pada Minggu (1/9/2019).
Selain itu pemerintah dan DPR juga dituntut tetap memasukkan ketentuan soal biaya konservasi. Hal itu guna memastikan tanggung jawab korporasi terhadap air.
Di sisi lain, Wahyu menolak rencana penggabungan biaya konservasi dengan Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (BJP-SDA). Hal itu dianggap akan mengaburkan tanggung jawab korporasi atas pemeliharaan air.
"Pernyataan membandingkan biaya konservasi dengan kondisi keuangan perusahaan tidaklah tepat, mengingat dampak perubahan, ataupun kerusakan sebuah ekosistem air, tidak hanya akan diterima perusahaan, lebih jauh lagi dampak meluas akan diterima oleh masyarakat," ujarnya.
Selain itu, RUU SDA juga belum tegas melarang privatisasi air. Staf Riset Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (KRuHA) Sigit Karyadi Budiono menilai pemerintah dan DPR masih mengakomodir pengelolaan air oleh swasta melalui kerja sama public private partnership (PPP) atau kerja sama air minum dalam kemasan (AMDK) dengan PDAM.
Dengan demikian, model kerja sama pengelolaan air seperti di Jakarta masih mungkin terjadi. Di sisi lain, kerja sama AMDK antara PDAM dengan swasta dikhawatirkan membuat PDAM lebih fokus mengembangkan produk AMDK nya.
"Itu bermasalah karena seharusnya fokus PDAM adalah memperluas cakupan layanan perpipaan bukan memproduksi AMDK karena mandat dari MK bukan seperti itu," ujar Sigit di kantor Walhi, Tegal Parang, Jakarta Selatan.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Hendra Friana