Menuju konten utama

Demi Investasi, RUU Sumber Daya Air Abaikan Konservasi

RUU SDA telah rampung dibahas dan akan segera dibahas dalam rapat paripurna anggota dewan. Sebagian besar usulan pengusaha diakomadasi, tapi kepentingan konservasi justru dikesampingkan.

Demi Investasi, RUU Sumber Daya Air Abaikan Konservasi
Pekerja menyesaikan pembangunan proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (15/11/2018). ANTARA FOTO/Zabur Karuru

tirto.id -

Sepi dari sorotan media, pembahasan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) akhirnya rampung dan tinggal menunggu pengesahan.

Rabu, 21 Agustus lalu, seluruh pemangku kepentingan yang hadir dalam rapat akhir panitia kerja (panja) RUU SDA sepakat membawa draft tersebut ke pembicaraan tingkat dua dalam rapat paripurna.

"Semua kementerian setuju dan bisa clear. Dan kita harapkan di awal minggu ini sudah diparipurnakan," kata Anggota Komisi V DPR-RI Bambang Haryo Soekartono kepada reporter Tirto, Jumat lalu (30/8/2019).

Ada sejumlah poin penting yang dibahas dalam finalisasi draft tersebut. Salah satunya, soal pengusahaan air oleh badan usaha yang diatur dalam Pasal 51.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan, partisipasi swasta dalam penyelenggaraan SPAM tetap diusulkan melalui kerja sama dengan badan usaha pemerintah selaku pemegang izin pengusahaan SDA.

Namun, setelah melalui proses tarik-ulur yang panjang, pemerintah akhirnya menyetujui usulan pengusaha untuk membedakan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dengan air bersih (produk air untuk kebutuhan pokok masyarakat).

Artinya, industri AMDK--yang mengelola air sebagai produk manufaktur--tak perlu melakukan kerja sama dengan perusahaan pelat merah lewat pembentukan perusahaan patungan maupun partisipasi modal masing-masing pihak.

Pemerintah juga mengubah Pasal 47 yang sebelumnya diprotes oleh swasta. Pasal tersebut memuat syarat pemberian izin penggunaan sumber daya air berupa penyisihan 10 persen laba usaha untuk konservasi SDA serta bank garansi yang besarnya disesuaikan dengan volume penggunaan air.

Tapi dalam rancangan akhir UU SDA yang diterima Tirto, syarat itu diperlonggar demi meringankan pengusaha.

Bunyinya kini diusulkan menjadi: "menyepakati kewajiban biaya Konservasi Sumber Daya Air yang merupakan komponen dalam BJPSDA dan kewajiban keuangan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Kepala Riset Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHa) Sigit Budiono menilai perubahan sejumlah pasal dalam rancangan beleid itu terlalu memihak pada komersialisasi air yang dilakukan swasta.

Ia juga mengkritik keputusan dikeluarkannya AMDK dari produk air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, tanpa mengatur pengusahaan air untuk sektor tersebut lebih lanjut. Itu artinya, mereka bisa melakukan perizinan pengusahaan air tanpa ada mekanisme kontrol yang jelas.

Padahal, debit air yang digunakan perusahaan-perusahaan tersebut tidak sedikit dan margin yang mereka raup dari bisnis tersebut bisa mencapai dua kali lipat.

"AMDK harus segera diatur, mereka kan teriak-teriak terus menolak UU ini, tapi tidak ada aturan pembatansannya. Kalau mereka dikeluarkan, retribusi mereka juga harus jelas dan kalau bisa diperbesar," tuturnya.

Ancaman Terhadap Konservasi

Sejumlah poin yang diubah demi kepentingan korporasi itu memang sudah bisa diterka. Sebab sebelumnya, rancangan awal beleid tersebut dianggap tak ramah investasi dan justru bertentangan dengan visi pemerintahan Jokowi.

Seorang staf wakil presiden Jusuf Kalla yang ingin namanya tak disebutkan, bahkan pernah menyebut bahwa RUU tersebut sangat buruk bagi kepentingan pengusaha. "Dan biasanya draft buruk sengaja dibuat supaya ada tawar-menawar," tuturnya dalam sebuah diskusi bersama wartawan pada pertengahan Februari lalu.

Masalahnya, draft akhir RUU tersebut dinilai mengancam upaya konservasi lantaran Pasal 46 RUU tersebut tak membatasi penggunaan SDA untuk kebutuhan usaha pada air permukaan atau air yang keluar secara langsung dari mata air tanpa dibor.

Pemerintah hanya menggunakan diksi "mengutamakan", dan itu artinya perusahaan dapat mengeksploitasi air bawah tanah dengan cara menggali jalur air dengan mesin bor bertekanan tinggi.

Apalagi, pemerintah dengan serampangan mengkategorikan pengelolaan air tanah sebagai bagian dari pengelolaan sumber daya air yang didasarkan pada Wilayah Sungai.

Berdasarkan kajian Badan Geologi Kementerian ESDM, hal ini bertolak belakang dengan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sebab batas wilayah sungai kemungkinan besar akan bersinggungan dengan Cekungan Air Tanah (CAT) yang pengelolaanya ada di bawah pemerintahan Kota/Kabupaten/Provinsi.

"Hal ini bertentangan dengan konsep One Basin, One Management," kata Kepala Badan Geologi Rudy Suhendar saat dihubungi Sabtu (1/9/2019).

Karena merupakan batas hidrogeologis, CAT juga tak boleh sembarangan ditambang. Dalam banyak kasus, ekploitasi air tanah untuk kebutuhan industri hingga menembus basin dapat berdampak pada penurunan muka air tanah di wilayah lain.

"Ini berpotensi menimbulkan kekeringan di daerah lain," pungkas Rudy.

Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR Hari Suprayogi mengatakan, ketentuan soal CAT sebagai bagian pengelolaan wilayah sungai itu akan dirumuskan lebih detail dalam ketentuan turunan, baik itu Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri di masing-masing sektor.

Yang jelas, kata dia, pemberian izin pengusahaan air akan melihat daya dukung lingkungan dan lebih mengutamakan penggunaan air permukaan.

"Untuk manajemen [CAT] masih tetap. Kan Undang-Undang ini dalam rangka mengatur pemanfaatan sumber air aja. Di luar itu, nanti akan diatur lebih lanjut," ucapnya.

Adapun soal penghilangan syarat wajib penyisihan laba 10 persen, ia maasih belum mau memberikan penjelasan. "Nanti deh, tanggal 10 [September] saja, jangan mendahului paripurna dong."

Baca juga artikel terkait RANCANGAN UNDANG-UNDANG SUMBER DAYA AIR atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Hendra Friana
Editor: Hendra Friana