tirto.id - Ketuk palu Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) kini semakin dekat. Dalam rapat paripurna DPR pekan lalu, anggota dewan sepakat agar pembahasan draft tersebut dirampungkan dua pekan setelah masa reses.
Meski belakangan minim disorot publik, pembahasan payung hukum baru tata kelola air itu sebenarnya telah melewati proses yang cukup panjang. Bahkan tarik-menarik antara pemerintah dan legislatif soal siapa yang bakal menyusun aturan itu pun baru kelar dalam rapat paripurna DPR pertengahan April 2018.
Sejak itu, RUU SDA resmi jadi inisiatif anggota dewan meski draft awalnya disusun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Jika tak ada aral melintang, maka UU yang sempat dibatalkan MK pada Februari 2015 itu ditargetkan rampung sebelum pergantian anggota legislatif periode 2019-2024.
"Kemarin dalam rapat paripurna, kan, sudah diputuskan mundurnya satu bulan. Akhir Agustus kemungkinan selesai," ujar anggota Panitia Kerja RUU SDA, Bambang Haryo saat dihubungi Tirto, Senin (30/7/2019).
Dinilai Memberatkan Dunia Usaha
Namun, bagi para pelaku usaha Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), hal terpenting adalah pemisahan produk air untuk industri manufaktur makanan dan minuman dengan produk air untuk kebutuhan sehari-hari melalui sistem penyediaan air minum (SPAM).
Ketua Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin), Rachmat Hidayat mengatakan industri AMDK bakal langsung megap-megap jika hal tersebut tetap diloloskan dalam Undang-undang SDA.
Izin pengelolaan air untuk industri AMDK bisa langsung dicabut jika produk air tersebut "dipukul rata". Sebab, dalam Pasal 51 RUU itu disebutkan bahwa izin penggunaan air untuk kebutuhan usaha hanya akan diberikan pada Badan Usaha Milik Negara, Daerah atau Desa.
Artinya, swasta yang ingin menggunakan daya air untuk usahanya harus melakukan kerja sama dengan perusahaan pelat merah lewat pembentukan perusahaan patungan maupun partisipasi modal masing-masing pihak.
Menurut Rachmat, perusahaan AMDK tidak bisa dianggap sebagai pihak yang menguasai sumber air yang dapat mengganggu, mengesampingkan serta meniadakan hak atas air. Pasalnya, industri AMDK hanya menggunakan sebagian kecil dari total kebutuhan air untuk industri.
Berdasarkan data Kementerian PUPR pada 2012, misalnya, kebutuhan air untuk industri mencapai 27,7 triliun liter per tahun. Sementara di tahun yang sama, menurut data Aspadin, volume produksi AMDK di Indonesia hanya 18,8 miliar liter.
Industri AMDK, menurut Rachmat, seperti dipaksa memilih antara nasionalisasi atau 'mati'. Skema ini juga terkesan sudah dipersiapkan sebab saat beleid masih dibahas, sejumlah badan usaha pemerintah mulai merambah ke dalam bisnis AMDK. Beberapa di antaranya adalah PT Indra Karya (Persero), PT Wijaya Karya, serta Perum Jasa Tirta II.
"Itu namanya diambil-alih secara paksa. Jadi kami tidak membayangkan bahkan di dunia di negara ideologi sosialis komunis pun tidak ada seperti itu," ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa (30/7/2019).
Atas dasar itu, Aspadin sudah menyiapkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika ketentuan tersebut tetap dimuat dalam RUU SDA yang bakal diundangkan.
Bahkan, kata Rachmat, tak menutup kemungkinan perusahaan AMDK bakal melakukan pengurangan tenaga kerja besar-besaran. Hal itu lantaran sejumlah poin dalam RUU SDA bakal menambah beban perusahaan.
Saat ini, ada sekitar 700 perusahaan AMDK di Indonesia mulai dari yang berstatus UMKM hingga yang kelas kakap.
"Kalau satu Industri mempekerjakan 100 orang saja sudah 70 ribu. Dan ini kan memberikan multiplier efek. Satu pabrik membutuhkan sekian tranporter, supplier dan lain-lain bayangkan saja dampaknya," imbuhnya.
Pengusaha Resah
Pemerintah dan DPR diwanti-wanti agar RUU SDA tak berpotensi memberatkan dunia usaha dan mengganggu iklim investasi. Apalagi Presiden Joko Widodo sudah berkomitmen untuk menghapus hal-hal yang menghambat investasi.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai RUU tersebut bisa menjadi penghambat untuk investasi SPAM di Indonesia lantaran ada sejumlah pasal yang masih memberatkan.
Selain Pasal 51, ada pula pasal 47 soal penyisihan 10 persen laba usaha untuk konservasi SDA serta bank garansi yang besarnya disesuaikan dengan volume penggunaan air. Menurut Hariyadi, dua poin itu akan menjadi beban untuk pelaku usaha dan menyebabkan minimnya modal yang mengalir ke infrastruktur SPAM.
Padahal, menurut Hariyadi, partisipasi swasta dalam SPAM diperlukan untuk memperluas cakupan akses air bersih di tengah terbatasnya kapasitas anggaran pemerintah. Apalagi, Kementerian PUPR telah menargetkan cakupan pelayanan dan akses air bersih sudah mencapai 100 persen, sementara hingga 2018 lalu realisasinya baru mencapai 73,6 persen.
"Kami khawatirkan (kalau) usulan kami diabaikan akan berdampak luar biasa pada kepastian investasi, dan ini juga tidak sejalan dengan visi Pak Jokowi yang ingin menghapus hambatan dalam investasi," ujarnya Hariyadi di kantor Apindo Selasa (23/7/2019) pekan lalu.
Sementara itu, Ketua Panja RUU SDA Lasarus mengatakan DPR dan pemerintah masih perlu membahas masalah-masalah yang diutarakan kalangan pengusaha secara lebih detail di sisa masa sidang tahun ini.
"Yang jelas jangan sampai nanti ada judicial review lagi ketika sudah disahkan," ungkapnya.
Lasarus mengatakan keberatan pengusaha AMDK atas beberapa pasal dalam rancangan beleid tersebut bisa diakomodasi. Terkait ketentuan pungutan penggunaan air, kata dia, bakal dibahas dalam ketentuan turunan dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
"Siapapun yang pegang izin harus bayar. mau untung atau rugi. Skemanya nanti pakai skema pemerintah," tuturnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Gilang Ramadhan